|
MEDIA
INDONESIA, 22 Juli 2013
MALALA Yousafzai namanya. Gadis
mungil asal Pakistan ini seolah sengaja diberi tugas khusus oleh Yang Khalik,
Tuhan Maha Pencipta, untuk memberikan pesan kepada siapa saja yang menggemari
kekerasan untuk menghentikan praktik-praktik kekerasan. Malala, yang kepalanya
pernah ditembak kelompok Taliban setahun silam, minggu lalu berbicara dalam International Youth Assembly di New
York, Amerika Serikat, sebuah forum untuk anak-anak muda yang diselenggarakan
PBB.
Dengan menggunakan pakaian pink dan kerudung warna senada,
Malala memberikan sambutannya laksana ilmuwan dan politikus berpengalaman. Dia
bahkan tak segan mengungkapkan rasa bangganya terhadap syal putih yang dia
kenakan, sebagai hadiah dan milik serta pernah digunakan mantan Perdana Menteri
Pakistan Benazir Bhutto yang dibunuh pada 2007, setelah kembali dari pengasingan.
Pesan Malala sangat to
the point, yaitu bagaimana caranya kita sesegera mungkin menghentikan
kekerasan, terutama terhadap anak-anak serta memberikan mereka kesempatan untuk
memperoleh pendidikan yang baik. Dengan bahasa yang lugas Malala berkata, ‘Dear friends, on October 9, 2012, the
Taliban shot me on the left side of my forehead. They shot my friends too. They
thought that the bullets would silence us. But they failed. And then, out of
that silence came, thousands of voices. The terrorists thought that they would
change our aims and stop our ambitions but nothing changed in my life except
this: Weakness, fear and hopelessness died. Strength, power and courage was born.’ ‘Mari
kita ambil buku dan pena kita. Itu adalah senjata kita yang paling kuat. Satu
anak, satu guru, satu pena dan satu buku bisa mengubah dunia. Pendidikan adalah
satu-satunya solusi,’ kata Yousafzai di Markas PBB, New York.
Jika anak sekecil Malala memiliki kepercayaan, kesadaran,
keinginan, dan cita-cita yang begitu kuat terhadap pendidikan, sesungguhnya ini
merupakan pesan yang amat kuat bahwa hanya pendidikan sajalah satu-satunya cara
dan alat agar dunia terhindar dari kekerasan yang berkepanjangan.
Praktik kekerasan
Fenomena kekerasan terhadap anak memang bukan dialami
Malala semata. Dalam konteks dan latar belakang yang berbeda, kekerasan yang
dialami anak-anak juga merambah masuk ke gedunggedung sekolah. Ada banyak kasus
bagaimana praktik kekerasan, dari skala yang paling kecil seperti perundungan (bullying) hingga yang paling besar
seperti penembakan Malala dan penembakan siswa lainnya di beberapa sekolah
Amerika, membuat kita harus memiliki cara yang jitu untuk mengatasi masalah
kekerasan ini, terutama dalam konteks sekolah dan pendidikan pada umumnya.
Michael J Furlong dalam Preventing
School Violence: A Plan for Safe and Engaging Schools (2005) memberikan
sedikitnya empat ilustrasi program yang memungkinkan sekolah dapat mencegah
munculnya aksi kekerasan dan radikalisme di lingkungan anak-anak sekolah.
Pertama, apa yang disebut dengan anger
coping program. Dengan menggunakan bantuan para konselor atau guru BK dan
orangtua, sekolah dapat membuat serial pelatihan tentang bagaimana cara
mengelola rasa marah ke dalam bentuk yang lebih positif.
Sekolah juga dapat meminta bantuan
para psikolog dari perguruan tinggi untuk memikirkan skema training jenis ini,
termasuk ketersediaan waktu bagi anak-anak.
Kedua, memasukkan pengertian dan pengetahuan tentang
jenis-jenis kekerasan ke dalam desain ajar yang relevan dengan situasi
psikologis siswa, terutama untuk dan dalam rangka memperkenalkan makna empati, problem solving dan mengelola amarah.
Kegiatan ini perlu didahului sebuah workshop
yang berkaitan dengan keterampilan guru dalam merancang desain pembelajaran
yang ramah dengan cara-cara nirkekerasan.
Ketiga, sekolah juga diharapkan berani mengambil keputusan
untuk membuat pelatihan tentang pengelolaan rasa marah dengan menggunakan
teknik role playing, modelling dan rewards terhadap anak, orangtua, dan
bahkan guru secara berkala, minimal dua kali dalam setahun. Jika mekanisme ini
berjalan, selebihnya akan menjadi tugas guru dan tim untuk mengevaluasi potensi
kekerasan yang mungkin muncul di kalangan siswa.
Keempat, Furlong juga menyarankan agar sekolah memiliki
dokumen tertulis semacam statuta sekolah. Sebab, itu memungkinkan setiap
anggota dari komunitas sekolah dapat memiliki panduan yang dapat dijadikan
semacam saluran untuk menumpahkan seluruh persoalan yang berkaitan bukan hanya
dengan masalah kekerasan di sekolah, melainkan juga mekanisme pengaturan tata
tertib yang sepatutnya berlaku di sekolah.
Keempat jenis program di atas akan lebih efektif jika
dilakukan secara bersama antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Kerja sama
di antara ketiganya akan memudahkan sekolah dalam menjaring sumber daya yang
dibutuhkan, termasuk pendanaan hingga implementasi program. Hanya sekarang,
seberapa besar muncul kesadaran
semacam ini di lingkungan sekolah kita. Penting bagi setiap sekolah untuk
menyertakan siswa, anakanak muda kita, dalam setiap tahapan kegiatan yang
menyangkut kepentingan mereka secara bersama. Nothing about us, without us menjadi semacam jargon yang harus
dikedepankan dalam menarik minat para siswa terhadap seluruh aktivitas belajar
mengajar di sekolah.
Lawan dari kekerasan adalah perdamaian, dan damai adalah
karakter. Untuk mencapai itu, dibutuhkan laku sikap dan cara berpikir positif
yang dirancang melalui sebuah skenario. Jika skenario adalah sebuah rencana,
pendidikan adalah domain yang mampu mewadahi setiap orang untuk menggali
potensi damai dalam diri masing-masing.
Dalam pendidikan, seseorang harus bersedia belajar tentang
semua hal, termasuk menggali rasa dan situasi damai. Seperti semua ajaran
agama, rasa dan situasi damai adalah pesan abadi yang dibawa setiap nabi dengan
agama mereka masing-masing. Karena itu, pendidikan adalah sarana keselamatan
setiap orang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar