Menjelang Pemilu 2014,
sudah banyak tokoh mulai tampil atau dimunculkan ke atas pentas politik
untuk dijagokan sebagai calon presiden.
Ini sesuatu yang positif
bagi pendidikan demokrasi, agar rakyat sebagai pemilik sah hak atas
kedaulatan tidak membeli kucing dalam karung pada pemilu nanti; agar rakyat
tidak salah mendaulat seorang tokoh untuk menjadi pemimpin mereka; agar
rakyat dapat melihat, menilai, dan mempertimbangkan untuk menentukan
pilihannya sesuai dengan akal sehat dan hati nuraninya ketika berada dalam
bilik pencoblosan kertas suara pada hari H pemilu presiden nanti.
Di antara para bakal
calon presiden itu, ada yang sangat giat melakukan manuver baik di tingkat
elite partai-partai politik untuk menjajaki kemungkinan kerja sama atau
koalisi, maupun manuver di tingkat akar rumput untuk menyosialisasikan diri
dan menarik minat serta perhatian masyarakat calon pemilih.
Kalau memakai istilah
yang sedang ngetrend sekarang disebut melakukan politik blusukan ke tengah
masyarakat untuk mengetahui apa sesungguhnya persoalan hidup yang dirasakan
oleh rakyat sehari-hari.
Selain itu, para
konsultan politik dan lembaga-lembaga survei sudah mulai kebanjiran order
ataupun mencari order untuk melakukan survei tentang tingkat popularitas
dan tingkat keterpilihan para tokoh bakal kandidat presiden itu. Para pakar
dan pengamat politik pun semakin sibuk memberikan analisis dan komentar
tentang peluang dan hambatan yang bakal dihadapi para bakal kandidat
presiden.
Pencitraan Vs
Pencerdasan
Meskipun demikian, ada
yang menarik untuk dikomentari secara kritis tentang fenomena politik
blusukan itu; bahwa blusukan lebih merupakan politik pencitraan ketimbang
politik pencerdasan. Meminjam pendapat Rizal Ramli, mantan Menko
Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, kalau para perintis
kemerdekaan zaman dulu, mereka adalah pemimpin pencerdasan, sedangkan para
pemimpin sekarang adalah pemimpin pencitraan (Rakyat Merdeka, 8/2/’13).
Saya setuju dengan
pendapat Bung Rizal Ramli tersebut. Dari segi waktu memang zaman perjuangan
kemerdekaan beda dengan zaman reformasi. Tetapi, hakikat eksistensi seorang
pemimpin bangsa haruslah tetap sama yaitu sebagai “pemimpin pencerdasan” dan bukan “pemimpin pencitraan”. Menurut saya, pencitraan dalam
komunikasi politik lebih merupakan realitas kemasan, realitas palsu, atau
realitas seolah-olah ketimbang realitas sesungguhnya dari sang tokoh.
Sebagai misal, saya
adalah seorang pengusaha besar. Dalam praktik bisnis, saya memanipulasi
pajak demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kerajaan bisnis
saya. Perusahaan saya juga merusak lingkungan hidup.
Tetapi, ketika saya maju
menjadi calon presiden maka tim sukses akan mengemas saya, sedemikian rupa,
sehingga melalui iklan di TV, saya tampil sebagai tokoh yang sangat peduli
dengan nasib rakyat, ketika saya blusukan di tengah-tengah mereka. Di sana
saya menggendong anak rakyat miskin atau berlumpur ria memanen padi di
sawah bersama para petani, dan sebagainya.
Tetapi, realitas saya
dalam iklan di TV adalah realitas kemasan alias “saya yang palsu”. Mengapa?
Karena dalam realitas bisnis, saya adalah seorang pengemplang pajak rakyat
dan perusak lingkungan hidup.
Tetapi, karena saya mempunyai
banyak uang maka saya bisa baku atur dengan oknum-oknum penegak hukum agar
saya lolos dari jerat hukum. Jadi, realitas saya dalam kemasan iklan
berbeda dengan realitas saya sebagai seorang pengusaha yang mengemplang
pajak rakyat dan realitas perusahaan saya yang merusak lingkungan hidup.
Praktik pencitraan
seperti di atas jelas menipu rakyat. Beda dengan seorang pemimpin yang
pikiran, perkataan, dan perbuatannya membawa pencerahan, pencerdasan, dan
kemaslahatan bagi rakyat. Pemimpin pencerdasan dan pencerahan akan
konsisten antara kata-kata dan perbuatan.
Tanpa embel-embel
pencitraan pun, seorang pemimpin pencerdasan akan selalu dicintai rakyat,
karena seluruh hidupnya diabdikan kepada kepentingan bangsa, negara, dan
rakyat. Dewasa ini nyaris sulit sekali kita menemukan politikus dan pejabat
negara yang berkarakter “mengabdi
Republik”, sebagaimana diperlihatkan para founfing fathers, antara lain Adam Malik, yang menuangkan
pengabdian mereka itu dalam bukunya Mengabdi Republik.
Kalau sekarang, yang terjadi
adalah bagaimana pemimpin kita menjual Tanah Air ini ke bangsa asing.
Mereka lebih pantas disebut komprador yang menjadi kaki tangan atau jongos
buat kepentingan asing ketimbang disebut sebagai tokoh pemimpin bangsa.
Yang ada dalam pikiran
mereka adalah bagaimana bersama bangsa asing merampok Republik ini untuk
kepentingan diri, keluarga, dan golongannya serta kepentingan asing;
sehingga yang berjaya dan hidup enak di Republik ini adalah orang asing dan
para elite politik dan elite bisnis ketimbang rakyat Indonesia sendiri.
Rakyat menghafal lagu “Tanah Airku
Indonesia”, tetapi tidak mempunyai tanah, malah didera berbagai kasus
agraria di tanah tumpah darahnya sendiri.
Yang didapat rakyat
hanyalah “remah-remah roti” yang
jatuh dari meja tuan elite politik dan elite bisnis, serta meja tuan
neokolonialis, neoimperialis, dan neolib. Remah-remah roti hanya layak
dimakan anjing dan kucing. Masa rakyat sama dengan anjing dan kucing?
Sungguh ironis.
Para founding fathers berjuang supaya
bangsa ini menjadi negara merdeka, tetapi para pemimpin pencitraan malah
membuat bangsa ini kembali dijajah bangsa asing. Saya bukan orang yang
antiasing, tetapi saya tidak rela, lantaran kebebalan dan kelemahan para
pemimpin bangsa ini, maka Indonesia tetap dijajah bangsa asing, yang
berkedok globalisasi dan investasi serta pasar bebas.
Atas nama reformasi dan
globalisasi para pemimpin pencitraan itu telah mengkhianati Proklamasi,
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945, serta ajaran kemandirian
bangsa yaitu Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang
ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Mesias Politik
Oleh karena itu, bangsa
ini sangat merindukan datangnya seorang “mesias” politik. Rakyat Indonesia
merindukan tampilnya tokoh yang tidak hanya sekadar “bercita-cita menjadi presiden”, yang sekarang muncul bak
cendawan di musim hujan, tetapi seorang “mesias politik” alias tokoh “pemimpin penyelamat Republik” ini
dari kehancuran akibat pengkhianatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 18 Agustus 1945, Proklamasi, serta Trisakti.
Selama 15 tahun
reformasi bangsa ini hidup tanpa negara, karena negara telah “dibubarkan”
oleh kaum reformis pengkhianat dengan menghasilkan sebuah undang-undang
dasar yang sama sekali baru, yang sama artinya dengan membubarkan negara,
yaitu Undang-Undang Dasar Neolib 2002. Saya yakin pandangan ini akan
menimbulkan kontroversi, tetapi saya mengundang para ahli untuk
berdiskursus secara kritis-argumentatif-komprehensif demi penyelamatan
Republik ini.
Indonesia dewasa ini mengalami
kelebihan atau mubazir poli(tikus), yang kalau dihilangkan kata polis (Yun artinya negara-kota atau kepentingan
umum), maka yang tinggal adalah “tikus-tikus” yang menggerogoti dan
mencuri uang rakyat melalui tindakan korupsi yang bukannya semakin berkurang,
malah semakin menggila.
Rakyat Indonesia tidak
membutuhkan pemimpin bermental kuli ketika berhadapan dengan bangsa asing.
Kalau pemimpinnya sendiri sudah bermental kuli maka rakyat Indonesia akan
menjadi budak atau kuli benaran. Ini fakta yang tidak dapat dibantah.
Rakyat Indonesia benar diperbudak di luar negeri.
Indonesia sangat
membutuhkan seorang “mesias politik”
yang dengan berani membawa bangsa ini kembali ke Pancasila dan UUD 18
Agustus 1945, kemudian menata ulang haluan politik bangsa ke depan demi
mewujudkan Trisakti Indonesia. Ini bukan set back alias langkah mundur,
melainkan langkah maju untuk menyelamatkan Republik ini.
Kita membutuhkan
pemimpin pencerdasan dan pencerahan, pemimpin revolusioner-radikal,
pemimpin berintegritas tinggi, pemimpin pemberani, yang seperti Bung Karno
mengatakan, “Go to hell with your
aids.” Sebaliknya, Indonesia tidak membutuhkan pemimpin pencitraan.
Kita membutuhkan mesias politik yang rela “mengorbankan” dirinya demi keselamatan bangsa, negara, dan
rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar