|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Tak terasa era multipolarisme sudah
berjalan hampir 22 tahun sejak bubarnya Uni Soviet, Desember 1991, menyusul
keruntuhan, perpecahan, dan reunifikasi negara-negara Eropa Timur mulai Oktober
1988. Bersyukur tak ada lagi struktur bipolaris Uni Soviet-Amerika Serikat yang
menimbulkan kerugian triliunan dollar AS akibat lomba senjata
nuklir/konvensional AS vs Uni Soviet dan NATO vs Pakta Warsawa.
Tak ada lagi proxy wars dua adidaya itu di
satelit mereka di Dunia Ketiga. Berkurang sudah jumlah pakta/pangkalan militer
ala Subic Bay (Filipina) atau Cam Ranh (Vietnam). Politik subversif yang mahal
di negara boneka masing-masing tak ada lagi. Tak ada alasan menyesali
berakhirnya Perang Dingin selama 46 tahun, yang lebih banyak mudarat daripada
manfaatnya dengan mencatut nama demokrasi dan perdamaian.
Struktur multipolaris lebih dari
dua kutub kekuatan tentu juga mengandung kelemahan. Ia tetap berpotensi memicu
konflik, tetapi intensitasnya relatif rendah. Ia bisa menimbulkan instabilitas,
tetapi wataknya jinak (benign). Ia
membuka peluang bagi negara-negara berteriak lantang, tetapi tak perlu lagi
menghunus pedang.
Kutub-kutub kekuatan utama tak cuma
AS atau China, tetapi juga bisa India atau Jepang. Kutub-kutub itu tak cuma
tingkat negara, bisa juga benua atau wilayah, seperti Eropa Barat,
Asia-Pasifik, atau Afrika.
Definisi ”kutub” (polar) masih belum permanen karena tak mustahil tumbuh lagi
kutub-kutub baru kelak.
Kutub-kutub itu, dengan pemerintah
sebagai pemeran utama, menyimpan ambisi untuk ikut menentukan masa depan yang
lebih sejahtera. Pemerintah bertindak sebagai penyambung lidah aktor-aktor
nonpemerintah, seperti pengusaha, media massa konvensional/sosial,
asosiasi profesional, LSM, partai, dan rakyat. Kuasa (power) tak lagi terkonsentrasi pada pemerintah yang terpilih secara
demokratis karena terbagi rata ke semua aktor.
Hidup di dunia multipolar rasanya
lebih aman dan nyaman dibanding bipolar. Rasa aman dan nyaman tak lagi dijamin
stok persenjataan atau jampi-jampi ideologi, tetapi oleh sandang dan pangan. Ya,
sandang dan pangan itulah yang mesti selalu disediakan pemerintah dengan
memaksimalkan semua sumber daya agar perut rakyat tak lapar, bisa bekerja, dan
punya rumah.
Rakyat tak tertarik lagi pada
sekadar cita-cita muluk negara. Rakyat berhak tahu ramifikasi dari apa yang
dimaksud dengan ”kepentingan nasional”. Melihat tanda-tanda zaman, dua elemen
yang dikandung ”kepentingan nasional” tersebut adalah kemandirian bangsa dan
kedaulatan wilayah. Rupanya dua elemen ini pula yang jadi aspirasi rakyat
Indonesia.
Kemandirian
dan kedaulatan
Di Asia-Pasifik, berakhirnya
bipolarisme memunculkan kembali sengketa-sengketa daratan/perairan yang tumpang
tindih, antara dua atau lebih negara. Sengketa-sengketa itu telah berlangsung
sejak medio 1990 dan sampai kini belum terkelola baik. Asumsinya, perang besar
takkan pecah di kawasan ini dalam waktu dekat.
Sengketa-sengketa itu laten, tetapi
termanifestasi dalam bentuk ketegangan diplomatik saja. Semua sengketa
tersingkap lagi karena tiap negara yang terlibat mengincar potensi
sumber-sumber kekayaan di wilayah sengketa. Multipolarisme menjamin stabilitas
dan perdamaian global dan regional. Apalagi belum tampak sebuah kekuatan
hegemonik tunggal yang beriktikad buruk menciptakan instabilitas regional.
Telah terbukti Asia-Pasifik kawasan
dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di dunia, sekalipun beberapa negara di
wilayah ini—termasuk Indonesia—pernah mengalami krisis moneter 1997-1998.
Asia-Pasifik adalah kawasan kerja sama ekonomi, politik, dan keamanan yang
melibatkan lebih dari 20 negara melalui berbagai forum multilateral. Beruntung
Indonesia menyandang status middle power di
Asia-Pasifik.
Kita belum naik kelas jadi ”negara
strategis”, seperti Australia atau Jepang. Namun, lokasi geografis, jumlah
penduduk, dan kekayaan alam kita mencapai kelas strategis. Vonis kita akan naik
kelas atau tidak diputuskan dalam masa ujian tahun 2014-2019, ketika Indonesia
dipimpin presiden yang baru. Dua mata pelajaran yang harus kita hafal mati
untuk naik kelas adalah kemandirian bangsa dan kedaulatan wilayah.
Modal-modal sosial lain kita sudah
punya: sejarah perjuangan yang berat, raihan-raihan kepemimpinan internasional
dan regional yang gemilang (baca: Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Nonblok,
ASEAN, dan G-20), dan praktik politik luar negeri yang bebas dan aktif. Kita
sudah terlalu banyak melancarkan prakarsa-prakarsa diplomasi. Telah tiba
waktunya untuk get things done.
Inilah titik lemah kita: pada
tingkat praksis kita belum berhasil menyinkronkan sukses diplomasi dengan
peningkatan ekspor komoditas-komoditas produksi nasional. Semua masalah
bermuara pada kegagalan koordinasi antara para pemangku kepentingan di dalam
negeri. Tiap masalah yang timbul sebatas diwacanakan dan solusi yang dihasilkan
hanya sekadar wacana baru.
Kita mesti hati-hati: kemandirian
bangsa dan kedaulatan wilayah tak henti-hentinya diganggu negara-negara lain.
Apalagi ini zaman multipolar, negara-negara yang berlomba menjadi kutub akan
saling memangsa. Kalau hanya jadi sasaran para pemangsa saja karena tak
berhasil mewujudkan kemandirian dan kedaulatan dari sekarang, Indonesia periode
2014-2019 akan gagal memetik buah dari ”Abad
Asia-Pasifik”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar