Pekerjaan
Besar Bidang Pangan
Sapuan Gafar ; Sekretaris Menteri Pangan 1993-1999
|
KOMPAS,
19 November 2012
Setelah mengalami
penantian cukup panjang, RUU Pangan akhirnya disahkan menjadi UU. Mencermati
naskah UU Pangan terbaru ini, ternyata kita masih dihadang pekerjaan rumah
yang besar dan berat.
UU
Pangan versi baru cakupannya sangat luas. Agar lebih jelas ruang lingkupnya,
maka diuraikan terlebih dahulu perbedaan antara pangan dan pertanian.
Pangan
merupakan hasil dan atau produk olahan dari hasil pertanian. Sementara
cakupan pertanian itu meliputi pertanian pangan, perkebunan, peternakan,
perikanan dan kehutanan serta air. Pengaturan yang berkaitan dengan pertanian
lebih menyangkut budidayanya (on farm), sedangkan untuk pangan lebih
menyangkut penyediaan, pengolahan, distribusi, keamanan, kesehatan, dan
konsumsinya (off farm).
Bagi
negara yang menganut paham pasar bebas, UU Pangan lebih banyak mengatur
keamanan pangan saja. Urusan lain diatur oleh pasar. Berbeda dengan UU Pangan
yang lama (UU No 7/1996). Selain mengatur keamanan pangan, juga mengatur
tentang ketahanan pangan, stabilisasi harga pangan, label dan iklan pangan,
dan lain-lain. Jadi sudah lebih komprehensif.
Dari
pemahaman di atas, maka tidak mudah membuat peraturan pemerintah (PP) dari UU
Pangan yang baru disahkan ini mengingat ruang lingkupnya sangat luas dan
banyak yang sudah diatur berbagai UU dan PP sebelumnya secara sektoral.
Pertanyaannya, UU Pangan baru ini akan jadi ”komandan” dalam arti UU lain
harus menyesuaikan atau jadi koordinator saja.
UU
Pangan yang lama hanya bersifat mengoordinasikan dan mengisi pengaturan
pangan yang belum ada atau belum diatur secara jelas. Untuk UU Pangan baru,
landasannya adalah kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat,
pemerataan, berkelanjutan dan keadilan. Dengan demikian, logikanya, UU lain
harus menyesuaikan UU ini. Maka, hal ini mungkin akan menjadi persoalan
tersendiri.
Dalam
mengajukan RUU Pangan tahun 1976 diperlukan persetujuan tertulis dari Menteri
Pertanian, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kesehatan, Menteri
Kehakiman, serta Menteri Sekretaris Negara yang mengoordinasikan semua
legislasi saat itu. Adapun RUU-nya disiapkan selama tiga tahun, konsepnya
dibahas dengan tim antardepartemen dan sudah disosialisasikan bersama Badan
Pembinaan Hukum Nasional. Selain itu, untuk menyusun rancangan PP tentang
pangan, kita masih harus melibatkan instansi terkait sehingga diperlukan
waktu yang cukup lama. Sekarang ini ego sektoral tampak lebih menonjol
sehingga penyelesaian RPP-nya diperkirakan akan lebih alot.
Pada
saat ini GBHN sudah tidak ada lagi dan sebagian besar kewenangan mengenai
pangan sudah diserahkana kepada daerah. Dahulu, untuk membuat PP tentang
label dan iklan pangan perlu tiga tahun dan terjadi perdebatan publik yang
keras tentang label halal. Untuk menyelesaikan PP tentang keamanan dan mutu
gizi pangan butuh tiga tahun lebih, bolak-balik masuk Sekretariat Negara.
Namun, sebelum disetujui oleh Sekretariat Negara terjadi kecelakaan. Kantor
Menteri Pangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Alhasil, PP
tentang Keamanan, Mutu. dan Gizi Pangan diselesaikan oleh Departemen
Kesehatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan) pada 2004. Pada 2002, PP tentang
Ketahanan Pangan diselesaikan oleh Departemen Pertanian (Badan Ketahanan
Pangan).
Hal
yang akan menjadi ganjalan dalam penyelesaian RPP UU Pangan yang baru adalah
faktor kelembagaannya. Pertama, lembaga tersebut diharapkan yang akan menjadi
inisiator dan atau koordinator penyusunan RPP.
Kedua,
bentuk lembaga dalam UU Pangan tak diatur eksplisit, hanya memerintahkan
kepada Presiden membentuk ”lembaga pemerintah” untuk mewujudkan kedaulatan
pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional.
Apabila
tugasnya seperti ini, lembaganya akan jadi ”lembaga super”, harus adi
komandan lembaga di bawah urusan pangan. Tidak mungkin hanya berbentuk
lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Bentuk Kementerian Pangan
sekalipun tidak cukup. Apalagi sekarang tak ada GBHN lagi dan kewenangan
urusan pangan sudah diserahkan kepada daerah.
Ketiga,
masalah anggaran akan menjadi kendala karena untuk lembaga yang baru belum
dapat berbuat apa-apa lantaran belum ada anggarannya. Selain itu, masalah
pengisian staf dengan kualifikasi seperti yang diinginkan juga tak mudah.
Keempat,
untuk lembaga baru akan ada kendala kantor, membangun kantor yang baru perlu
waktu dan biaya, untuk persetujuan anggaran perluasan kantor KPK saja menjadi
persoalan. Kelima, apabila tugas perencanaan dari lembaga ini tidak disertai
anggaran untuk pelaksanaannya di daerah, nasibnya akan sama dengan yang
sekarang ini alias tidak jalan.
Pekerjaan
rumah yang diberikan UU Pangan kepada pemerintah cukup pelik dan sulit.
Dibentuk kementerian pangan baru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
terkendala jumlah kementerian yang sudah dibatasi. Apalagi bentuk yang
diinginkan super kementerian, hal ini tidak ada kamusnya di negeri ini.
Dibentuk ”Badan Otoritas Pangan” yang memiliki kewenangan luas, seperti
dikemukakan penggagas RUU Pangan, SBY menghadapi aturan bahwa LPNK itu hanya
lembaga pusat, tidak punya tangan di daerah. Dalam praktiknya nanti, LPNK
Pangan akan kesulitan mengoordinasikan para direktur jenderal di kementerian,
apalagi pejabat tingkat menteri.
Dari
semua urusan pangan, sebenarnya yang belum ada pengaturan yang jelas tentang
cadangan pangan nasional. Untuk itu, disarankan dibentuk Badan Koordinasi
Cadangan Pangan Nasional (BKCPN). Badan ini bertugas melaksanakan urusan
cadangan pangan pemerintah (pusat), mengoordinasikan dan membina cadangan
pangan pemerintah daerah, monitoring cadangan pangan masyarakat, serta secara
berkala melakukan stok opname posisi persediaan yang ada di masyarakat.
Karena
merupakan lembaga pusat dan menggunakan anggaran APBN, BKCPN dapat memberikan
tugas kepada BUMN (Perum Bulog) untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, dan
distribusi cadangan pangan sebagaimana diatur dalam UU Pangan. BKCPN nantinya
tinggal mengeluarkan perintah logistik kepada Perum Bulog untuk mengeluarkan
cadangan pangan untuk keperluan tertentu di seluruh Indonesia. Untuk
memudahkan koordinasi, sebaiknya BKCPN berkantor di Perum Bulog. Sebagian
staf dari BKCPN juga dapat menggunakan staf Perum Bulog karena sudah terbiasa
dengan tugas-tugas seperti ini.
Namun,
saya khawatir UU ini tak segera ditandatangani karena konsekuensinya berat.
Sasaran UU ini, pemerintah wajib mencukupi pangan sampai tingkat perorangan,
sedangkan UU Pangan lama hanya sampai tingkat rumah tangga. Ini akan menjadi
persoalan karena data yang ada hanya berbasis rumah tangga. Pertanyaan
sederhana, sudah siapkah penyaluran raskin berbasis perorangan? Tampaknya
hanya Indonesia yang bunyi UU Pangan-nya begitu ideal seperti Indonesia.
Sebenarnya,
bila revitalisasi Perum Bulog segera direalisasikan, kebutuhan lembaga
seperti disebut di atas tak mendesak walaupun terasa ada yang hilang setelah
Bulog yang LPND/LPNK dibubarkan. Namun, tugas-tugas pemerintahan di bidang
stabilisasi harga pangan dapat terpenuhi dengan kelembagaan yang ada saat
ini. Membentuk lembaga baru juga belum tentu efektif, malah dapat menimbulkan
birokrasi baru. Hanya perlu diingat, operasi stabilisasi harga itu ada
biayanya, pasti mengalami kerugian, di mana pun di dunia ini yang menjalankan
kebijakan stabilisasi harga. Oleh karena itu, segala risiko harus ditanggung
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar