Membatasi
Grasi
sebagai
Kekuasaan Prerogatif Presiden
Susi Dwi Harijanti ; Pakar
Hukum Tata Negara Unpad, Ketua Paguyuban HAM (Paham) FH Unpad, dan Doktor
Lulusan The University of Melbourne Australia
|
MEDIA
INDONESIA, 14 November 2012
PEMBERIAN grasi oleh
Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono kepada terpidana mati kasus narkoba
Meirika Franola alias Ola dan terungkapnya peran yang bersangkutan dalam
kasus tertangkapnya pelaku narkoba baru-baru ini, membuat publik secara tajam
mempertanyakan kebijakan pemberian grasi tersebut. Salah satu kritik dan
pertanyaan penting ialah sejauh mana Presiden melaksanakan kewenangan
pemberian grasi dan apakah pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan
Mahkamah Agung ataupun pejabat lain di lingkungan cabang kekuasaan eksekutif
bersifat `mengikat'?
Grasi sesungguhnya
merupakan kekuasaan `prerogatif' presiden sebagai kepala negara. Grasi
berarti wewenang presiden memberi pengampunan dengan cara meniadakan,
mengubah, atau mengurangi pidana bagi seseorang yang dijatuhi pidana dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Jadi, pada dasarnya,
grasi tidak meniadakan kesalahan, tetapi mengampuni kesalahan sehingga orang
bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau jenis pidananya
diubah. Misalnya, dari pidana mati menjadi seumur hidup, dari pidana seumur
hidup menjadi pidana sementara, atau bahkan tidak perlu menjalani pidana. UU
No 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang telah diubah dengan UU No 5 Tahun 2010,
menyebut kan grasi ialah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh presiden.
Mengingat grasi
berkaitan dengan berbagai aspek fundamental, misalnya hak asasi manusia dan
kepastian hukum, pemberian grasi harus dilaksanakan secara sangat
berhati-hati dan selektif dengan memperhatikan prinsip keadilan, kemanusiaan,
dan kepentingan bangsa serta negara.
Makna Kekuasaan Prerogatif
Prerogatif' berasal
dari bahasa Latin praerogativa (dipilih dari yang paling dahulu memberikan
suara), praerogrativus (diminta sebagai yang pertama memberikan suara),
praerogare (diminta sebelum meminta yang lain). Secara kesejarahan, kekuasaan
prerogatif (prerogative power) sebagai pra nata hukum tata negara berasal
dari sistem ketatanegaraan Inggris. Dicey menyebut kekuasaan prerogatif itu
sebagai residu dari kekuasaan diskresi yang tetap dibiarkan berada di tangan
raja atau ratu.
Disebut residu karena
merupakan sisa dari seluruh kekuasaan mutlak yang semula berada di tangan
raja atau ratu. Kekuasaan-kekuasaan itu lambat laun beralih ke tangan rakyat
(parlemen) atau pejabat-pejabat lain, misalnya menteri. Karena tidak
membutuhkan dasar suatu u undang-undang, kekuasaan p prerogatif oleh sebagian
orang dipandang memiliki karakter undemocratic and potentially dangerous.
Oleh sebab itu, di
Inggris, pelaksanaan kekuasaan prerogatif dibatasi beberapa hal, antara lain,
kebiasaan ketatanegaraan (constitutional
convention). Misalnya, hak prerogatif raja atau ratu mengangkat seseorang
menjadi perdana menteri. Namun, hak tersebut dibatasi kebiasaan
ketatanegaraan yang menyebabkan raja atau ratu hanya akan mengangkat
seseorang menjadi perdana menteri apabila partai yang bersangkutan menguasai
mayoritas parlemen.
Selain dibatasi
kebiasaan ketatanegaraan, suatu kekuasaan tidak lagi disebut sebagai
kekuasaan prerogatif jika sudah diatur dalam UUD atau undang-undang. Oleh
sebab itu, kekuasaan tersebut lebih tepat dikatakan sebagai kekuasaan
berdasarkan UUD (constitutional power)
atau undang-undang (statutory power).
Bagir Manan, dengan mengutip pendapat Le Sueur-Herberg, mengatakan kekuasaan
prerogatif 'can be, and frequently are
removed and replaced by statutory powers'. Dengan demikian, hak
prerogatif memiliki beberapa ciri, antara lain merupakan kekuasaan sisa (residual power) yang dijalankan
berdasarkan kekuasaan diskresi, tidak tertulis, penggunaan dibatasi, dan akan
hilang apabila sudah diatur dalam UUD atau undang-undang.
Kekuasaan Konstitusional Presiden
Dalam kajian hukum
tata negara, pemberian grasi merupakan kewenangan presiden sebagai kepala
negara yang bertindak untuk dan atas nama negara. Persetujuan ataupun
penolakan grasi dituangkan dalam bentuk surat keputusan yang berbeda dengan
keputusan yang dibuat administrasi negara, yang dapat digolongkan sebagai
keputusan negara yang bersifat individual. Oleh sebab itu, sebagian ahli
berpendapat keputusan grasi tidak dapat dipersoalkan secara yuridis, yang
dikenal dengan istilah non-justiciable
karena mengandung persoalan-persoalan politik (political questions).
Di Indonesia,
kekuasaan memberikan grasi diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, `Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung'. Semula ketentuan itu berbunyi `Presiden
memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi', yang serupa dengan Art
II sec 2 Konstitusi Amerika Serikat `..., and
he shall have power to grant reprieves and pardons for offences against the
United States, except in cases of impeachment'.
Menilik pada ketentuan
sebelum perubahan, maka dapat dipahami bahwa presiden memiliki kekuasaan
penuh untuk memberikan atau tidak memberikan grasi. Sekarang, kekuasaan itu
`dibatasi' pertimbangan Mahkamah Agung yang diperlukan karena grasi
menyangkut atau berkaitan dengan putusan hakim. Dengan demikian, pengaturan
dalam UUD harus dimaknai sebagai pembatasan kekuasaan konstitusional presiden
karena pemberian grasi diatur secara tertulis yang menyebab kan batas dan
jenis kekuasaan bersifat lebih pasti.
Sebelum menyetujui
atau menolak pemberian grasi, sebagaimana telah dise butkan, presiden meminta
pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam kasus Ola, sebagaimana dinyatakan Wakil
Menteri Hukum dan HAM, Presiden bahkan meminta masukan Menteri Hukum dan HAM,
Menko Polhukam, jaksa agung, dan Kapolri. Terda pat tiga pertanyaan funda
mental, pertama, apakah pertimbangan Mahkamah Agung dan yang lainnya bersifat
`mengikat' Presiden? Kedua, dari semua pertimbangan dan masukan, pertimbangan
dan masukan manakah yang paling utama didahulukan?
Ketiga, jika terjadi `kesalahan' pemberian atau penolakan grasi, bagaimana
cara menyelesaikannya? Hukum positif tidak menyediakan jawaban terhadap
ketiga pertanyaan tersebut.
Terhadap pertanyaan
pertama dan kedua, meskipun pertimbangan tidak bersifat mengikat, Presiden
semestinya menempatkan pertimbangan Mahkamah Agung sebagai pertimbangan utama
dan masukan dari pejabat-pejabat lain sebagai pertimbangan tambahan (additional opinion). Pengaturan
pertimbangan Mahkamah Agung diatur dalam UUD 1945 (constitutional norms). Selain itu, Presiden hendaknya membangun
kebiasaan ketatanegaraan untuk selalu `mengikatkan' dirinya pada pertimbangan
yang sudah diberikan Mahkamah Agung. Atau dengan kata lain, Presiden sekadar
mengukuhkan pendapat atau pertimbangan Mahkamah Agung dan menjadikannya dalam
bentuk hukum tertentu. Jika sikap itu diambil Presiden, tentunya dalam kasus
Ola, Presiden tidak akan tersudutkan.
Bagaimana jika
terdapat kesalahan? Kesalahan mencerminkan asas kecermatan tidak diterapkan.
Seperti telah dikatakan, grasi tidak dapat dipersoalkan secara yuridis. Jika
akan dicabut, itu semata-mata dilakukan berdasarkan political will dari Presiden.
Dengan demikian, pemecahannya
bersifat politis. Apa pun langkah yang akan ditempuh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam mengatasi persoalan tersebut, ia seharusnya memperhatikan
dengan sungguhsungguh sendi-sendi konstitusi yang tecermin pada prinsip
konstitusionalisme yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan. Lebih
fundamental, sebagaimana dikatakan John Locke dalam bukunya, Two Treatises of Government, kekuasaan
prerogatif, yang antara lain terwujud dalam grasi, bertujuan untuk mencapai
kebaikan masyarakat (the public good).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar