Pencerahan
dalam Kekalutan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi
Media Group
MEDIA
INDONESIA, 03 Agustus 2012
PUTUS asa? Ibu Isye Widodo, penonton, ketika mengomentari Bedah
Editorial Media Indonesia tentang `Ketahanan Pangan' sepekan yang lalu
menyarankan agar kita tetap optimistis. Tersirat pesan dalam saran itu, bila
selama dua tahun menjelang 2014 kemelut yang mengacaukan suasana hati sekarang
ini tidak teratasi, pada pemilihan umum nanti kita jangan memilih orang-orang
yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat untuk menjadi jajaran pimpinan kita.
Saran yang jernih dan sederhana. Akan tetapi, mewujudkannya pasti
ruwet dan bukan tanpa rintangan. Partai-partai politik, misalnya, akhir-akhir
ini sibuk dengan berbagai siasat dan taktik untuk memenangi pemilihan umum 2014
demi kekuasaan. Mereka berupaya habis-habisan untuk mengegolkan kader masing-masing.
Apakah mereka memenuhi persyaratan atau tidak tergantung dari sisi mana
melihatnya; dari sisi politik praktis atau kepentingan nasional? Seperti yang
sedang ramai diwacanakan, banyak calon alternatif untuk capres disodorkan
berbagai pihak nonpartai sesuai aspirasi mereka, dengan dalih stok lama
partai-partai politik, tua maupun muda, tidak memenuhi syarat untuk
dipanggungkan.
Masyarakat umumnya, khususnya yang menekuni persoalan tersebut,
memang kecewa akan perkembangan perilaku segolongan politikus yang tidak jelas
komitmennya. Toh masyarakat tidak serta-merta memilih para alternatif.
Masyarakat ingin tahu bagaimana para sosok alternatif itu menghadapi uji coba
politik. Tentu juga ingin tahu apakah partai-partai yang sudah mapan
jaringannya melakukan pembenahan; misalnya siapa-siapa kader yang menjadi
pilihan, bagaimana etika moral dan politiknya, sumber dananya, kemampuan
capresnya bertindak sebagai profesional sekaligus negarawan. Bagaimana pula
kemungkinan partai-partai itu merangkul calon-calon alternatif yang potensial?
Keterbukaan demi
Pencerahan
Kita bisa membuat analogi mengenai hubungan masyarakat versus
tokoh-tokoh pemerintahan/politik seperti ini: masyarakat ibarat penonton sepak
bola yang pandai mengecam dan mencela, yang tidak peduli bahwa para pemain
sudah mati-matian, hampir-hampir kehabisan napas, dalam usaha mengegolkan bola
sesuai keinginan penonton. Maka, tidak mengherankan bila kecaman atau celaan
penonton tidak diterima dengan lapang dada, kalau bukan dengan kejengkelan.
Bila direnungkan, orang melancarkan kritik karena ada alasannya.
Bukan tidak mungkin alasannya hanya karena perbedaan wawasan dan fokus
perhatian. Yang satu menginginkan pertumbuhan, misalnya, yang lain menginginkan
pemerataan. Yang mendukung pertumbuhan berkata, “Apa yang akan diratakan kalau
tidak ada yang tumbuh?“ Yang menginginkan pemerataan melihat bahwa pertumbuhan
terbukti tidak terbagi rata. Sistemnya perlu dipertanyakan. Tarik ulur seperti
itu akan terus berlarut selama etika moral dan politik abai melihat inti
persoalan.
Mungkin itu pula yang awalnya membangkitkan keinginan untuk
reformasi, untuk perubahan. Di masa reformasi, disarankan sikap terbuka sebesar-besarnya.
Keterbukaan memperluas wawasan. Dalam hal perluasan wawasan, pers sebagai
subsistem memiliki peran penting untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat,
membuka apa adanya agar masyarakat mengerti, betapa buruknya pun situasi. Tidak
ada yang bebas dari sorotan pers, apa pun konsekuensinya bagi pers sendiri.
Namun, pers bukan satu-satunya yang seharusnya diharapkan
berperan. Pemerataan informasi, termasuk ilmu pengetahuan, juga menjadi
tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan formal maupun nonformal di organisasi
ataupun di bangku kuliah/sekolah; termasuk pendidikan moral di rumah. Bila
lembaga-lembaga pendidikan kurang tanggap menyimak perubahan zaman, mustahil
akan ada sistem budaya, politik, ekonomi, dan sosial yang maju. Akibatnya, kreativitas
dan dinamika demi zaman baru bisa mandek dan kita akan ketinggalan zaman.
Mengamati Fenomena
Universal
Pergerakan suatu bangsa menuju masyarakat yang lebih maju selalu
diwarnai tarikmenarik antara wawasan lama dan wawasan baru. Tidak semua yang lama
harus dilupakan. Banyak nilai mulia yang menyangkut etika dan moral bangsa yang
seharusnya dipertahankan. Namun, memang diperlukan tekad dan keberanian untuk
meninggalkan yang telah kedaluwarsa. Itulah yang dilakukan Jepang di zaman
Meiji (1852-1912).
Kemelut situasi kita sekarang mungkin akibat ketidakmampuan kita
menyerap pikiran-pikiran baru dan menerjemahkannya ke dalam tindakantindakan
positif. Kebebasan, misalnya, diterjemahkan sekehendak hati sehingga
pelanggaran aturan dan penyalahgunaan wewenang menjadi marak di mana-mana,
bahkan di lembaga-lembaga pemerintahan--eksekutif, legislatif, ataupun
yudikatif. Gejala-gejala tersebut sudah lama ada. Itu yang menyebabkan Presiden
suatu kali mencanangkan program memberantas korupsi dan mengganyang mafia hukum.
Hukum, yang lahir dari konsep modern demi menjaga ketertiban, ada kalanya
malahan diperlakukan sebagai alat kekuasaan untuk menutupi pelanggaran
ketertiban.
Sayang, tindak lanjut pencanangan Presiden itu berjalan lamban
sehingga ibaratnya malahan membuka kotak pandora. Kita menjadi kesal karena
hari demi hari kepada kita dipertontonkan bagaimana kesemrawutan perilaku kita
sebagai bangsa yang tergoda oleh gagasan kemajuan tanpa mau tahu tanggung jawab
yang menyertai ide kebebasan. Padahal, mungkin, pikiran-pikiran baru dari luar
kita jadikan saja perangsang untuk mencerahkan pikiran. Dengan demikian,
pikiran-pikiran yang sudah tercerahkan bisa memekarkan ide-ide baru
berlandaskan moral dan etika budaya kita, sesuai tuntutan demokrasi Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar