Kelahiran era reformasi
telah berhasil membuka keran kebebasan di sejumlah bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di masa lalu, kebebasan menjadi barang sangat
mahal di republik ini akibat berada di bawah cengkeraman rezim otoriter
Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.
Namun, terbukanya keran
kebebasan itu ternyata tidak otomatis selalu membawa dampak positif semata,
melainkan juga diiringi dengan kemunculan berbagai konflik sosial di
masyarakat.
Konflik sosial seakan
telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan
bernegara di era reformasi. Alih-alih mengalami penurunan, jumlah konflik
sosial di Indonesia justru memperlihatkan tren kenaikan dari tahun ke
tahun.
Berdasarkan data
Kementerian Dalam Negeri, jumlah konflik sosial di Indonesia pada 2010
berjumlah 93 kasus, meskipun sempat menurun pada 2011 menjadi 77 kasus.
Namun, kemudian jumlah konflik sosial kembali meningkat tajam menjadi 89
kasus hingga akhir Agustus 2012.
Bahkan, menurut data
Kementerian Sosial terdapat 189 titik rawan konflik sosial di Indonesia.
Konflik sosial itu tersebar hampir di seluruh daerah di Indonesia. Di awal
reformasi, konflik terkait isu keagamaan dan isu etnisitas mendominasi
konflik kekerasan di Indonesia, namun ada pula konflik yang bersifat politis
seperti isu separatisme yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.
Saat ini, konflik tidak
hanya menunjukkan peningkatan insiden terkait sengketa tanah, namun
perselisihan juga semakin marak ketika menyentuh persoalan identitas antara
dua kelompok yang berbeda.
Sulit dimungkiri
konflik-konflik sosial itu merupakan buah dari watak kekuasaan masa lalu
yang cenderung militeristik, sentralistik, dan hegemonik.
Watak kekuasaan seperti
itu telah menggerus kemerdekaan sebagian kelompok masyarakat untuk
mengaktualisasikan diri dalam ranah sosial, ekonomi, politik, dan kultural.
Akibat dari hal itu mereka tidak dapat mencapai tingkat kesejahteraan hidup
secara baik. Lebih lanjut, rasa frustasi sosial pun akan sulit dihindarkan.
Kasus konflik sosial di
Sidomulyo (Lampung), Mesuji (Lampung), Jayapura (Papua), Timika (Papua),
Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), dan daerah-daerah lain dapat dilihat sebagai
bentuk pengejawantahan rasa frustasi sosial tersebut. Konflik sosial di
daerah-daerah itu kemudian memunculkan kerusuhan massa, sikap saling
menghasut, caci maki, pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, perampasan, dan
pengusiran di tingkat akar rumput.
Jika dibiarkan dalam
jangka panjang, berbagai bentuk kekerasan itu akan terinstitusionalisasi
dan dianggap sebagai sebuah perilaku wajar sehingga melahirkan lingkaran
setan kekerasan.
Masing-masing pihak yang
terlibat di dalam konflik sosial akan mengidentifikasikan diri mereka sebagai
korban. Identifikasi ini akan memunculkan sikap untuk saling balas dendam
melalui jalur kekerasan juga jika ada kesempatan terbuka.
Untuk itu diperlukan
kepekaan dan kesigapan dari pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum
setempat. Sikap itu dapat mencegah konflik sosial berada dalam situasi
berlarut-larut penuh ketidakpastian.
Dalam kaitan itu, tepat
jika kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan
kepada seluruh kepala daerah dan jajaran Kepolisian Republik Indonesia
untuk menjadi garda terdepan dalam mencegah atau mengatasi gangguan
keamanan di daerah masing-masing.
Ketentuan itu tertuang
dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Keamanan sebagaimana
disampaikan Presiden SBY saat membuka Rapat Kerja Pemerintah tahun 2013, di
Jakarta Convention Center, Senin (28/1).
Berkelanjutan
Pemegang kunci
perdamaian sesungguhnya terletak pada pemangku kebijakan di tingkat lokal,
baik itu pemerintah daerah maupun aparat keamanan setempat, karena mereka
yang paling dekat dengan masyarakat, yang hidup berdampingan dengan
masyarakat, dan paling pertama yang mendengarkan suara masyarakat.
Selain itu, presiden
juga meminta para pemimpin dan aparat penegak hukum di daerah untuk tidak
terburu-buru menganggap sebuah konflik sosial telah selesai setelah
mengadakan pertemuan dan penandatanganan perjanjian perdamaian dengan
pihak-pihak terkait.
Sikap seperti itu
merupakan sikap meremehkan (underestimate) keadaan yang dapat menjadi bom
waktu. Penyelesaian konflik sosial tidak cukup hanya dengan melakukan
pertemuan atau penandatanganan perjanjian perdamaian. Pertemuan dan
perjanjian perdamaian cenderung menafikan penyelesaian akar masalah konflik
sosial yang terjadi.
Tidak sedikit contoh
ketidaksuksesan upaya perdamaian yang diinisiasi melalui pertemuan dan
perjanjian perdamaian. Sebagai contoh, kasus sengketa batas desa di Maluku,
pemerintah daerah, dan aparat keamanan memfasilitasi pembangunan tugu
perdamaian pascabentrokan tahun 2005, tapi konflik berulang kembali.
Padahal, penanganan
konflik sosial memerlukan upaya berkelanjutan untuk membangun persepsi dan
cara pandang baru dari kelompok masyarakat yang berkonflik.
Senada dengan itu, dalam
berbagai kesempatan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri berulang kali
mengatakan pentingnya deteksi dini konflik sosial sehingga perlu dibangun
sistem mulai dari pencegahan, manajemen konflik, sampai dengan
pascakonflik. Deteksi dini konflik sosial itu, antara lain melakukan
pemetaan daerah rawan konflik sosial, penyediaan alat informasi,
komunikasi, dan mobilisasi untuk penanganan konflik sosial.
Di samping itu,
dibutuhkan juga langkah konkret dari jajaran pemerintah daerah dan aparat
keamanan untuk saling berkoordinasi menjaga daerah masing-masing. Mereka
merupakan pihak paling tahu denyut nadi kehidupan masyarakat dan dinamika
sosial setempat ketimbang pemerintah pusat. Pelibatan tokoh adat juga
menjadi penting mengingat mereka merupakan opinion leader di lingkungan
bersangkutan.
Para kepala daerah dan
pemimpin aparat penegak hukum bekerja sama dengan tokoh adat di tingkat
kabupaten/kota harus bersikap lebih sensitif terhadap situasi di daerah
mereka masing-masing. Deteksi dini dinilai ampuh untuk mencegah terjadinya
konflik sosial. Jadi, para kepala daerah, pemimpin aparat penegak hukum,
dan tokoh adat di tingkat kabupaten/kota harus berdiri paling depan dalam
penanganan konflik sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar