Berdasarkan data FAO dalam
dokumen TDA BobLME (2012), jumlah penduduk miskin wilayah pesisir Indonesia
sebesar 33,7 juta jiwa atau mencapai 13 persen dari penduduk miskin pesisir
dunia setelah India (27 persen). Mungkin karena kemiskinan yang tidak berujung
tersebut, tiba-tiba presiden berkunjung ke kampung nelayan di Teluk Naga.
Dalam kunjungan ini, Presiden mendorong nelayan memanfaatkan fasilitas
pemerintah melalui KUR.
Melalui KUR, predikat miskin
yang terus menempel pada nelayan segera menjauh. Rendahnya penyerapan KUR
oleh nelayan sudah terjadi sejak lama karena tidak tersosialisasi dan
kesulitan mengakses akibat tidak adanya jaminan yang bernilai ekonomi
sepadan dengan pinjaman. Rendahnya penyerapan KUR pada nelayan bukan tanpa
sebab.
Setidaknya, ada tiga hal pokok
yang mendasar, yaitu suku bunga KUR yang oleh nelayan masih dianggap
tinggi, penjaminan kredit atas aset nelayan yang belum diterima oleh
perbankan, dan mekanisme yang rigiddan tidak menoleransi perilaku usaha
perikanan.
Pada tingkat nelayan, suku
bunga KUR mencapai 12 persen, walaupun tahun ini ditetapkan 11,4 persen per
tahun. Nelayan penangkap dibebani bunga lebih tinggi dari nelayan
pengolahan yang suku bunga KUR-nya tujuh persen per tahun. Tidak adil
memang jika dibandingkan dengan tengkulak yang memberi kredit rekanan
dengan bunga mencapai 10 persen per peminjaman. Kredit kepada tengkulak
tidak dengan agunan dan penalti, tapi berbunga lebih tinggi juga banyak
diminati nelayan.
Nelayan dengan tengkulak umumnya memainkan hubungan patron-klien dalam
hasil tangkapan. Sementara, untuk KUR nelayan, bank penyalur kredit meminta
nelayan secara konsisten untuk melakukan pembayaran. Padahal, karakteristik
ikan hasil tangkapan nelayan berfluktuasi setiap bulannya. Karena alasan
ini, tengkulak lebih disukai walaupun terlihat lebih besar bunga yang
dikenakan.
Di sini, seharusnya pemerintah
berperan dengan menurunkan bunga kredit KUR kepada nelayan. Bahkan, skema
pembiayaan usaha penangkapan harus didesain menurut pola tangkapan nelayan.
Fakta ini belum dipahami perbankan sampai saat ini. Perbankan melihat,
masyarakat nelayan dan petani sebagai alat untuk mencari keuntungan
perbankan tanpa peduli kesejahteraan dan dinamika hidup nelayan.
Dalam hal penjaminan aset untuk
kredit KUR, sampai saat ini perbankan belum bisa menerima kapal atau alat
tangkap sebagai agunan kredit. Pihak bank selalu meminta nelayan yang mau
menjaminkan rumahnya. Nelayan ABK yang memiliki komposisi besar umumnya
memiliki rumah yang tidak layak dipinjamkan dan semipermanen.
Peran pemerintah di sini
seharusnya adalah menjadi penjamin kepada perbankan. Pemerintah daerah atau
departemen teknis seharusnya berani memberikan jaminan kepada perbankan,
misalnya, dalam bentuk surat berharga pemerintah sehingga nelayan dapat
mengakses kredit. Dengan kondisi ini, nelayan masih akan ke sulit an untuk
menambah permodalan dari KUR.
Mekanisme perkreditan yang
diberlakukan bank saat ini masih rigid dan tidak toleran terhadap nelayan.
Secara alamiah, karakter nelayan berbeda dengan petani pembudidaya atau
perkebunan. Dalam konsep bank, dana pinjaman harus dikembalikan setiap bulan
pada batas waktu yang di sepakati. Sementara, usaha perikanan tangkap
sangat bergantung kepada alam. Nelayan maksimal mampu melakukan penangkapan
selama de lapan bulan dalam setahun. Empat bulan berikutnya adalah musim
kurang ikan. Akibatnya, pada bulan-bulan seperti ini nelayan tidak
akan mampu melakukan pembayaran pinjaman. Sementara, bank akan responsif
jika tidak terjadi penunggakan atau penundaan pembayaran.
Tingginya tingkat
ketidakpastian berusaha menjadi dasar bekerjanya bank untuk tidak terlalu
eksplosif dalam memasarkan KUR kepada nelayan. Kalau serius ingin
mengurangi angka kemiskinan nelayan dengan mendorong peningkatan usaha
melalui KUR, sebaiknya pemerintah harus menurunkan suku bunga dibawah 10
persen atau bahkan mencapai lima persen agar tidak terlalu membebani
nelayan. Pemerintah tidak seharusnya mencari keuntungan atas nelayan
(rakyatnya), tapi malah harus membantu nelayan.
Selain itu, pemerintah harus
mampu menjadi penjamin KUR nelayan. Dalam hal ini harus ada intervensi
lebih kuat pemerintah terhadap sektor keuangan negara agar tidak membebani
masyarakat. Jika terjadi sesuatu hal, pemerintah dapat mengambil alih
sistem KUR kepada nelayan. Berikutnya, pemerintah harus menyertakan pertimbangan
iklim usaha atas kredit usaha.
Pemerintah harus
mengaplikasikan pemahamannya atas sumber daya yang menjadi objek usaha masyarakat. Melalui
tiga langkah di atas, diharapkan kesejahteraan nelayan akan lebih
meningkat. Penurunan angka kemiskinan nelayan pada 2006 yang mencapai 35
juta jiwa (Rokmin Dahuri, 2006) menjadi 33,7 juta jiwa saat ini belum
menjadi pencapaian luar biasa.
Untuk itu, agar jumlah nelayan
miskin dapat ditekan perlu upaya dan peran lebih dari pemerintah, baik
melalui sektor keuangan sampai pada tatanan operasional. Kesediaan pemerintah
untuk menurunkan suku bunga KUR dan intervensi dalam proses penjaminan
usaha dapat menjadi poin awal untuk terus menurunkan angka kemiskinan
menjadi lebih rendah dari 30 juta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar