Kamis, 15 November 2012

Membatasi Grasi sebagai Kekuasaan Prerogatif Presiden


Membatasi Grasi
sebagai Kekuasaan Prerogatif Presiden
Susi Dwi Harijanti ;  Pakar Hukum Tata Negara Unpad, Ketua Paguyuban HAM (Paham) FH Unpad, dan Doktor Lulusan The University of Melbourne Australia
MEDIA INDONESIA, 14 November 2012



PEMBERIAN grasi oleh Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono kepada terpidana mati kasus narkoba Meirika Franola alias Ola dan terungkapnya peran yang bersangkutan dalam kasus tertangkapnya pelaku narkoba baru-baru ini, membuat publik secara tajam mempertanyakan kebijakan pemberian grasi tersebut. Salah satu kritik dan pertanyaan penting ialah sejauh mana Presiden melaksanakan kewenangan pemberian grasi dan apakah pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan Mahkamah Agung ataupun pejabat lain di lingkungan cabang kekuasaan eksekutif bersifat `mengikat'?

Grasi sesungguhnya merupakan kekuasaan `prerogatif' presiden sebagai kepala negara. Grasi berarti wewenang presiden memberi pengampunan dengan cara meniadakan, mengubah, atau mengurangi pidana bagi seseorang yang dijatuhi pidana dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jadi, pada dasarnya, grasi tidak meniadakan kesalahan, tetapi mengampuni kesalahan sehingga orang bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau jenis pidananya diubah. Misalnya, dari pidana mati menjadi seumur hidup, dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara, atau bahkan tidak perlu menjalani pidana. UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang telah diubah dengan UU No 5 Tahun 2010, menyebut kan grasi ialah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.

Mengingat grasi berkaitan dengan berbagai aspek fundamental, misalnya hak asasi manusia dan kepastian hukum, pemberian grasi harus dilaksanakan secara sangat berhati-hati dan selektif dengan memperhatikan prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kepentingan bangsa serta negara.

Makna Kekuasaan Prerogatif

Prerogatif' berasal dari bahasa Latin praerogativa (dipilih dari yang paling dahulu memberikan suara), praerogrativus (diminta sebagai yang pertama memberikan suara), praerogare (diminta sebelum meminta yang lain). Secara kesejarahan, kekuasaan prerogatif (prerogative power) sebagai pra nata hukum tata negara berasal dari sistem ketatanegaraan Inggris. Dicey menyebut kekuasaan prerogatif itu sebagai residu dari kekuasaan diskresi yang tetap dibiarkan berada di tangan raja atau ratu.

Disebut residu karena merupakan sisa dari seluruh kekuasaan mutlak yang semula berada di tangan raja atau ratu. Kekuasaan-kekuasaan itu lambat laun beralih ke tangan rakyat (parlemen) atau pejabat-pejabat lain, misalnya menteri. Karena tidak membutuhkan dasar suatu u undang-undang, kekuasaan p prerogatif oleh sebagian orang dipandang memiliki karakter undemocratic and potentially dangerous.

Oleh sebab itu, di Inggris, pelaksanaan kekuasaan prerogatif dibatasi beberapa hal, antara lain, kebiasaan ketatanegaraan (constitutional convention). Misalnya, hak prerogatif raja atau ratu mengangkat seseorang menjadi perdana menteri. Namun, hak tersebut dibatasi kebiasaan ketatanegaraan yang menyebabkan raja atau ratu hanya akan mengangkat seseorang menjadi perdana menteri apabila partai yang bersangkutan menguasai mayoritas parlemen.

Selain dibatasi kebiasaan ketatanegaraan, suatu kekuasaan tidak lagi disebut sebagai kekuasaan prerogatif jika sudah diatur dalam UUD atau undang-undang. Oleh sebab itu, kekuasaan tersebut lebih tepat dikatakan sebagai kekuasaan berdasarkan UUD (constitutional power) atau undang-undang (statutory power). Bagir Manan, dengan mengutip pendapat Le Sueur-Herberg, mengatakan kekuasaan prerogatif 'can be, and frequently are removed and replaced by statutory powers'. Dengan demikian, hak prerogatif memiliki beberapa ciri, antara lain merupakan kekuasaan sisa (residual power) yang dijalankan berdasarkan kekuasaan diskresi, tidak tertulis, penggunaan dibatasi, dan akan hilang apabila sudah diatur dalam UUD atau undang-undang.

Kekuasaan Konstitusional Presiden

Dalam kajian hukum tata negara, pemberian grasi merupakan kewenangan presiden sebagai kepala negara yang bertindak untuk dan atas nama negara. Persetujuan ataupun penolakan grasi dituangkan dalam bentuk surat keputusan yang berbeda dengan keputusan yang dibuat administrasi negara, yang dapat digolongkan sebagai keputusan negara yang bersifat individual. Oleh sebab itu, sebagian ahli berpendapat keputusan grasi tidak dapat dipersoalkan secara yuridis, yang dikenal dengan istilah non-justiciable karena mengandung persoalan-persoalan politik (political questions).

Di Indonesia, kekuasaan memberikan grasi diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, `Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung'. Semula ketentuan itu berbunyi `Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi', yang serupa dengan Art II sec 2 Konstitusi Amerika Serikat `..., and he shall have power to grant reprieves and pardons for offences against the United States, except in cases of impeachment'.

Menilik pada ketentuan sebelum perubahan, maka dapat dipahami bahwa presiden memiliki kekuasaan penuh untuk memberikan atau tidak memberikan grasi. Sekarang, kekuasaan itu `dibatasi' pertimbangan Mahkamah Agung yang diperlukan karena grasi menyangkut atau berkaitan dengan putusan hakim. Dengan demikian, pengaturan dalam UUD harus dimaknai sebagai pembatasan kekuasaan konstitusional presiden karena pemberian grasi diatur secara tertulis yang menyebab kan batas dan jenis kekuasaan bersifat lebih pasti.

Sebelum menyetujui atau menolak pemberian grasi, sebagaimana telah dise butkan, presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam kasus Ola, sebagaimana dinyatakan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Presiden bahkan meminta masukan Menteri Hukum dan HAM, Menko Polhukam, jaksa agung, dan Kapolri. Terda pat tiga pertanyaan funda mental, pertama, apakah pertimbangan Mahkamah Agung dan yang lainnya bersifat `mengikat' Presiden? Kedua, dari semua pertimbangan dan masukan, pertimbangan dan masukan manakah yang paling utama didahulukan?

Ketiga, jika terjadi `kesalahan' pemberian atau penolakan grasi, bagaimana cara menyelesaikannya? Hukum positif tidak menyediakan jawaban terhadap ketiga pertanyaan tersebut.

Terhadap pertanyaan pertama dan kedua, meskipun pertimbangan tidak bersifat mengikat, Presiden semestinya menempatkan pertimbangan Mahkamah Agung sebagai pertimbangan utama dan masukan dari pejabat-pejabat lain sebagai pertimbangan tambahan (additional opinion). Pengaturan pertimbangan Mahkamah Agung diatur dalam UUD 1945 (constitutional norms). Selain itu, Presiden hendaknya membangun kebiasaan ketatanegaraan untuk selalu `mengikatkan' dirinya pada pertimbangan yang sudah diberikan Mahkamah Agung. Atau dengan kata lain, Presiden sekadar mengukuhkan pendapat atau pertimbangan Mahkamah Agung dan menjadikannya dalam bentuk hukum tertentu. Jika sikap itu diambil Presiden, tentunya dalam kasus Ola, Presiden tidak akan tersudutkan.

Bagaimana jika terdapat kesalahan? Kesalahan mencerminkan asas kecermatan tidak diterapkan. Seperti telah dikatakan, grasi tidak dapat dipersoalkan secara yuridis. Jika akan dicabut, itu semata-mata dilakukan berdasarkan political will dari Presiden. 

Dengan demikian, pemecahannya bersifat politis. Apa pun langkah yang akan ditempuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengatasi persoalan tersebut, ia seharusnya memperhatikan dengan sungguhsungguh sendi-sendi konstitusi yang tecermin pada prinsip konstitusionalisme yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan. Lebih fundamental, sebagaimana dikatakan John Locke dalam bukunya, Two Treatises of Government, kekuasaan prerogatif, yang antara lain terwujud dalam grasi, bertujuan untuk mencapai kebaikan masyarakat (the public good).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar