Senin, 01 Juli 2013

Jangan Hanya Jadi “Macan Kertas”

Jangan Hanya Jadi “Macan Kertas”
Elok Dyah Messwati ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013


Pembentukan ASEAN Community 2015 sudah dekat. Indonesia harus bersiap diri di tiga pilar Komunitas ASEAN tersebut, yakni pilar politik dan keamanan, ekonomi, serta sosial budaya. Di pilar sosial budaya, perempuan pekerja atau buruh migran belum mendapat perlindungan memadai karena ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, yang ditandatangani para petinggi ASEAN pada 13 Januari 2007, hanya menjadi ”macan kertas”.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, seperti banyak prediksi sebelumnya, ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers tidak dipatuhi secara tulus oleh negara-negara ASEAN dalam melindungi buruh migran. Selama hampir enam tahun deklarasi itu dibentuk, tidak banyak perubahan signifikan terhadap nasib buruh migran, terutama buruh migran Indonesia di Malaysia dan Singapura.

Hal senada disampaikan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Arimbi Heroepoetri. Komnas Perempuan memandang, selama ini masalah utama perempuan Indonesia di tingkat ASEAN adalah masalah pekerja migran (yang kebanyakan perempuan), terutama mereka yang bekerja di Malaysia dan Singapura.

Melalui ASEAN Community ini diharapkan ada standardisasi perlindungan pekerja migran di tingkat ASEAN mengingat dalam Roadmap ASEAN Community bagian perlindungan untuk pekerja migran sudah terelaborasi dengan lengkap.

Diusir

Di Malaysia, misalnya, buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen masih saja menjadi sasaran pengusiran. Menurut Anis Hidayah, setiap minggu Pemerintah Malaysia secara rutin mengusir buruh migran yang tidak berdokumen lewat beberapa pelabuhan seperti Pasir Panjang Johor Bahru ke Nunukan, Kalimantan Timur.

Seharusnya, dengan adanya deklarasi yang ditandatangani pada 2007 itu, ada tindakan yang lebih baik untuk mengurus buruh migran, tidak sekadar mengusir. Pasalnya, kerap terjadi para buruh migran itu lari dari pemberi kerja, biasanya karena mengalami kasus-kasus kekerasan, sementara paspor dan dokumen lain dipegang si pemberi kerja.

Begitu juga bagi pekerja rumah tangga (PRT) migran, baik di Malaysia maupun Singapura, sampai hari ini belum sepenuhnya menerima hak-hak fundamental layaknya pekerja sektor lain sehingga rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Di Malaysia, PRT migran masih banyak yang mengalami penyiksaan, kekerasan seksual, dan gaji tidak dibayar. Meski Indonesia dan Malaysia tahun lalu telah berhasil memperbarui nota kesepahaman tentang PRT, dokumen itu belum sepenuhnya bisa memperbaiki nasib PRT selama kedua negara masih lemah komitmennya dalam mewujudkan legislasi di negara masing-masing terkait perlindungan PRT.

Sebenarnya deklarasi ASEAN untuk perlindungan buruh migran merupakan langkah maju jika semua anggota ASEAN mengimplementasikannya. ”Lemahnya kepatuhan ini juga karena instrumen ini non legally binding (tidak wajib). Karena itu, sangat mendesak untuk segera dibentuk instrumen yang legally binding. 

Sayang, proses yang telah berlangsung cukup lama untuk mewujudkan instrumen tersebut tak mendapatkan dukungan sepenuhnya, terutama dari negara tujuan seperti Malaysia dan Singapura, sehingga stagnan dalam pembahasan TOR,” ujar Anis Hidayah.

Eskalasi buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di Malaysia semestinya juga menjadi daya dorong bagi Indonesia untuk lebih serius mendorong proses di ASEAN, termasuk kerentanan buruh migran terhadap perdagangan manusia di Malaysia dan Singapura.

Kelompok rentan

ASEAN Community 2015 menempatkan isu perempuan sebagai kelompok rentan bersama dengan kelompok lanjut usia, anak-anak, dan penyandang cacat/disabilitas. Permasalahannya, masing-masing kelompok rentan ini memiliki pola kerentanan yang berbeda sehingga seharusnya memiliki pola penanganan yang berbeda pula.

Dalam dokumen Roadmap ASEAN Community ini, menurut Arimbi Heroepoetri, tidak muncul langkah afirmasi untuk perlindungan perempuan dengan tegas dalam level regional, apalagi dalam level masing-masing negara, selain mengacu pada Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW).

Arimbi menyatakan, perlu diingat juga, perempuan di setiap negara anggota ASEAN memiliki pola kerentanan yang berbeda dalam hal akses politik, ekonomi, dan pendidikan. Disparitas dalam akses tersebut juga masih tajam, termasuk latar belakang budaya dan agama.

”Potensi konflik budaya dan agama di ASEAN yang sering kali mengorbankan perempuan tidak cukup tecermin dalam dokumen ini. Eksistensi masyarakat adat sama sekali tidak disinggung, padahal secara faktual masyarakat adat hadir di setiap negara ASEAN,” kata Arimbi.

Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN—dalam hal ukuran sumber daya manusia dan sumber daya alam—dapat menjadi panutan untuk mendorong terjadinya keadilan jender dan perlindungan perempuan (termasuk kelompok rentan lainnya), salah satunya dengan mendorong hadirnya instrumen HAM nasional khusus perempuan di setiap negara ASEAN. Hal itu mengingat di ASEAN hanya Indonesia yang memiliki instrumen HAM nasional khusus perempuan, yaitu Komnas Perempuan. Pengalaman membangun Komnas 
Perempuan dapat dijadikan acuan bagi negara-negara ASEAN lainnya.


Dengan hadirnya ASEAN Community pada 2015, diharapkan semua penduduk di negara anggota ASEAN yang berjumlah 608 juta jiwa bisa bekerja sama mengatasi persoalan-persoalan yang ada di kawasan Asia Tenggara dan perjanjian/kesepakatan yang telah dihasilkan tak lagi menjadi ”macan kertas” semata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar