BENARKAH pers tanpa kontrol?
Pada 1975, ketika sedang menjabat Perdana Menteri India, Indira Gandhi
(1917-1984) mengatakan, “Saya benci
penyensoran.” Tetapi dia tambahkan, penyensoran toh dilakukan terhadap
koran-koran yang dia anggap memelopori kampanye menentang pemerintah dan
merongrong rasa percaya diri masyarakat.
Ungkapan seperti itu sering memunculkan
‘media elite’, sebutan untuk media/ pers yang cenderung menari mengikuti
irama gendang penguasa. Mereka bukan media massa yang mencerminkan aspirasi
massa.
Bahwa pers dituding menjadi sumber
pemberitaan yang membuat masyarakat kehilangan wawasan jernih, menjadi
sumber kekacauan dan seakan-akan mengakibatkan cacat sosial, bukanlah hal
baru. Padahal ibaratnya no man is an
island. Tidak ada individu, lembaga, atau negara yang mampu menimbulkan
masalah sosial atau, sebaliknya, mengatasinya tanpa keikutsertaan pihak
lain.
Dalam kaitan itu, daripada selalu saja
mengumpati peran pers, membuat pers sebagai kambing hitam untuk setiap
persoalan sosial, bukankah masyarakat yang peduli sebaiknya urun rembuk?
Fungsi pers memang menuntutnya agar peka terhadap situasi
sosial-politik-budaya. Untuk itu mereka membutuhkan banyak rujukan dan
masukan, khususnya terobosan dari mereka yang pemikirannya dapat
diandalkan: kaum intelektual, misalnya. Sebaliknya juga dari mereka yang
mengeluhkan perkembangan situasi.
Dr. Alfian (1940-1992), salah seorang
ilmuwan politik yang hasil pemikirannya sering dikutip pers, dalam suatu
ceramah di forum PWI pernah menyatakan bahwa terobosan menandai lahirnya
suatu kesadaran baru. Kesadaran baru lahir dan berkembang melalui keberanian
para intelektualnya untuk menyelami dan memahami secara kritis kondisi
bangsa yang sesungguhnya.
Di awal perjuangan mendirikan republik ini, dengan
memakai kemajuan bangsabangsa lain sebagai pembanding, para intelektual
menjadi makin memahami arti keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan
bangsa ini. Ketika menanggapi salah satu pertanyaan di forum PWI itu, Alfian
secara ringkas menyimpulkan, “Dalam
keadaan ruwet, sebaiknya kita bersikap sederhana dan bersih dari curiga.”
Retrospeksi
Pers
Peringatan Hari Pers Nasional bisa
dipakai kalangan pers untuk retrospeksi mengenai jati diri dan perannya dalam
kehidupan sosial-politik dan budaya, yang saat-saat ini sedang kisruh.
Memang bijaksana kalau orang pers mau mengatur diri untuk berkebiasaan
retrospeksi, apalagi bila sebagai individu atau lembaga kita memiliki power.
Jelas, pers memiliki power betapa pun besar atau kecilnya.
Harry Scott Ashmore (1916-1998) tokoh pers pemenang hadiah Pulitzer, pernah
mengatakan dalam ceramah di Harvard, mungkin yang paling kita perlukan
hanyalah keberanian untuk menyadari bahwa `berita' bukan hanya catatan
mengenai fakta-fakta yang dapat dipastikan kebenarannya dan pendapat-pendapat
yang muncul sebagai akibatnya, melainkan juga catatan rentetan kejadian di
dunia yang kita tempati dilihat dari nilai-nilai moralnya. Kita bisa saja
salah, itu pasti, dan kita bisa saja disalahgunakan. Tetapi, paling tidak
kita akan menempati posisi di menara, dan berusaha menceritakan apa yang
kita lihat dalam segenap dimensinya.
Tokoh pers Amerika lainnya Joseph Pulitzer
(1947-1911), kelahiran Hongaria, menyatakan, tradisi terluhur jurnalisme
adalah tradisi untuk tetap mendengarkan hati kecil atau conscience kita. Tanpa itu, jurnalis
tidak ubahnya seperti stempel untuk prasangka yang dirasakan massa dan
surat kabar berperan tidak lebih dari gumpalan kertas untuk pelapis rak
atau pembungkus ikan basah, dan bukan catatan rentetan kejadian dalam
kehidupan manusia yang isinya dihormati pembacanya.
Menyimak pendapat Harry Ashmore dan Joseph
Pulitzer, rasanya gagasan yang mereka kemukakan tidak beda dari apa yang
ingin dicapai masyarakat pers Indonesia umumnya.
Menjaga Nurani dan Citra
Menerjemahkan makna pers
sebagai pilar demokrasi tentu tak gampang. Kita bisa menulis buku untuk
itu. Tetapi, yang dikatakan tokoh-tokoh pers dunia intinya sama: bagaimana
pers diharapkan menjaga integritasnya tanpa larut dalam pragmatisme yang
menjadi ciri zaman. Artinya, jangan pers menjual diri demi kelangsungan
hidupnya, seperti yang dituduhkan banyak pihak.
Kenyataannya, masyarakat pers, seperti
lain-lainnya, bersifat heterogen, tergantung pada pengalaman dan
pendidikannya. Juga tergantung pada bagaimana cara menjaga kelangsungan
hidupnya. Orang memuji atau memaki pers sesuai kemampuannya menyeimbangkan
bisnis dan idealisme. Mereka perlu jeli memikirkan, mana yang bisa
dibisniskan, mana yang menjaga idealisme. Lacurnya, demi uang, orang sering
mencampuradukkan keduanya; antara lain karena ketidak pekaannya melihat
situasi.
Sebenarnya pers sudah dilengkapi dengan berbagai perangkat yang
tidak akan membuatnya sesat; seperti kode etik jurnalistik maupun berbagai
peraturan yang menjabarkan komitmen dan tanggung jawab pers terhadap
publik.
Sayangnya, selalu ada saja yang nekat, yang
terbius kepentingan kekuasaan-pribadi, kelompok, atau bahkan bangsa dan
negara. Seperti maju perang, pertarungan batin sering terjadi, to kill or not to kill. Ketika
pilihan membuat orang pers terjepit, pada akhirnya dia sendiri yang harus
menentukan.
Publik bisa saja mengatakan pers yang
itu tidak bertanggung jawab. Padahal dia melakukannya atas dasar panggilan
nurani. Mudah-mudahan jarang yang memilih jalan salah hanya demi
kepentingan pribadi. Bila itu toh terjadi--seperti yang terjadi pada para
koruptor-yakinlah bahwa publik bisa menengarai. Kita sekali-sekali bisa
membohongi, tetapi tentu tidak selamanya. Apakah dia jurnalis murni atau
tidak, publiklah yang menentukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar