|
SUARA
KARYA, 21 Juni 2013
Pada akhir tahun lalu, di Jakarta,
telah diberikan Gelar Pahlawan Nasional kepada dua tokoh proklamator kita,
Soekarno-Hatta. Dan, hal ini tentu melegakan kita semua, sekaligus mengundang
pertanyaan, kenapa baru saat ini penganugerahan gelar itu disematkan? Apa
karena ada penganugerahan kepada Presiden SBY dari Kerajaan Inggis? Dari
fenomena ini, satu-dua orang menjadi kagum akan gelar-gelar yang bertaburan,
tapi sebagian besar apatis. Masalahnya, ruang kekaguman, di mana-mana telah
menjadi hampa tanpa makna.
Di luar kehampaan itu, satu rasa
kekaguman muncul kepada mereka, pengabdian guru. Sebuah predikat pekerjaan atau
profesi yang berkaitan dengan tanggung jawab pembentukan mental dan intelektual
anak-anak generasi bangsa. Dalam konteks tanggung jawab ini, guru pastinya akan
menghadapi murid yang memiliki bermacam-macam latar belakang budaya dan status
sosial. Sebuah gambaran beban mendidik yang rumit dan berat. Belum lagi,
ditambah beragamnya tingkat kenakalan, potensi intelegansi, dan ragam lainnya
yang harus 'dikelola' oleh guru. Sepertinya tidak salah jika konsekuensi atas
tanggung jawab guru itu, kemudian padanya diberikan gelar sebagai 'Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa'.
Meskipun tidak terlalu tepat jika
suatu makna pahlawan diikuti dengan tanda-tanda dan penandaaan yang macam-macam.
Apalagi, tanda untuk suatu jasa. Jasa kok ditandai? Kalau mau serius dengan
istilah-kata itu, semestinya ya 'tanda' itu tidak sekedar lips service saja.
Secara moral memang sudah
semestinya predikat pahlawan melekat pada sosok guru. Tapi, secara pragmatis
harus jelas bentuknya. Bentuk ekonomi, misalnya, sebagai parameter paling mudah
untuk mengukur tanda-tanda itu. Misal, mengukur kualitas guru secara akademis,
lantaran tak semua guru juga mumpuni bobot nilainya. Sering kita dengar oknum
guru yang bertindak asusila dan anarkis, bukan? Dan, memang harus diakui,
manajemen pendidikan kita masih keteteran untuk menuju ideal sebagai sistem
pengelolaan akan tenaga guru. Harapannya, sudah barang tentu penghargaan kepada
mereka (guru) dalam bentuk yang lebih pragmatis, tidak sekedar sanjungan
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Di luar persoalan Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa itu, perlu ditilik lebih dalam lagi jika hakikat kepahlawanan itu
akan diurai maknanya. Dengan kalimat yang tak njelimet, esensi pahlawan
merupakan subyek yang menyandang 'pahala'. Pahala-pahala sebagai keluaran atau
hasil kemanfaatan subjek manusia bagi kehidupan. Meskipun kualitas pahlawan
tidak bergantung pada kuantitas label seperti tanda jasa, atau pengakuan apakah
mereka punya jasa sedikit atau banyak. Dan, persoalan kualitas pahlawan secara
signifikan berhubungan dengan sosok atau seseorang yang menjadi panutan atau
teladan. Lalu muncul pertanyaan, apakah sebenarnya teladan itu? Dan, jawaban
yang relevan dengan konteks guru dapat ditarik maknanya dari kualitas dan
kemanfaatan eksistensinya bagi kehidupan.
Adalah merujuk pada kualitas kisah
nabi-nabi Tuhan. Dari situ, tentu saja akan dijadikan referensi generasi umat
manusia untuk melanjutkan kehidupan dalam membentuk peradaban yang lebih baik.
Maka, idiom 'lebih baik' menjadi pokok imperatif hidup manusia, sebagai arah
tujuan segala usaha manusia berada. Orang bijak mengatakan (seorang dosen saya
di filsafat UGM), "Jangan pernah
mempercayai sepenuhnya kepada sosok teladan, karena dengan ukuran-ukuran sosok
teladan itu akan membuat kita tidak berkembang."
Bisa dipahami jika sosok yang
menjadi teladan, kita jadikan sumber utama dan satu-satunya pegangan hidup,
maka siap-siap saja kita untuk menjadi dekaden, tertinggal oleh pesatnya laju
zaman, atau bahkan menurunnya kualitas kehidupan kita. Makna keteladanan yang
dogmatis memang harus dibongkar untuk membuka pintu ketakjuban kita yang bisa
berbahaya jika mengarah pada kultisisme. Seperti realitas saat ini jika
dibandingkan dengan ukuran pendahulu kita yang kita jadikan teladan.
Hari ini kita terus berdecak kagum
pada peradaban masa lampau. Tapi, hanya berhenti dalam kekaguman, tanpa
melakukan kreasi baru yang lebih baik nilainya. Meskipun keluhuran peradaban
nenek moyang kita juga jangan sampai dilupakan, namun substansinya adalah
mengambil apa-apa yang bernilai. Dan, memang tetap harus mepelajari asal-usul
kita, nenek moyang kita, tradisi kita, yang kesemuanya dijadikan titik tolak
kita dalam melangkah. Bukanlah kecepatan dan percepatan langkah kehidupan
manusia itu bergantung pada seberapa mantap titik tolak dan pijakan kakinya?
Identitas diri melalui budaya, itulah titik tolak kita.
Mengenai teladan, dapat pahami
sebagai referensi alternatif pembentukan diri. Semacam panduan pengalaman dari
pendahulu kita untuk menyusuri belantara masa depan. Jika teladan itu kita
simpan dalam idealisme tanpa menyesuaikan perkembangan peradaban dan enggan
untuk membuka potensi diri kita, maka kita akan terus berada di bawah bayang
sosok teladan itu tanpa adanya perkembangan kualitas yang lebih maju.
Jadi, sosok teladan, pahlawan,
idola, panutan, atau apa pun istilahnya patutlah kita hormati. Kita pelajari
dengan lengkap lebih-kurangnya. Bukan untuk dijadikan tujuan akhir dan
mengkultuskannya, cukup untuk menjadi referensi ilmu, atau titik tolak gerakan.
Akhirnya, mengembarai fenomena
guru sebagai sosok yang digelari Pahlawan Tanpa Tanda Jasa hingga mengkritisi
hakikat keteladaan telah mengantarkan pada satu titik pemahaman. Bahwa sifat
kekaguman perlu untuk diwaspadai, termasuk kagum kepada sosok teladan
sekalipun. Seperti anjuran sang bijak, 'Jangan
pernah mempercayai sepenuhnya...' karena kepercayaan yang mutlak hanyalah
untuk-Nya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar