Beberapa kasus yang mendera
kader-kader partai politik di negeri ini cukup meyakinkan kita bahwa ada
yang salah dalam pendidikan politik bangsa ini. Partai politik seperti
tidak mampu memberikan nilai atau ruang penyadaran terhadap visi dan misi
yang diemban, yang merupakan wujud interpretasi ideologi.
Kasus
korupsi sapi impor yang menjungkirkan pucuk pimpinan partai besar
berideologi Islam seperti PKS, serta beberapa kasus korupsi yang mendera
beberapa kader partai besar lainnya, memberikan sebuah bukti kepada kita
bahwa ada semacam krisis ideologi di dalam tubuh partai politik tersebut.
Lain
lagi, jika kita melihat perkembangan politik saat ini, menyusul adanya
trend politisi 'kutu loncat' yang memungkinkan bagi seseorang untuk mudah
bergonta-ganti baju partai politik. Inilah buah dari sistem demokrasi yang
memberikan hak penuh bagi seseorang untuk memilih dan dipilih. Namun, dalam
realitanya, acapkali hak tersebut disalahartikan dan disalahgunakan untuk
kepentingan pragmatis yang mengakibatkan tidak statisnya pilihan pada satu
partai politik.
Antara
partai politik, politisi dan konstituen terjadi mutualisme yang tidak
berdasarkan ideologi, akan tetapi hanya berdasarkan kepentingan politik
murni. Lihat saja, di tahun menjelang pemilu saat ini, ada banyak partai
politik ramai-ramai membuka lowongan bakal caleg. Atau, tidak sedikit
partai yang langsung melamar seseorang yang dianggap mempunyai pengaruh,
popularitas dan kekuasaan walaupun secara kapasitas jauh dari ideal.
Kekuasaan
Murni
Fenomena
di atas merupakan gambaran terjadinya kerancuan paradigma antara tujuan
didirikannya partai politik dan realitas politik saat ini. Bangunan
idealisme yang diterjemahkan melalui visi dan misi partai politik yang
menjadi ruh dalam setiap kebijakan yang dilaksanakan, seakan runtuh akibat
maraknya penistaan, penodaan oleh kader-kader partai politik itu sendiri.
Sistem
pengkaderan berbasis doktrinisasi yang tujuannya adalah untuk
mempertahankan ideologi dan idealisme, menjadi mandul. Bisa kita katakan bahwa
ideologi tergerus oleh realitas politik, di mana kekuasaan murni sebagai
tujuan utama dari partai politik itu. Padahal, hubungan antara ideologi dan
politik adalah hubungan yang tak terpisahkan (inseparable). (Selinger, 1976) Namun, nyatanya, idelogi dan
idelisme dalam hal ini hanya dijadikan jargon sebagai daya pikat meraih
suara menjelang dan masa-masa pemilu saja.
Kesadaran
partai politik untuk mencetak kader yang berkualitas sesuai dengan ideologi
partai sangat minim dilakukan. Akhirnya, resapan ideologi sangat tidak
lembab bahkan cenderung kering. Absennya nilai ideologi dalam aktivitas
para politisi menjadi buah simalakama dari krisis ideologi yang sudah lama
menjadi buah bibir. Jika kemudian bangsa dan negara ini stagnan dalam
tingkat kemajuan, maka itulah hasilnya.
Memang,
seiring dengan semakin terbukanya masyarakat, mereka semakin kritis dalam
menyikapi setiap permasalahan. Masyarakat melihat bahwa permasalahan bangsa
dan negara yang hadir di depan mereka jauh lebih penting dibandingkan
dengan ideologi yang kerap digaungkan oleh partai. Masyarakat akan
cenderung berpihak pada partai politik yang betul-betul bekerja untuk
rakyat, dan juga bersih dari noda-noda sosial.
Paradigma
partai politik pun sudah memberikan signal bahwa ideologi tidak lagi menjadi
variable sentral dalam pembuatan keputusan di internal partai. Fenomena
partai politik yang mengklaim diri sebagai partai catch-all yang menampung
semua kalangan untuk masuk ke dalam partai dapat mengkaburkan antara garis
batas ideologi, dan orientasi partai pun menjadi lebih populis serta
berbasis pada 'suara'.
Fenomena
inilah yang disebut oleh Giovanni Sartori (1996) sebagai kecendrungan
sentrifugal dalam partai politik. Di mana, dalam demokrasi yang sudah
terinstitusionalisasi secara baik, ideologi partai akan mengarah ke tengah
dan membuat penyekat ideologi antarpartai akan semakin bias. Dengan kata
lain, partai-partai politik akan semakin pragmatis dalam upayanya
mendapatkan kekuasaan.
Revitalisasi?
Pada
dasarnya, kader partai politik yang baik adalah kader yang berkomitmen dan
konsisten dalam memperjuangkan ideologi partainya. Jika kita melihat
sejarah, orang seperti Muso dan Amir Syarifuddin yang berideologi komunis
adalah orang yang rela mempertahankan ideologinya meskipun berhadapan dengan
kekuatan dahsyat di sekitarnya. Demikian pula seperti founding father kita,
Bung Karno dengan ideologi Marhaenisme, Natsir dengan Islam purifikatifnya
dan sebagainya.
Dari
sini tentu kita mengharapkan partai politik yang ada di Indonesia sekarang
ini harus mempunyai platform yang jelas. Menghindarkan pragmatisme yang
sudah menjadi pandangan hidup banyak kader partai politik. Partai politik
tidak hanya dijadikan kendaraan politik yang dipakai jika diperlukan dan
ditinggalkan ketika sudah tidak bisa menjadi kendaraan lagi atau sudah
tidak nyaman dikendarai.
Partai
politik sebagai suatu kelompok yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai
dan cita-cita yang sama dan memiliki pemikiran yang sama harus bisa
membangun ciri khas kepartaian dalam rangka untuk memberi platform partai
tersebut di mata pendukungnya. Untuk itu, dibutuhkan revitalisasi partai
politik dalam relasinya dengan masyarakat dan juga masa depan. Serta, untuk
mendidik kader-kader partai politik yang bersih dan sejalan dengan ideologi
kepartaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar