Seorang anak bertanya pada ayahnya, "Apa sih Pakta
Integritas itu, Pak?"
Sang ayah menjelaskan, khususnya yang berkaitan dengan Pakta
Integritas yang ditandatangani para pengurus Partai Demokrat (PD) di
kediaman Ketua Dewan Pembina partai itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
pekan lalu.
Kata ayahnya, itu semacam sumpah secara tertulis yang mengikat
dan mengharuskan penandatangannya menjalankan kegiatan politik secara
bersih, bertangung-jawab, bersih dan beretika.
"Tujuannya adalah mengembalikan nama baik atau reputasi
organisasi, dalam hal ini Partai Demokrat, yang telah tercoreng oleh
sejumlah kader yang terbukti melakukan korupsi," kata sang ayah.
"Jika yang menandatangangi pakta itu melanggar janjinya,
mereka akan dipecat ya Pak?"
Benar. Konsekuensinya, semua yang telah terikat janji itu tak
bisa berbuat seenaknya, melanggar etika, apalagi melakukan kegiatan yang
jelas-jelas meruntuhkan integritas mereka seperti korupsi atau tindakan
pidana lainnya.
"Jadi, kalau yang tidak atau belum pernah menandatangani
pakta seperti itu, boleh korupsi, Pak?"
Sang ayah tersenyum. Ia sadar sikap anaknya yang kritis itu
menunjukkan ia seorang yang pandai dan peduli.
"Tidak Nak. Sebenarnya, tanpa Pakta Integritas atau sumpah
di depan kitab suci pun, semua pejabat partai, pejabat publik, dan pegawai
negeri sipil atau pun militer harus menjunjung tinggi moral dan etika.
Semuanya mesti bersikap profesional, jujur, terbuka dan bertanggung jawab.
Semua pegawai pemerintah,di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif itu
bekerja sebagai pelayan masyarakat."
Anaknya menganggukkan kepala. "Pantas Pak, di luar negeri
pegawai negeri kan disebut 'civil servant', pelayan masyarakat. Jadi mereka
harus mengabdi kepada rakyat, bukan malah mengorupsi uang negara yang jelas
merugikan rakyat banyak," ujar anaknya.
"Betul Nak, dalam bahasa Arab ada pepatah, 'Raais al-qaum
khaadimuhum', artinya: pemimpin sebuah komunitas adalah pelayannya,"
tambah si ayah.
Integritas
dan Trust
Begitulah sedikit dialog antara ayah dan anak yang membuat kita
tersenyum. Tentu masih banyak hal yang tidak sempat mereka bicarakan,
termasuk, antara lain, mengenai sebab-musabab mengapa SBY harus mewajibkan
jajaran PD menandatangani pakta, dan mengapa sejumlah partai politik
(parpol) lain belum atau tidak melakukan hal serupa itu.
Nah, bicara asal-usul pakta itu, bisa dipastikan bahwa ia muncul
karena belakangan ini SBY dan para petinggi PD merasakan merosotnya etika
dan kejujuran pada sementara kader partai, sehingga mereka kehilangan
kepercayaan (trust) publik yang jelas-jelas menurunkan elektabilitas partai
itu pada Pemilihan Umum 2014 -- sebagaimana ditunjukkan hasil beberapa
survei belum lama berselang.
Trust itu merupakan, ‘sebuah harapan terhadap kata-kata, janji,
pernyataan lisan atau tertulis seseorang atau suatu kelompok yang dapat
diandalkan.’ Maka, bila sebuah organisasi kehilangan trust dari publiknya,
sang publik itu tentu tidak akan lagi memiliki harapan kepadanya.
Sama saja, apakah organisasi tadi sebuah parpol seperti Partai
Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) atau sebuah perusahaan, sekali
mereka tidak lagi dipercaya publiknya, maka terkikis pulalah reputasi
organisasi itu. Ibarat pepatah, sekali lancung ke ujian seumur orang tak
percaya.
Sesungguhnya, setiap organisasi yang ingin menghindari sebuah
krisis bisa belajar dari berbagai krisis yang pernah terjadi sebelumnya, untuk
kemudian belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Salah satu kasus yang menarik di dunia adalah yang pernah menimpa
Intel, ketika chip Pentium 5 mengalami krisis pada1994. Perusahaan ternama
di Amerika Serikat (AS) itu awalnya menolak bahwa ‘math processor’ yang
diproduksinya saat itu mengalami kegagalan.
Setelah Thomas Nicely, guru besar matematika di Lynchburg
College, menulis surat kepada Intel, perusahaan yang didirikan Andrew Grove
itu tetap ngotot. Padahal itu tergolong pelanggaran etika di bidang
engineering, setidaknya karena Intel menyembunyikan kelemahan dalam
chip-nya kepada konsumen.
Kata Intel, “Masalah kegagalan itu hanya akan terjadi pada
pemakaian perhitungan spreadsheet satu kali dalam 27 ribu tahun
penggunaan.”
Kekeliruan yang diakibatkan processor itu memang menyangkut
pembagian yang rumit dan detail. Ia mungkin masalah ‘kecil’ bagi banyak
orang, karena yang terjadi, adalah perbedaan hasil pembagian, misalnya,
4195835/3145727 adalah 1,333382, sedangkan P5 memberi hasil 1,33374.
Kesalahannya memang hanya 0,0006%.
Saat itu, para juru uji kualitas (quality control) Intel sebenarnya sudah menengarai adanya
masalah ini, dan memberi tahu para manager. Tetapi para manager itu tidak
mau merespon, mengingat kenyataan bahwa sebagian besar pengguna ‘tidak akan
menyadarinya’.
Barangkali bila pemakai komputer itu adalah bapak dan anak pada
ilustrasi di atas, perkaranya tak seberapa bermasalah. Tetapi bagi ahli
matematika seperti Nicely itu soal penting. Ia pun akhirnya mengangkat
kasusnya lewat Internet, sehingga menyebarlah berita buruk itu ke berbagai
penjuru dunia.
Belakangan, banyak konsumen lain ikut mengeluhkan soal chip itu.
Krisis makin memuncak. Berbagai media memberitakan masalah itu. Lebih parah
lagi, belakangan IBM menolak memakai chip Intel, sehingga krisisnya baru
berhasil pulih setelah saham Intel sempat turun 5% dan Intel rugi jutaan
dolar.
Itu membuktikan bahwa sebuah krisis yang tidak ditangani dengan
baik bisa berlangsung lama dengan kerugian yang amat besar. Bagi perusahaan,
kerugian itu bisa berupa berpindahnya konsumen kepada brand pesaing,
menurunnya harga saham, sampai kepada sebuah kebangkrutan, sebagaimana yang
terjadi pada Enron, Andersen dan World.Com di AS lebih satu dasawarsa lalu.
Dalam kasus Intel, untung saja setelah beberapa pekan terpuruk
dalam krisis, perusahaan itu akhirnya mengakui dan meminta maaf atas
insiden yang tak diharapkan itu. Maka, kasusnya segera pulih kembali, dan
nama baik Intel pelan-pelan naik lagi.
Seharusnya Partai Demokrat pun bisa meniru langkah Intel tadi.
Sebelum melakukan pembenahan ke dalam, termasuk dengan mengharuskan
kadernya menandatangani Pakta Integritas, semestinya PD lebih dulu meminta
maaf atas kesalahan yang terjadi (meski itu dilakukan oleh ‘oknum’ kader
dan bukan atas nama partai), dan mengakui secara jujur dan terbuka.
Tidak perlu menutup-nutupi, apalagi bersikap defensif, misalnya
dengan menyebut-nyebut nama parpol lain yang juga melakukan korupsi.
Sebagai the ruling party, wajar bila PD dan para tokohnya mendapat lebih
banyak sorotan media ketimbang partai lain – sebab di mana pun di dunia
ini, media memprioritaskan kejadian yang menyangkut para elit di sekitar
penguasa, hangat kejadiannya, dekat lokasinya dan punya dampak besar.
Semua pimpinan organisasi yang ingin sukses mesti ingat bahwa
kebutuhan terhadap trust tidak saja perlu untuk memuaskan peran mereka
sebagai ‘penyampai pesan’ bagi organisasi agar selalu tampak kredibel,
melainkan juga sangat penting dalam tujuan membentuk dan memelihara
hubungan baik mereka dengan publiknya.
Bila fungsionaris parpol hanya pandai ber-retorika, dan tidak
berusaha secara terus menerus merebut trust masyarakat -- khususnya lewat
bukti perbuatan yang menunjukkan keterbukaan, kejujuran dan keadilan --
maka percuma saja mereka mengganti pimpinan partai dan menandatangani Pakta
Integritas, sehebat apa pun kalimat yang tertulis dalam pakta itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar