Revitalisasi
Bulog
Entang Sastraatmadja ; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat
|
SUARA
KARYA, 24 Oktober 2012
Sekalipun RUU Pangan
belum ditetapkan menjadi Undang Undang (UU), namun sinyal untuk
merevitalisasi Bulog, sudah mulai digaungkan oleh Presiden SBY, terutama
setelah kita dihebohkan dengan tingginya harga kedelai dalam negeri, yang
melahirkan aksi mogok kerja para perajin tahu dan tempe. Isyarat penting yang
dapat kita catat adalah ada kemauan politik pemerintah untuk menjadikan Bulog
sebagai lembaga stabilisasi pangan, memperbanyak komoditas yang ditangani
Bulog dan efesiensi dalam pengelolaan kinerjanya.
Dalam RUU Pangan ini
tersirat bahwa Perum Bulog (Badan Urusan Logistik) tetap akan diberi
kewenangan yang lebih luas untuk melakukan pengadaan beberapa komoditas
pangan strategis dalam negeri, guna mengelolanya sebagai cadangan. Padahal,
usulan awalnya, peran itu rencananya bakal diberikan kepada para pedagang,
bahkan para pedagang ini pun diberi keleluasaan penuh untuk mengelola
cadangan pangan. Namun, DPR dan pemerintah akhirnya sepakat bahwa peran
Bulog-lah yang akan diperkuat.
Walau fenomena ini
masih sebatas prediksi, namun tidak ada salahnya apabila nasib Perum Bulog
paska RUU Pangan ini sudah kita perbincangkan sedini mungkin. Ini penting
dipahami, karena sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau, kita tetap
masih membutuhkan lembaga distribusi yang handal dan berada dalam kelembagaan
pemerintahan. Perum Bulog memiliki pengalaman soal logistik. Masalahnya,
apakah dalam era otonomi daerah sekarang masih terbuka peluang bagi
"negara" untuk menugasi Pemerintah Pusat menangani hal-hal yang
strategis?
"Bulog harus jadi
perusahaan besar". Itulah pernyataan Dahlan Iskan, Menteri BUMN kepada
Perum Bulog yang menurut sejarahnya memiliki andil besar dalam menciptakan
stabilitas harga pangan, khususnya beras. Benarkah Bulog bakalan mampu tumbuh
dan berkembang menjadi sebuah perusahaan besar, padahal kalau kita amati
status yang dilekatkan kepadanya, Bulog tetap harus menjalankan fungsi
PSO-nya? LebIh parah lagi, kondisi Bulog saat ini, hampir 90 persen
kegiatannya memang berkonsentrasi pada pengadaan produksi beras di dalam
negeri dan pengelolaan program beras untuk masyarakat miskin atau lebih akrab
dengan sebutan program Raskin. Boleh jadi, hanya 10 persen saja kiprah Perum
Bulog dalam menjalankan fungsi komersialnya.
Penetapan harga dasar
(floor price) sendiri, pada intinya merupakan wujud pembelaan pemerintah
terhadap para petani padi, yang dari berbagai pengalaman sering dijadikan
"komoditas" para pedagang di saat masa panen raya berlangsung.
Tanpa adanya patokan harga dasar, dapat dibayangkan bagaimana nasib para
petani bila harga yang terjadi dimainkan oleh para tengkulak atau pedagang.
Untuk itu, dalam
memelihara dan meningkatkan kesejahteraan petani, maka setiap tahun
pemerintah selalu menaikan harga dasar gabah guna menyesuaikan dengan
peningkatan inflasi. Sedangkan harga atap (ceiling price), memang sebuah pola
yang mempertontonkan keberpihakan pemerintah terhadap konsumen. Itulah
sebabnya, tatkala harga beras di pasar sulit dikendalikan, maka tidak ada
langkah lain yang dapat digarap terkecuali menyelenggaran operasi pasar
beras. Walau operasi pasar beras dianggap tidak signifikan lagi dalam
menurunkan harga beras yang terjadi di pasar, namun secara psikologis operasi
pasar beras, dapat mengerem laju kenaikan harga beras itu sendiri.
Menampilkan Bulog
menjadi perusahaan besar, rupanya bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Yang
menginginkan agar Bulog mampu tumbuh dan berkembang ibarat
"konglomerat", juga telah diutarakan oleh mantan Dirut Perum Bulog
Widjanarko Puspoyo. Sebagai orang yang layak dapat apresiasi, Widjanarko
adalah sosok petinggi Perum Bulog yang terlihat getol merevitalisasi Bulog
dari statusnya sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perum
Bulog (BUMN). Di bawah kepemimpinannya, Perum Bulog berusaha untuk muncul
menjadi sebuah perusahaan besar yang berkiprah dalam pembangunan pangan.
Sayang, sebelum cita-cita tersebut dapat diwujudkan, Widjanarko dan beberapa
orang petinggi Perum Bulog tersandung masalah hukum yang ujung-ujungnya
menyebabkan mereka terpaksa harus menghuni hotel pordeo.
Untuk menjadikan Perum
Bulog sebagai perusahaan besar maka "mental" pegawainya yang
umumnya dicetak untuk tidak tumbuh dan berkembang ke arah sosok pengusaha,
perlu mendapatkan perhatian serius. Rata-rata di antara mereka ditempa untuk
menjadi birokrat yang memiliki tupoksi guna memberi pelayanan prima kepada
masyarakat. Pengalaman hampir 10 tahun, mengantarkan status Bulog dari LPND
menjadi Perum Bulog, menjelaskan kepada kita bahwa sangat tidak gampang
mencetak pegawai berkelas pengusaha tatkala para pegawai itu dicetak untuk
menjadi para birokrat.
Bulog masa depan,
memang sebuah persoalan yang perlu dicari solusi terbaiknya. Perdebatan
panjang apakah Bulog lebih pas diarahkan sebagai lembaga parastatal yang
dalam kelembagaannya harus berstatus "plat merah" atau Bulog lebih
tepat dijadikan sebagai badan usaha milik negara, sehingga kelembagaan nya memiliki
dua peran yang melekat sekaligus (fungsi PSO dan fungsi bisnis); pada
hakikatnya sudah saat nya kita simpulkan secara cerdas.
Apabila sekarang ini
Perum Bulog hanya berkiprah dalam melakukan pengadaan gabah/beras dalam
negeri dan sesekali ditugasi untuk impor beras serta diminta mengelola
program raskin, maka apa-apa yang diinginkan Dahlan Iskan agar Bulog dapat
menjadi perusahaan besar, ada baiknya diperdalam lebih lanjut. Apalagi kalau
hal ini kita kaitkan pula dengan semangat UU Pangan yang baru, dimana ada
kehendak untuk mereduksi peran kelembagaan pangan ke arah yang lebih senafas
dengan tuntutan yang ada.
Semoga dalam perkembangannya, Bulog akan semakin ajeg dan
benar-benar kehadirannya dapat memberi berkah bagi kehidupan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar