Meluruskan
Upaya Kesejahteraan Buruh
Faisal Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
19 November 2012
Data ketenagakerjaan
terbaru (Agustus 2012) menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja berjumlah
110,8 juta orang dan penganggur 7,2 juta orang atau 6,14 persen dari angkatan
kerja yang berjumlah 118 juta orang.
Perlu
dicatat, seseorang dikategorikan bekerja (tidak menganggur) jika paling
sedikit bekerja selama satu jam dalam seminggu yang lalu. Pekerja tak penuh,
yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, berjumlah 34,3 juta orang atau 31
persen dari penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja.
Ditinjau
dari status pekerjaan utama, 60,1 persen dari keseluruhan orang yang bekerja
tergolong pekerja informal, yang meliputi kategori: berusaha sendiri,
berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas
di non-pertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar. Selebihnya adalah
buruh/karyawan (36,4 persen) dan berusaha dibantu buruh tetap (3,5 persen).
Sektor
pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni sekitar 40 persen.
Namun, hampir semua pekerja di sektor pertanian adalah pekerja informal. Penyerap
tenaga kerja terbesar kedua adalah sektor perdagangan, yaitu sekitar
seperempat dari keseluruhan orang yang bekerja, tetapi tak sampai separuh
yang berstatus sebagai pekerja formal.
Penyerap
tenaga kerja formal terbesar adalah jasa keuangan dan sektor publik. Kedua
sektor ini praktis tak mengalami masalah dengan upah minimum. Industri
manufaktur berada di urutan selanjutnya dengan penyerapan pekerja formal
sekitar 70 persen atau sekitar 10 juta pekerja.
Persoalan
perburuhan yang paling persisten, termasuk penentuan upah minimum, terjadi di
sektor industri manufaktur. Konsentrasi industri manufaktur ada di Jawa Barat
dan Banten. Provinsi Banten merupakan penyandang tingkat pengangguran paling
tinggi (10,13 persen), sedangkan Jawa Barat peringkat ketiga (9,08 persen).
Posisi kedua ditempati DKI Jakarta (9,87 persen). Berarti, tingkat
pengangguran di ketiga provinsi ini rata-rata satu setengah kali tingkat
pengangguran nasional.
Mengapa
tingkat pengangguran tinggi di basis-basis industri? Sangat boleh jadi hal
ini disebabkan oleh penurunan porsi industri padat karya sebagai akibat
tekanan kenaikan tingkat upah. Industri padat karya yang bersifat mudah
hengkang (footloose) dengan leluasa berpindah ke lokasi yang tingkat upahnya
lebih rendah. Di lokasi-lokasi alternatif, tenaga kerja tak terdidik relatif
melimpah karena lebih dari dua pertiga pekerja kita masih berpendidikan
sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ke bawah. Ada juga yang merelokasi
pabriknya ke negara-negara dengan upah buruh lebih murah, seperti Laos,
Kamboja, Banglades, dan Pakistan.
Tak
mengherankan jika daya serap tenaga kerja industri manufaktur kita cenderung
turun. Pada periode 1990-1999, setiap peningkatan 1 persen nilai tambah
industri manufaktur akan menghasilkan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja
sebesar 0,7 persen, sedangkan untuk periode 2000-2009 anjlok menjadi hanya
0,3 persen.
Perusahaan
tak akan menambah buruh jika ongkos untuk mempekerjakan tambahan seorang
buruh lebih besar dari nilai tambahan output yang dihasilkan. Ongkos buruh
termasuk juga dana yang dicadangkan jika harus membayar pesangon kepada
pekerja tetap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Mau tak mau para
pencari kerja baru, yang tingkat pendidikannya kian tinggi sekalipun, akan
menyemut di sektor informal. Mereka tak punya jam kerja, tak memperoleh
hak-hak normatif, seperti asuransi kecelakaan kerja, asuransi kesehatan,
jaminan hari tua, uang lembur, hak cuti, dan akses terhadap pelatihan yang
terstruktur.
Kita
menyadari sepenuhnya bahwa mayoritas kehidupan buruh dan keluarganya masih
pas-pasan. Mereka tak punya pilihan, sedangkan pengusaha punya banyak
keleluasaan. Padahal, buruh adalah tulang punggung pembentukan kelas menengah
yang tangguh.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan nyata-nyata merupakan momok
menakutkan bagi buruh dan pengusaha. Segala aturan baru yang dibuat
pemerintah untuk merespons gejolak buruh niscaya akan jauh dari penyelesaian
yang menguntungkan kedua belah pihak dan otomatis memajukan perekonomian
serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, justru pendekatan
pragmatis akan menambah ketidakpastian bagi pengusaha ataupun buruh. Kedua
belah pihak akan lelah menghadapi negosiasi yang panjang dalam suasana
konflik terus-menerus.
Mau
tak mau sebanyak mungkin pekerja harus bisa tertampung di sektor formal,
utamanya di industri manufaktur karena sektor ini menghasilkan produktivitas
yang lebih tinggi, menyerap banyak tenaga kerja formal, dan selanjutnya
mendorong sektor-sektor lain tumbuh lebih cepat dan berkualitas. Sejalan
dengan membaiknya tingkat pendidikan rata-rata penduduk, kesejahteraan buruh
akan lebih terjamin dan transformasi perekonomian akan lebih mulus.
Ada
baiknya forum tripatrit merumuskan formula baru yang bersifat jangka panjang
dengan memberikan jaminan perbaikan bagi buruh dan pengusaha agar mereka bisa
lebih tenang dalam mengemban tugasnya masing- masing. Alangkah lebih baik
jika forum ini menghasilkan kontrak sosial baru. Dalam kerangka inilah mutlak
dibutuhkan segera Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru.
Kenaikan
upah nominal hanyalah salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan
buruh. Jika pemerintah mampu mengupayakan stabilitas harga pangan,
transportasi publik yang murah, aman, dan nyaman, serta fasilitas perumahan
yang terjangkau, niscaya kesejahteraan buruh akan meningkat jauh lebih cepat.
Sementara itu, kenaikan tingkat upah bisa direncanakan setiap lima tahun
dengan menyepakati variabel-variabel yang menjadi penentunya, seperti
peningkatan produktivitas pekerja.
Sistem
jaminan sosial yang menyeluruh harus hadir lebih cepat. Rencana kehadiran
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2004 jauh dari cukup
sebagai jaring-jaring pengaman pasar bagi rakyat, terutama bagi buruh. Harus
betul-betul disadari sepenuhnya bahwa negeri ini amat tertinggal dalam
menghadirkan sistem jaminan sosial nasional yang komprehensif. Sistem jaminan
sosial bukanlah beban atau ongkos, melainkan investasi dan wujud dari
pembangunan yang inklusif.
Jika
demikian, jangankan angka pengangguran yang bisa kita turunkan
serendah-rendahnya, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pun
bakal berbondong-bondong kembali pulang ke Tanah Air tercinta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar