|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Keanggotaan G-20, 20 negara dengan
perekonomian terbesar di dunia, diperdebatkan. Kriteria keanggotaan dinilai
tidak jelas dan lemah, yang menyebabkan pamor G-20 lemah pula. Demikian, antara
lain, dituliskan di situs harian ”The
Wall Street Journal” edisi 19 Juni 2012. ”The G-20 Needs Better Admissions Standards” demikian judul tulisan
oleh Alex M Brill dan James K Glassman.
Brill adalah peneliti di American Enterprise Institute. Glassman
adalah Direktur Eksekutif di George W
Bush Institute. Mereka pernah menelaah siapa saja yang layak menjadi
anggota G-20. Keduanya mendebat keberadaan Argentina, Indonesia, Meksiko, dan
Rusia dalam keanggotaan di G-20. Sebaliknya, menyarankan Swiss, Malaysia,
Norwegia, dan Singapura menjadi anggota.
Alasannya, Argentina itu kecil dan
tidak bisa dijamin akan memegang kontrak sesuai hukum internasional. Argentina
pernah membatalkan secara sepihak utang internasional. Argentina di bawah
Presiden Cristina Hernandez juga belum lama membatalkan kontrak migas dengan
perusahaan Spanyol, Repsol. Senator Amerika Serikat Richard Lugar pada 2012
meminta Argentina didepak dari G-20.
Indonesia juga tidak luput dari
kritikan. Indonesia lebih besar dari Argentina secara ekonomi, tetapi dianggap
tidak memiliki kualifikasi menjadi anggota G-20. Indonesia dimaklumi untuk bisa
bertahan jika menjalankan janji reformasi perekonomian.
Meksiko dan Rusia juga dianggap
tidak memiliki persyaratan kuat sebagai anggota G-20. Pada intinya, kedua
penulis itu menyimpulkan, keanggotaan G-20 telah cacat dan memiliki krisis
legitimasi.
Persyaratan utama untuk menjadi
anggota berdasarkan riset yang dilakukan National
Taxpayers Union (AS) adalah ukuran ekonomi. Syarat kedua adalah keberadaan
hukum yang jelas dan penghormatan pada prinsip-prinsip ekonomi berdasarkan
mekanisme pasar. Faktor ketiga adalah ketersambungan sektor keuangan dengan
dunia luar.
Malaysia, Singapura, Swiss, dan
Norwegia dianggap lebih cocok menjadi anggota G-20. Dengan demikian, G-20 akan
bisa mengejawantahkan tiga tujuan utama. Pertama, koordinasi kebijakan di
antara para anggota dengan tujuan meraih stabilitas ekonomi global dan kesinambungan
pertumbuhan. Kedua, mempromosikan regulasi keuangan dan mengurangi risiko serta
pencegahan krisis pada masa depan. Ketiga, memodernisasi arsitektur keuangan
internasional.
Argumentasi di atas benar dari satu
sisi. Dengan argumentasi itu, maka G-20 yang beranggotakan 19 negara
(Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Perancis, Jerman, India,
Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika
Selatan, Turki, Inggris, dan AS) plus Uni Eropa dianggap akan sulit mewujudkan
impiannya.
Sejauh ini, G-20 memang terkesan
tidak bergigi. Kelompok ini dibentuk pada September 1999 saat para menteri
keuangan dan gubernur bank sentral G-7 bertemu di Washington DC, seusai krisis
ekonomi Asia 1997-1998. Pamor G-20 sempat mengemuka ketika George W Bush
mengundang semua pimpinannya bertemu di Washington pada 14-15 November 2008.
G-20 mewakili 90 persen produksi
domestik bruto (PDB) dunia, 90 persen perdagangan global, dua pertiga penduduk
dunia, dan penghasil 84 persen energi fosil dunia.
Seiring berjalannya waktu, pamor
G-20 mulai merosot, antara lain karena kekacauan ekonomi negara anggota setelah
pertemuan pada 2008 itu. Ini karena krisis melanda Eropa dan AS. Jepang dilanda
stagnasi walau mencoba bangkit lewat depresiasi yen, yang ternyata juga
memiliki kekuatan terbatas.
Pajak
Kini negara maju yang ada di G-20
diharu biru aksi penghindaran pajak. Keputusan G-8 pada Selasa (19/6)
menghasilkan komunike untuk memberangus aksi penghindaran pajak. Sebelumnya,
Uni Eropa juga mencanangkan pemberangusan kawasan-kawasan surga pajak. Ini
karena negara bobol akibat praktik kejahatan kerah putih.
G-8, yang kedelapan anggotanya
menjadi inti G-20, telah mempermalukan diri sendiri. Sanjungan pada Singapura
karena memiliki hukum yang bagus dan ketersambungan sektor keuangan dengan
dunia luar juga mulai meragukan. Pada 2 Juni lalu, kantor berita Agence France Presse menuliskan, Menteri
Anggaran Perancis Jerome Cahuzac mengakui telah mentransfer dana dari cabang
UBS di Swiss untuk menghindari pembayaran pajak. Akan tetapi, karena Pemerintah
Swiss bersepakat mengusut rekening Cahuzac, maka dia mentransfer 770.000 dollar
AS ke Singapura.
Dengan sendirinya integritas
Singapura pun dipertanyakan soal asal uang simpanan warga asing. Negara ini
boleh andal soal aturan main bisnis, tetapi perannya makin terkuak sebagai
ajang penghindaran beban pajak, setidaknya oleh Cahuzac.
Lebih bahaya mana? Negara yang
kurang bagus aturan main atau negara yang bagus aturan main tetapi secara
hipokrit implisit juga melindungi tabungan ”haram”?
Akhir kata, keanggotaan G-20, lepas
dari polemiknya, tetaplah sesuatu yang membanggakan bagi Indonesia jika
disadari betul. Direktur Bank Pembangunan Asia di Indonesia, Edimon Ginting,
mengatakan, G-20 kini malah lebih relevan dari G-8. Hal serupa dikatakan Dewi
Fortuna Anwar. Menurut Dewi, secara sosial politik global G-20 lebih layak pada
masa sekarang.
”G-8 adalah sentra krisis dan kini
tidak punya legitimasi kuat lagi dan kekuatan susah berkembang ke arah negara
berkembang,” demikian pendapat ekonom Universitas Atma Jaya Jakarta, A
Prasetyantoko.
Namun, sudahkah Indonesia berpacu
dengan dirinya sendiri? Sudahkah Indonesia layak sebagai anggota G-20 dan
melakukan langkah-langkah perbaikan ekonomi? Apakah Indonesia sudah bertindak
sesuai perannya sebagai anggota G-20?
Pengusaha Anton Supit berpendapat,
hal itu belum maksimal. ”Untuk bisa meyakinkan negara-negara besar yang
tergabung di G-20, kita harus punya ’dapur’ yang bisa mengkaji dan membuat
proposal yang matang dan bermutu. Saat kita sebagai Ketua ASEAN saja, tidak ada
yang signifikan bisa kita lakukan. Ini masalah kepemimpinan. Di dalam negeri
saja soal kepemimpinan sudah bermasalah, apalagi kalau mau memengaruhi
negara-negara besar,” ujarnya.
Pemerintah kurang bisa memanfaatkan
semua potensi bangsa, terutama yang bisa memberikan kontribusi bagi kemajuan
bangsa. ”Kita terjebak dalam politik praktis yang hanya berpikir soal pemilu ke
pemilu, hari ke hari, tidak berpikir demi masa depan bangsa dalam konteks
jangka panjang,” tambah Anton Supit.
Sebagai negara yang diprediksi akan
menjadi adikuasa, Indonesia sejak dini sudah harus menata diri. Saatnyalah
Indonesia beralih dari negara yang berkutat pada masalah sendiri menjadi solusi
bagi geopolitik global. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar