Sabtu, 04 Agustus 2012

Asuransi Kredibilitas Polri?


Asuransi Kredibilitas Polri?
Sunardi ; Doktor Ilmu Hukum PPS Unibraw, Lulusan Lemhannas,
Penulis Buku Supremasi Mafioso dan Kejahatan Terorisme
MEDIA INDONESIA, 03 Agustus 2012

PENGELEDAHAN yang dilakukan KPK terha dap Kantor Korlantas Polri terkait dengan pengadaan mesin simulator menghasilkan sejumlah tersangka, yang salah satu di antaranya ialah DS. Akibat kasus itu, mencuat berbagai penilaian terhadap institusi Polri. Misalnya anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar Alhabsy berpendapat, jika dilihat sepintas, memang terdapat potensi kerawanan terjadinya tindak pidana korupsi di korps Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kerawanan tersebut terjadi pada pemasukan negara dari bidang pengadaan SIM, denda tilang, penerbitan SKCK ataupun dana operasional bina marga (Media Indonesia, 2 Agustus 2012).

Kalau sebuah institusi rawan atau bahkan mengidap kompilasi penyakit bernama kejahatan istimewa (extra ordinary crime), bagaimana mungkin institusi itu masih kapabel untuk diandalkan melawan dan memberantas kejahatan? Apa masih rasional suatu lembaga penegak hukum (Polri) mendapatkan mandat untuk berdiri di garis depan penegakan hukum (law enforcement) kalau korps tersebut belum maksimal bercerai dari malapraktik profesi atau terlibat dalam kejahatan penyalahgunaan kewenangan?

Pernyataan tersebut menjadi gugatan moral profetis atas keterlibatan Polri dalam berbagai praktik ilegalitas atau penyalahgunaan kekuasaan. Keterlibatan itu telah membuat wajah Polri semakin temaram atau menjadi institusi yang kemampuannya diragukan untuk mempertahankan, apalagi menjaga, keberlanjutan hidupnya di negara hukum ini.

Sengkarutnya wajah Polri yang terkait dengan dugaan perkara korupsi atau penyalahgunaan profesi memang sudah lama atau sering terjadi. Kasus rekening gendut dan mafia pajak merupakan sampel kasus sebelum kasus Korlantas yang melibatkan petinggi Polri. Praduga atau estimasi atas kemungkinan mencuatnya kasus besar lain yang `mengeksaminasi' dan bahkan menguliti Polri masih terbuka seiring dengan pesona atau daya magnet kriminalitas yang berkemban dan dijadikan lahan profetis. Kriminalitas di satu sisi memang men jadi ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat, tetapi di sisi lain, secara materialistis dapat mengangkat derajat kaningratan seseorang atau sekelompok orang dalam ranah strata elitisme.

Dalam buku Jaya via Mafia yang ditulis Mahmoud Hasan (2009) disebutkan, di negaranegara yang penegakan hukumnya rentan, lemah, gampang dibengkokkan, dan kuat menerapkan prinsip diskriminasi, kekuatan mafia tidak bisa dilihat sebelah mata. Kekuatan itu mampu mengepakkan sayap-sayap sindikasi mereka melalui berbagai lini strategis, khususnya antara korporasi, birokrasi, dan unsur-unsur penegak hukum. Mereka saling dukung dalam memperoleh dan menambah pundi-pundi kekayaan.

Jika kemudian mencuat kasus di wilayah Korlantas yang melibatkan beberapa oknum Polri, itu masihlah sampel kecil. Dengan masih kuatnya jaringan sindikasi oknum pejabat atau birokrat dan pengusaha dengan aparat penegak hukum, bukan tidak mungkin yang bersifat gurita jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka mengamankan praktik-praktik kriminalisasi birokrasi dengan dukungan `mesin' aparat penegak hukum yang sudah kehilangan kecerdasan moral, spiritual, dan nurani.

Selain itu, dalam logika kriminalitas, problem `angka gelap' (dark number) kejahatan layak digunakan sebagai konsiderasi rasionalitasnya. Begitu satu kasus kejahatan mencuat atau dilaporkan seseorang, kita mestilah menalarnya, bahwa masih ba nyak kejahatan lain yang tersembunyi, tidak dilaporkan saksi atau korban, atau sengaja `di sembunyikan' seseorang, korporasi, atau sekelompok orang yang sedang memainkannya.

Posisi `angka gelap' itu bisa menjadi lubang menganga yang bisa menyemburkan lahar panas yang membakar (menodai) atau bahkan `mengeksekusi' kredibilitas Polri.
Dua atau beberapa kasus besar lagi (di luar mafia pajak) seperti pengedaran narkoba, korupsi, pembalakan hutan (illegal logging), penjarahan kekayaan laut (illegal fishing), dan kejahatan bernilai `uang besar' lainnya, yang jika sampai keluar dari diri Polri, bisa dibayangkan akibatnya pada korps Polri dan kewibawaan negeri ini.

Kalau semakin banyak dan komplikatif virus yang menimpa Polri, logis jika kita sampai pada kesimpulan bahwa stigma negeri ini bisa menjadi `negeri tanpa Polri' atau negeri yang secara factual dan de jure mempunyai elemen penegakan hukum (law enforcement) fundamental, tetapi di masyarakat, kesejatian dirinya telah `melepas baju' kebesarannya.

Sebagai elemen penegakan hukum, tentulah `baju kebesaran' yang dikenakan Polri ialah produk yuridis yang meregulasikan peran fundamental dan kesakralan nya yang berelasi dengan pencegahan, penanggu langan, atau penanganan problem penyimpangan, penyebaran virus pembusukan hukum (legal decay) di masyarakat. Polri diberi tugas sakral dan fitri oleh negara untuk selalu menjadi pilar di garda kehidupan bermasyarakat dan berne gara demi terciptanya social order maupun sehatnya konstriksi implementasi sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Peran strategis itu diantaranya terumus dalam Konsiderans UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Peran secara yuridis itu menunjukkan strategis dan fundamentalnya peran Polri.
Di tangan Polri telah disediakan negara sejumlah `wilayah kerja' yang membuat mereka bisa membangun relasi sosial secara pluralistis. Polri dituntut negara (hukum) untuk berperan makro dan maksimal di lini kehidupan empirik masyarakat dengan segala risikonya.

Akibat besarnya peran yang harus dimainkannya itu, korps kepolisian, harkat masyarakat, citra negara, cita-cita besar penegakan hukum, dan proyek legislasi nasional `diasuransikan kredibilitasnya'. Kalau citra mereka semakin redup dan kredibilitas mereka terus-menerus tereduksi akibat korupsi yang menjangkitinya, kepentingan makro tersebut akan semakin terjagal dan bisa jadi gagal total.

Polri kita, dari awal seleksi hingga ke pendidikan kepoli siannya, kurang memperoleh pemahaman atau pola transformasi nilai yang mengandung substansi `asuransi kredibilitas' makro sehingga dalam ranah aplikasi profesi, yang lebih dikedepankan ialah kalkulasi mendapatkan keuntungan ekonomi berlimpah, dapat proyek remunerasi, dan jabatan (karier) bisa berlanjut. Sementara, keikhlasan dalam pengabdian atau `kekurangan' saat menjalankan profesi kurang disikapinya dengan sabar dan objektif.

Sebagai pelajaran, sejak awal jadi polisi, polisi Jepang didoktrin untuk melakukan tugas secara tulus dan sukarela. Di Indonesia, orang menjadi polisi kebanyakan karena dorongan pekerjaan. Di Jepang, seseorang menjadi polisi karena panggilan pengabdian kepada masyarakat dan bangsa. Mereka sudah terdoktrin untuk memberi yang terbaik kepada negara dan bukan meminta yang terbaik dari negara. Mereka bisa patuh kepada doktrin itu karena mereka juga sudah terdidik mengutamakan kepentingan makro bangsa alih-alih kepentingan pribadi atau korps sendiri.

Eksaminasi yang sekarang menguji Polri selayaknya disikapi pimpinan Polri (termasuk presiden) untuk menata atau mengelola institusi strategis ini sejak awal, khususnya sejak rekrutmen SDM hingga pendidikan Polri. Kalau dari awal saja mereka sudah mengidap penyakit korupsi atau terkulturisasi oleh pembenaran kejahatan penyelingkuhan moral yang menodainya , keberlanjutannya pun sulit diberantas karena yang mendapatkan peran memberantas juga berpenyakit sederajat dan bahkan bisa jadi lebih dahsyat jika dibandingkan dengan yang diberantas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar