Kamis, 15 November 2012

Yang Muda Lupa Pancasila


Yang Muda Lupa Pancasila
David Krisna Alka ;  Aktivis Menara 62
MEDIA INDONESIA, 14 November 2012



SEJARAH lahirnya bangsa Indonesia tak bisa lepas dari perjuangan para pemuda. Begitu pula bangsa Indonesia, masih ada karena Pancasila, fondasi bangsa yang menjadi perekat dan platform bersama di antara seluruh masyarakat. Pancasila merupakan kesatuan menyeluruh dari kesadaran historis dan kesadaran praktis bagi rakyat Indonesia.

Namun, maraknya tawuran di kalangan pelajar, mahasiswa, dan pemuda seolah mencibir Pancasila yang terpajang di dinding kelas sekolah, ruang rektorat kampus, gedung wakil rakyat, dan di dalam istana. Pancasila dikebiri generasi muda ahli waris Republik ini. Penghargaan atas hak hidup tak lagi dijadikan landasan dalam bertindak. Melukai dan menghabisi sesama pemuda Indonesia seperti menjadi biasa.

Potret batu, kayu, senjata tajam, dan runcingnya ujung ikat pinggang seolah menggantikan lambang pada setiap sila dalam Pancasila. Sendi-sendi kemanusiaan dan musyawarah menjadi pudar akibat kekuatan solidaritas, kedalaman moralitas, dan kejernihan nurani tak lagi dimiliki. Lantas mau dibawa ke mana Pancasila oleh para pemuda?

Kesadaran Pemuda

Delapan puluh empat tahun lalu, wakil-wakil kaum muda Indonesia menyatakan kebulatan tekad mereka untuk berakar dan bersatu dalam kenyataan kebangsaaan dan keindonesiaan. Namun, tahun ini, kekuatan pemuda terpatah-patah dalam arogansi antarsekolah, antarkampus, antarfakultas, antarorganisasi, dan antarpartai. Pekik serbu dan serang bukan untuk penjadjah, melainkan untuk saudara j sesama pemuda Indonesia.

Dalam ruang lain yang tampak dan terasa, kekerasan acap kali menimpa pemuda yang tak berseragam yang dilakukan `pemuda yang berseragam'. Wartawan muda dipukul tentara serta bentrokan antara mahasiswa dan polisi, juga sesama pemuda Indonesia.

Singkat cerita, spirit persatuan Sumpah Pemuda seolah bergetar di udara saja, di atas layang-layang sejarah. Tak ada kesanggupan untuk berdialog dan tak ada keterbukaan dan kelapangan dada. Padahal bahasa sudah satu, bahasa Indonesia. Sungguhkah kita sudah merasa sebagai pemuda dalam kesatuan bangsa Indonesia?

Berbagai kritik dan kekecewaan terlontar akibat hilangnya kemampuan para pemuda mengoneksikan nilai-nilai bersama Pancasila yang telah dipilih menjadi suluh penunjuk bagi perjalanan Republik Indonesia. Lantas apa yang diperlukan generasi muda sebagai tenaga ampuh yang dapat melakukan perubahan terhadap berbagai kerusakan di Republik ini?

Generasi muda hendaknya memiliki kemerdekaan hati nurani didorong rasa kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan. Fondasi menanamkan watak kebangsaan dan kerakyatan diperlukan untuk membangun martabat kemanusiaan pemuda Indonesia. Pemuda terlebih dahulu mendidik dirinya sendiri, insaf akan kesadaran dirinya, dan kondisi riil yang membelenggunya.

Sekarang, angkatan muda gagap berjalan ke mana arah tujuan kebangsaan dan kerakyatan. Kalau angkatan muda zaman perjuangan dulu, jelas tujuannya, yakni merdeka. Sutan Takdir Alisjahbana (1991) pernah berkata, “Kalau dulu, orang bisa mati bersemboyan merdeka atau mati. Mati bisa jadi pahlawan. Kalau pemuda sekarang mau mati, matilah kalian sekarang.“

Dengan demikian, suluh moral dan nilai-nilai Pancasila masih diperlukan untuk mene rangi perjalanan bangsa ke depan. Kalau bukan Pancasila, apalagi penyatu, penerang, dan penyuluh gerakan pemuda dalam keragaman Indonesia?

Kepemimpinan

Pemuda Indonesia mesti memiliki pijakan moral dan emosional yang tercerahkan oleh suluh Pancasila sehingga lahir pemimpin sejati yang bukan dihasilkan para medioker dan oportunis yang memperoleh posisi-posisi tertentu karena restu.

Pergerakan kaum muda dengan wajah baru melahirkan calon-calon pemimpin yang juga baru. Di tengah pertarungan Pancasila dengan hedonisme yang telah merasuki sebagian besar pemuda Indonesia, kepemimpinan disorot sebagai persoalan besar yang dihadapi bangsa.

Mencari kepemimpinan muda yang berintegritas tinggi serta kompeten dan mampu menjawab tantangan masa kini, perlu dididik, tak datang dari langit. Namun, pemimpin bisa lahir dari mana saja. Terdidik bukan saja di organisasi partai atau organisasi kemasyarakatan saja. Zaman begini, bibit kepemimpinan dapat lahir dari mana saja. Lahir dari kampus atau dari gubuk kumuh, pemimpin akan tetap hadir.

Dalam konteks politik yang terus mengalami perubahan, mencari atau menemukan kepemimpinan pemuda yang menyinarkan keteladanan di bumi Indonesia yang majemuk dan mengalami krisis kepercayaan terhadap partai politik, serta `gurita patron-klien' yang membelenggu, kaum muda butuh kesabaran.

Kaum muda yang bersosok, berkarakter, dan memiliki kecerdasan dan kecakapan, yang tak sekadar omongomong dan rapat, pasti hadir atau bahkan telah hadir di sekitar kita. Pemuda Indonesia yang punya keinginan untuk maju lahir dan batin haruslah tahu zamannya, kenal sejarahnya, dan tahu sejarah dunia.

Namun, jangan lupa, kita punya Pancasila. Sistem nilai Pancasila sebagai inti ideologi yang menurut H Agus Salim (1996) kelimanya merupakan kesatuan ibarat suatu tembok batu yang segala bagiannya sendi-menyendi dan sokong-menyokong.

Marilah pemuda Indonesia, kita saling menyendi, sokongmenyokong agar Pancasila menjadi ideologi hidup, bukan ideologi mati, sehingga cemeeh Sutan Takdir Alisjahbana yang mengatakan kalau dulu, para pemuda bisa mati bersemboyan merdeka lalu mati bisa jadi pahlawan; kalau pemuda sekarang mau mati, matilah kalian, menjadi terbantahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar