Selasa, 23 Juli 2013

Malala dan Pesan Nirkekerasan

Malala dan Pesan Nirkekerasan
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
MEDIA INDONESIA, 22 Juli 2013


MALALA Yousafzai namanya. Gadis mungil asal Pakistan ini seolah sengaja diberi tugas khusus oleh Yang Khalik, Tuhan Maha Pencipta, untuk memberikan pesan kepada siapa saja yang menggemari kekerasan untuk menghentikan praktik-praktik kekerasan. Malala, yang kepalanya pernah ditembak kelompok Taliban setahun silam, minggu lalu berbicara dalam International Youth Assembly di New York, Amerika Serikat, sebuah forum untuk anak-anak muda yang diselenggarakan PBB.

Dengan menggunakan pakaian pink dan kerudung warna senada, Malala memberikan sambutannya laksana ilmuwan dan politikus berpengalaman. Dia bahkan tak segan mengungkapkan rasa bangganya terhadap syal putih yang dia kenakan, sebagai hadiah dan milik serta pernah digunakan mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto yang dibunuh pada 2007, setelah kembali dari pengasingan.

Pesan Malala sangat to the point, yaitu bagaimana caranya kita sesegera mungkin menghentikan kekerasan, terutama terhadap anak-anak serta memberikan mereka kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik. Dengan bahasa yang lugas Malala berkata, ‘Dear friends, on October 9, 2012, the Taliban shot me on the left side of my forehead. They shot my friends too. They thought that the bullets would silence us. But they failed. And then, out of that silence came, thousands of voices. The terrorists thought that they would change our aims and stop our ambitions but nothing changed in my life except this: Weakness, fear and hopelessness died. Strength, power and courage was born.’  ‘Mari kita ambil buku dan pena kita. Itu adalah senjata kita yang paling kuat. Satu anak, satu guru, satu pena dan satu buku bisa mengubah dunia. Pendidikan adalah satu-satunya solusi,’ kata Yousafzai di Markas PBB, New York.

Jika anak sekecil Malala memiliki kepercayaan, kesadaran, keinginan, dan cita-cita yang begitu kuat terhadap pendidikan, sesungguhnya ini merupakan pesan yang amat kuat bahwa hanya pendidikan sajalah satu-satunya cara dan alat agar dunia terhindar dari kekerasan yang berkepanjangan.

Praktik kekerasan

Fenomena kekerasan terhadap anak memang bukan dialami Malala semata. Dalam konteks dan latar belakang yang berbeda, kekerasan yang dialami anak-anak juga merambah masuk ke gedunggedung sekolah. Ada banyak kasus bagaimana praktik kekerasan, dari skala yang paling kecil seperti perundungan (bullying) hingga yang paling besar seperti penembakan Malala dan penembakan siswa lainnya di beberapa sekolah Amerika, membuat kita harus memiliki cara yang jitu untuk mengatasi masalah kekerasan ini, terutama dalam konteks sekolah dan pendidikan pada umumnya.

Michael J Furlong dalam Preventing School Violence: A Plan for Safe and Engaging Schools (2005) memberikan sedikitnya empat ilustrasi program yang memungkinkan sekolah dapat mencegah munculnya aksi kekerasan dan radikalisme di lingkungan anak-anak sekolah. Pertama, apa yang disebut dengan anger coping program. Dengan menggunakan bantuan para konselor atau guru BK dan orangtua, sekolah dapat membuat serial pelatihan tentang bagaimana cara mengelola rasa marah ke dalam bentuk yang lebih positif.
Sekolah juga dapat meminta bantuan para psikolog dari perguruan tinggi untuk memikirkan skema training jenis ini, termasuk ketersediaan waktu bagi anak-anak.

Kedua, memasukkan pengertian dan pengetahuan tentang jenis-jenis kekerasan ke dalam desain ajar yang relevan dengan situasi psikologis siswa, terutama untuk dan dalam rangka memperkenalkan makna empati, problem solving dan mengelola amarah. Kegiatan ini perlu didahului sebuah workshop yang berkaitan dengan keterampilan guru dalam merancang desain pembelajaran yang ramah dengan cara-cara nirkekerasan.

Ketiga, sekolah juga diharapkan berani mengambil keputusan untuk membuat pelatihan tentang pengelolaan rasa marah dengan menggunakan teknik role playing, modelling dan rewards terhadap anak, orangtua, dan bahkan guru secara berkala, minimal dua kali dalam setahun. Jika mekanisme ini berjalan, selebihnya akan menjadi tugas guru dan tim untuk mengevaluasi potensi kekerasan yang mungkin muncul di kalangan siswa.

Keempat, Furlong juga menyarankan agar sekolah memiliki dokumen tertulis semacam statuta sekolah. Sebab, itu memungkinkan setiap anggota dari komunitas sekolah dapat memiliki panduan yang dapat dijadikan semacam saluran untuk menumpahkan seluruh persoalan yang berkaitan bukan hanya dengan masalah kekerasan di sekolah, melainkan juga mekanisme pengaturan tata tertib yang sepatutnya berlaku di sekolah.

Keempat jenis program di atas akan lebih efektif jika dilakukan secara bersama antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Kerja sama di antara ketiganya akan memudahkan sekolah dalam menjaring sumber daya yang dibutuhkan, termasuk pendanaan hingga implementasi program. Hanya sekarang,
seberapa besar muncul kesadaran semacam ini di lingkungan sekolah kita. Penting bagi setiap sekolah untuk menyertakan siswa, anakanak muda kita, dalam setiap tahapan kegiatan yang menyangkut kepentingan mereka secara bersama. Nothing about us, without us menjadi semacam jargon yang harus dikedepankan dalam menarik minat para siswa terhadap seluruh aktivitas belajar mengajar di sekolah.

Lawan dari kekerasan adalah perdamaian, dan damai adalah karakter. Untuk mencapai itu, dibutuhkan laku sikap dan cara berpikir positif yang dirancang melalui sebuah skenario. Jika skenario adalah sebuah rencana, pendidikan adalah domain yang mampu mewadahi setiap orang untuk menggali potensi damai dalam diri masing-masing.


Dalam pendidikan, seseorang harus bersedia belajar tentang semua hal, termasuk menggali rasa dan situasi damai. Seperti semua ajaran agama, rasa dan situasi damai adalah pesan abadi yang dibawa setiap nabi dengan agama mereka masing-masing. Karena itu, pendidikan adalah sarana keselamatan setiap orang. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar