|
KORAN
TEMPO, 22 Juli 2013
“Usut punya usut,
ternyata pihak Istana menginginkan agar dalam naskah itu ditambahkan aspek yang
belum diulas, yakni peran SBY dalam reformasi ABRI. Editor buku ini kemudian
melengkapi hal tersebut, tapi acara peluncurannya tidak kunjung diadakan.”
Kesemrawutan pendidikan sejarah di Indonesia pada era
reformasi ini tidak hanya menyangkut gonjang-ganjing kurikulum, tapi juga
mengenai buku standar yang tidak tersedia. Sejak 1975, buku Sejarah Nasional
Indonesia (SNI) dijadikan buku pedoman untuk pengajaran sejarah di sekolah.
Jadi, buku-buku teks yang digunakan dalam kelas harus mengacu pada buku
"babon" tersebut. Dalam buku yang terdiri atas enam jilid itu (dari
zaman purbakala sampai awal pemerintahan Orde Baru), jilid terakhir, yang
membahas peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto, paling banyak
dikritik. Dimensi politisnya sangat kental, yakni memberi legitimasi kepada
rezim Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto dan mereduksi peran Sukarno
dalam sejarah Indonesia.
Juwono Sudarsono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
awal reformasi, menganggap buku SNI tidak layak lagi dijadikan buku pegangan.
Karena itu, perlu disusun buku pengganti. Pada mulanya, proses penulisan
tersebut dibiayai dengan anggaran dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
dengan editor umum Taufik Abdullah, A.B. Lapian, dan Anhar Gonggong. Dalam
perkembangannya, Anhar Gonggong tidak ikut dalam penyusunan buku
tersebut.
Buku itu terdiri atas delapan jilid dari masa prasejarah
sampai era reformasi. Hampir 100 sejarawan dilibatkan dalam proyek ini dan,
setelah berkali-kali mengalami bongkar-pasang tim penulis, selesailah naskah
itu pada akhir 2008. Menurut rencana, buku ini akan diluncurkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk program 100 Hari Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata yang dipimpin Jero Wacik pada awal 2009. Namun rencana ini urung
terlaksana dan menimbulkan pertanyaan apakah Presiden keberatan terhadap
isinya. Usut punya usut, ternyata pihak Istana menginginkan agar dalam naskah
itu ditambahkan aspek yang belum diulas, yakni peran SBY dalam reformasi ABRI.
Editor buku ini kemudian melengkapi hal tersebut, tapi acara peluncurannya
tidak kunjung diadakan.
Ketika buku standar sejarah itu belum terbit, pada 2010
Balai Pustaka mencoba menerbitkan kembali Sejarah Nasional Indonesia, yang
dianggap sudah tidak layak oleh Menteri, dan memang ditambahkan beberapa bab
baru pada beberapa jilid. Namun uraian mengenai kasus 1965 masih dengan versi
Orde Baru. Jilid terakhir tetap kontroversial. Massa pengikut Megawati
Soekarnoputri dituduh melakukan pembakaran dan perusakan dalam peristiwa 27
Juli 1996,sementara keterlibatan aparat keamanan dalam penyerangan kantor
Partai Demokrasi Indonesia itu tidak disinggung. Yang lebih parah, dalam buku
teks ini ditulis bahwa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada 21
Mei 1998. Pernyataan tersebut keliru, karena Soeharto menyatakan berhenti
sebagai Presiden bukan karena mengundurkan diri. Bila mengundurkan diri, ia
harus mengajukan permohonan kepada MPR (dan bisa saja ditolak). Jadi, buku ini
belum layak dirujuk.
Akhirnya, pada Desember 2012, terbitlah buku Indonesia
dalam Arus Sejarah. Entah apa alasannya, hak penerbitan diberikan oleh
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata kepada Ichtiar Baru van Hove. Penerbit ini
mencetak buku tersebut sebanyak delapan jilid, ditambah satu jilid berisi
indeks dan aneka fakta. Harga paket buku tersebut Rp 6 juta. Sebuah penerbit di
Yogyakarta mengatakan kepada saya bahwa mereka sanggup menerbitkan buku itu
dengan harga 10 persen dari penerbit yang ditunjuk oleh Departemen.
Dalam perkembangannya, Direktur Jenderal Kebudayaan
berpindah ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya memperoleh informasi
bahwa departemen ini membeli buku tersebut untuk didistribusikan ke
perpustakaan seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia. Tidak jelas buku itu
dibeli dengan harga berapa. Jika dengan tarif Rp 6 juta, jelas itu terlalu
mahal.
Buku Indonesia dalam
Arus Sejarah masih bisa menjadi sumber dan pegangan, terutama jilid-jilid
awal. Buku mengenai prasejarah ditulis oleh para pakar yang kompeten. Bagian
ini bisa menjadi referensi, misalnya, tentang asal-usul orang Indonesia. Yang
tetap menjadi persoalan adalah jilid terakhir (7 dan 8), yang mengandung
peristiwa sejarah kontroversial.
Terlepas dari kontroversi tersebut, buku ini seyogianya
beredar luas di tengah masyarakat dan bisa dibeli di toko buku dengan harga
yang wajar. Sebetulnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa mencetak
sendiri buku tersebut dan mengedarkan ke seluruh Indonesia tidak dengan harga
Rp 6 juta. Atau bisa melelang naskah ini kepada penerbit swasta. Yang lebih
bagus lagi adalah bila paket buku bisa diunduh secara gratis di Internet,
sehingga bisa diakses oleh semua orang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar