Rezim
Administrasi Pemilu
Didik Supriyanto ; Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS,
19 November 2012
Hanya di Indonesia, setiap
menjelang pemilihan umum selalu terjadi heboh terkait pendaftaran partai
politik peserta pemilu.
Di
banyak negara, heboh pendaftaran parpol peserta pemilu biasanya hanya sekali
terjadi, yakni pada pemilu demokratis pertama, setelah lepas dari belenggu
otoritarianisme. Maklum, parpol tumbuh demikian banyak, sementara aturan main
tentang parpol dan pemilu belum jelas. Namun, setelah pemilu pertama berlalu,
semuanya semakin tertata dan parpol peserta pemilu semakin bisa diprediksi.
Tidak
demikian di sini. Keributan pendaftaran parpol peserta pemilu yang terjadi
pada Pemilu 1999, misalnya, terus berulang hingga menjelang Pemilu 2014,
pemilu keempat pasca-Orde Baru. Seperti dilaporkan Kompas (30/10/2012),
sejumlah parpol yang dinyatakan tak lolos verifikasi tahap kedua oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) ramai-ramai memprotes KPU. Mereka juga melaporkan KPU ke
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan bersiap menggugat ke
pengadilan.
Bahwa
ada parpol yang dinyatakan gagal melancarkan protes sesungguhnya dapat
dipahami karena mereka kecewa. Namun, kalau ketidakpuasan itu muncul setiap
kali pemilu, lalu diwarnai gugatan ke pengadilan umum, pengadilan tata usaha
negara, bahkan Mahkamah Konstitusi—beberapa di antaranya dikabulkan—jelas
bahwa pendaftaran parpol peserta pemilu merupakan isu menahun yang belum
ditemukan jalan keluarnya.
Hasrat
mengurangi parpol peserta pemilu merupakan pangkal soalnya. Tak ada yang
salah dengan hasrat ini. Sebab, semakin sedikit parpol peserta pemilu kian
memudahkan pemilih; juga bisa mengurangi suara terbuang, yaitu suara yang
tidak terkonversi menjadi kursi. Dalam sistem pemilu proporsional, sedikitnya
jumlah parpol juga memudahkan petugas bekerja dan menekan biaya pemilu.
Namun,
yang jadi masalah, pengetatan persyaratan administrasi justru mengabaikan
substansi kelayakan parpol mengikuti pemilu, yakni dukungan pemilih.
Akibatnya, pemilu jadi sibuk urusan administrasi: meneliti kelengkapan
dokumen, mengecek kantor, memastikan rekening, mencatat nama pengurus,
meneliti anggota, dan lain-lain; sementara suara pemilih tidak dianggap.
Pemilu
1999 mensyaratkan parpol memiliki pengurus dan kantor di 50 persen provinsi
dan 50 persen kabupaten/kota pada provinsi. Ketentuan ini efektif sebab dari
141 parpol yang berhak mengikuti pemilu, setelah diverifikasi KPU, hanya 48
parpol yang lolos.
Jumlah
itu memang masih banyak sehingga pada pemilu berikutnya persyaratan
diperketat: punya pengurus di dua pertiga provinsi dan dua pertiga
kabupaten/kota (2004), lalu 100 persen provinsi dan 75 persen kabupaten/kota
(2009), masing- masing ditambah memiliki 1.000 anggota atau 1/1.000 jumlah
penduduk. Namun, pengetatan persyaratan itu tak berarti banyak. Memang pada
Pemilu 2004 parpol peserta pemilu berkurang menjadi 24, tetapi pada Pemilu
2009 naik lagi menjadi 38, ditambah 6 parpol lokal di Aceh.
Setelah
Pemilu 1999, persyaratan administrasi tidak efektif lagi mengurangi parpol
peserta pemilu karena metode ini mudah dimanipulasi. Dengan modal besar,
pendiri parpol bisa menunjuk pengurus dan anggota. Demikian juga sebaliknya,
para petugas bisa dengan leluasa memainkan hasil verifikasi. Inilah yang
terjadi pada Pemilu 2009 sehingga apa pun yang diputuskan oleh KPU untuk
Pemilu 2014 pasti mengundang protes.
Jika
memang demikian, mengapa pengetatan administrasi parpol peserta pemilu tetap
digunakan? Jawabnya terletak pada pembuat undang-undang, yang tidak lain
adalah para kader parpol yang duduk di legislatif ataupun eksekutif.
Bagi
mereka, inilah cara mudah mencegah hadirnya pesaing pemilu. Mereka membuat
syarat seketat mungkin sambil memastikan mereka bisa lolos.
Sebetulnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan UU No 8/2012 menggunakan mekanisme yang
lazim dipakai di negara demokrasi lain, yakni menerapkan threshold atau
ambang batas. Di situ ditentukan, partai yang memiliki kursi DPR bisa
mengikuti pemilu, sedang yang tidak memiliki kursi DPR harus menempuh jalur
administrasi. Namun, pembuat undang-undang mengabaikan kursi DPRD provinsi
dan DPRD kabupaten/kota untuk dijadikan ambang batas peserta pemilu. Padahal,
parpol yang punya kursi DPRD mestinya secara otomatis bisa menjadi peserta
pemilu DPRD.
Ketentuan
UU No 10/2008 dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena ada ketentuan lain dalam
undang-undang itu yang menyebutkan bahwa parpol peserta Pemilu 2004 otomatis
menjadi peserta Pemilu 2009. Sementara ketentuan UU No 8/2012 dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi karena undang-undang ini diskriminatif. Parpol pemilik
kursi DPR bisa otomatis mengikuti pemilu, tetapi parpol lain harus menempuh
jalur administrasi.
Padahal,
persyaratan administrasi Pemilu 2014 lebih berat daripada Pemilu 2009. Oleh
karena itu, agar adil, Mahkamah Konstitusi meminta agar semua partai menempuh
jalur administrasi alias diverifikasi kembali kemampuan mereka memenuhi
syarat peserta pemilu.
Alhasil,
selama empat kali pemilu, urusan pendaftaran parpol peserta pemilu berkutat
pada masalah administrasi yang menyerap dana dan tenaga tidak sedikit.
Jebakan administrasi pemilu ini menjadikan suara pemilih diabaikan. Padahal,
di sinilah letak substansi pemilu itu.
Karena
itu, ke depan, kepemilikan kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
bisa dijadikan basis menyeleksi parpol peserta pemilu berikutnya. Hanya
partai baru yang dikenai persyaratan administrasi, itu pun hanya berlaku
untuk pemilu DPRD kabupaten/kota. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar