|
SINAR
HARAPAN, 21 Juni 2013
Sudah
menjadi perhelatan biasa, dalam rangka memperingati hari lingkungan setiap
tahun, berbagai kegiatan dilakukan baik di tingkat nasional maupun daerah. Mulai
dari Pekan Lingkungan Indonesia yang biasanya digelar di JCC (Jakarta Convention Center) yang
dilanjutkan dengan perayaan hari lingkungan baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Semuanya itu dilakukan dalam rangka ikut menyemarakkan hari
lingkungan.
Namun,
satu hal yang menggelitik dan menarik untuk dicermati, setiap kali memperingati
hari besar lingkungan itu, biasanya selalu diikuti dengan gerakan menanam
pohon, bersepeda gembira, dan berbagai kegiatan lainnya.
Menariknya,
aktivitas di atas yang ditonjolkan adalah nominal atau angka. Misalnya saja,
gerakan menanam sejuta atau bahkan semiliar pohon atau bersepeda gembira atau bakti
lingkungan yang melibatkan ribuan atau puluhan ribu orang.
Dari
semua kegiatan itu, gerakan menanam pohon yang paling sering kita dengar, tidak
hanya pada momen hari lingkungan, tapi setiap kegiatan berhubungan dengan
lingkungan. Ajakan gerakan ayo menanam satu juta atau satu miliar pohon dengan
mudah kita jumpai pada spanduk atau iklan di media massa.
Menariknya
di sini, seakan-akan orang berlomba dengan angka. Bahkan akhir-akhir ini,
jarang kita dengar gerakan menanam seribu pohon, apalagi seratus pohon saja.
Umumnya, kalau bukan satu juta pohon, satu miliar pohon.
Pertanyaannya,
benarkah yang ditanam itu sejumlah angka tadi. Bila ya, lantas ditanam di mana?
Tak hanya itu, dan ini yang terpenting, bagaimana keberlanjutannya,
perawatannya, apakah benar anakan pohon tadi dirawat dan tumbuh sehingga punya
nilai bagi lingkungan.
Ataukah,
jangan-jangan hanya ini permainan angka, supaya lebih terkesan wah, lebih
fantastis, sebagaimana judul tulisan ini. Yang penting jumlahnya banyak, soal
bagaimana keberlanjutan itu urusan lain.
Tampaknya,
yang ingin dicapai adalah kuantitatif–jumlahnya-bukan kualitatif (kualitasnya).
Kepedulian lingkungan terjebak pada berapa banyak yang kita tanam.
Jadi,
semakin besar jumlah pohon yang ditanam menunjukkan semakin peduli orang itu
pada lingkungan, padahal belum tentu itu benar. Demikian sebaliknya, semakin
sedikit jumlah yang ditanam, semakin menunjukkan orang itu kurang peduli dengan
lingkungan. Pencitraan lingkungan seperti ini yang perlu kita cermati dan
kritik.
Kepedulian
Dangkal
Kepedulian
lingkungan yang kurang mendalam atau dangkal seperti ini digambarkan dengan
baik oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia. Dalam artikelnya
berjudul "The Shallow and the Deep,
Long-range Ecological Movement: A Summary", Naes membedakan antara Shallow Ecological Movement dan Deep Ecological Movement.
Deep Ecology (DE) adalah cara pandang yang melihat lingkungan
dalam kaca yang lebih jauh, lebih dalam tidak hanya berpusat pada manusia, tapi
dalam bingkai ekosistem sebagai satu kesatuan.
DE
tidak hanya memusatkan perhatiannya pada kepentingan jangka pendek, tetapi
jangka panjang. DE lebih berusaha melihat akar permasalahan kerusakan dan
pencemaran lingkungan secara lebih komprehensif dan holistik, untuk kemudian
mengatasinya secara lebih mendalam dan tepat.
Shallow Ecology (SE) adalah kebalikan dari DE, yaitu suatu cara
pandang lingkungan yang sifatnya kurang mendalam, permukaan saja, dan
pendekatannya lebih bersifat teknis. Perhatian utama SE adalah bagaimana
mengatasi masalah pencemaran dan pengurasan sumber daya alam.
Pendekatan
SE ini tentu saja sifatnya cenderung reaktif, instan, tanpa mampu melihat lebih
jauh apa akar masalahnya. Tak heran, banyak persoalan lingkungan, seperti
masalah banjir, sampah, kemacetan lalu lintas, pembalakan liar, dan masalah
lingkungan lainnya tidak pernah tuntas ditangani. Begitu pun terkait dengan
gerakan menanam pohon untuk mengatasi perubahan iklim atau menjaga peran
Indonesia sebagai paru-paru dunia. Lalu, apa yang harus dilakukan.
Mengubah
Paradigma
Tokoh
utama gerakan DE, Arne Naes, menyatakan bahwa krisis lingkungan
dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan
perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Menurut Arne
Naes, yang dibutuhkan di sini sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak
hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara
keseluruhan.
Kesalahan
cara pandang ini bersumber dari etika antroposentris, yang memandang manusia
sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai,
sementara alam dan segala isinya sekadar objek bagi pemuas kepentingan dan
kebutuhan hidup manusia. Inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup
sekarang ini.
Untuk
itu, paradigma atau cara pandang lingkungan kita perlu direstorasi dari cara
berpikir yang dangkal (shallow ecology)
ke berpikir yang dalam (deep ecology)
yang melihat akar permasalahan lingkungan dari sekadar yang tampak di permukaan
saja.
Momen
hari lingkungan tahun ini yang mengusung tema "Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi untuk Selamatkan Lingkungan", kita
perlu mengoreksi dan merefleksi cara pandang dan cara penanganan
masalah lingkungan yang tidak ekologis selama
ini. Kita harus keluar dari kungkungan cara berpikir
kita yang sifatnya shallow ecology
menuju pola pikir deep ecology, menuju
suatu habitus baru yang ekologis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar