Asuransi
Kredibilitas Polri?
Sunardi ; Doktor Ilmu Hukum PPS
Unibraw, Lulusan Lemhannas,
Penulis Buku Supremasi
Mafioso dan Kejahatan Terorisme
MEDIA
INDONESIA, 03 Agustus 2012
PENGELEDAHAN yang dilakukan KPK terha dap Kantor Korlantas Polri
terkait dengan pengadaan mesin simulator menghasilkan sejumlah tersangka, yang
salah satu di antaranya ialah DS. Akibat kasus itu, mencuat berbagai penilaian
terhadap institusi Polri. Misalnya anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar Alhabsy
berpendapat, jika dilihat sepintas, memang terdapat potensi kerawanan
terjadinya tindak pidana korupsi di korps Kepolisian Republik Indonesia
(Polri). Kerawanan tersebut terjadi pada pemasukan negara dari bidang pengadaan
SIM, denda tilang, penerbitan SKCK ataupun dana operasional bina marga (Media
Indonesia, 2 Agustus 2012).
Kalau sebuah institusi rawan atau bahkan mengidap kompilasi
penyakit bernama kejahatan istimewa (extra
ordinary crime), bagaimana mungkin institusi itu masih kapabel untuk
diandalkan melawan dan memberantas kejahatan? Apa masih rasional suatu lembaga
penegak hukum (Polri) mendapatkan mandat untuk berdiri di garis depan penegakan
hukum (law enforcement) kalau korps
tersebut belum maksimal bercerai dari malapraktik profesi atau terlibat dalam
kejahatan penyalahgunaan kewenangan?
Pernyataan tersebut menjadi gugatan moral profetis atas
keterlibatan Polri dalam berbagai praktik ilegalitas atau penyalahgunaan
kekuasaan. Keterlibatan itu telah membuat wajah Polri semakin temaram atau
menjadi institusi yang kemampuannya diragukan untuk mempertahankan, apalagi
menjaga, keberlanjutan hidupnya di negara hukum ini.
Sengkarutnya wajah Polri yang terkait dengan dugaan perkara
korupsi atau penyalahgunaan profesi memang sudah lama atau sering terjadi. Kasus rekening gendut dan mafia pajak merupakan sampel kasus sebelum kasus
Korlantas yang melibatkan petinggi Polri. Praduga atau estimasi atas kemungkinan mencuatnya kasus besar lain
yang `mengeksaminasi' dan bahkan menguliti Polri masih terbuka seiring dengan
pesona atau daya magnet kriminalitas yang berkemban dan dijadikan lahan
profetis. Kriminalitas di satu sisi memang men jadi ancaman bagi keberlangsungan
hidup masyarakat, tetapi di sisi lain, secara materialistis dapat mengangkat
derajat kaningratan seseorang atau sekelompok orang dalam ranah strata
elitisme.
Dalam buku Jaya via Mafia yang ditulis Mahmoud Hasan (2009)
disebutkan, di negaranegara yang penegakan hukumnya rentan, lemah, gampang
dibengkokkan, dan kuat menerapkan prinsip diskriminasi, kekuatan mafia tidak
bisa dilihat sebelah mata. Kekuatan itu mampu mengepakkan sayap-sayap sindikasi
mereka melalui berbagai lini strategis, khususnya antara korporasi, birokrasi,
dan unsur-unsur penegak hukum. Mereka saling dukung dalam memperoleh dan
menambah pundi-pundi kekayaan.
Jika kemudian mencuat kasus di wilayah Korlantas yang melibatkan
beberapa oknum Polri, itu masihlah sampel kecil. Dengan masih kuatnya jaringan
sindikasi oknum pejabat atau birokrat dan pengusaha dengan aparat penegak
hukum, bukan tidak mungkin yang bersifat gurita jumlahnya jauh lebih banyak.
Mereka mengamankan praktik-praktik kriminalisasi birokrasi dengan dukungan
`mesin' aparat penegak hukum yang sudah kehilangan kecerdasan moral, spiritual,
dan nurani.
Selain itu, dalam logika kriminalitas, problem `angka gelap' (dark number) kejahatan layak digunakan
sebagai konsiderasi rasionalitasnya. Begitu satu kasus kejahatan mencuat atau
dilaporkan seseorang, kita mestilah menalarnya, bahwa masih ba nyak kejahatan lain
yang tersembunyi, tidak dilaporkan saksi atau korban, atau sengaja `di
sembunyikan' seseorang, korporasi, atau sekelompok orang yang sedang
memainkannya.
Posisi `angka gelap' itu bisa menjadi lubang menganga yang bisa menyemburkan
lahar panas yang membakar (menodai) atau bahkan `mengeksekusi' kredibilitas
Polri.
Dua atau beberapa kasus besar lagi (di luar mafia pajak) seperti
pengedaran narkoba, korupsi, pembalakan hutan (illegal logging), penjarahan kekayaan laut (illegal fishing), dan kejahatan bernilai `uang besar' lainnya, yang
jika sampai keluar dari diri Polri, bisa dibayangkan akibatnya pada korps Polri
dan kewibawaan negeri ini.
Kalau semakin banyak dan komplikatif virus yang menimpa Polri, logis
jika kita sampai pada kesimpulan bahwa stigma negeri ini bisa menjadi `negeri
tanpa Polri' atau negeri yang secara factual
dan de jure mempunyai elemen
penegakan hukum (law enforcement)
fundamental, tetapi di masyarakat, kesejatian dirinya telah `melepas baju'
kebesarannya.
Sebagai elemen penegakan hukum, tentulah `baju kebesaran' yang
dikenakan Polri ialah produk yuridis yang meregulasikan peran fundamental dan
kesakralan nya yang berelasi dengan pencegahan, penanggu langan, atau penanganan
problem penyimpangan, penyebaran virus pembusukan hukum (legal decay) di masyarakat. Polri diberi tugas sakral dan fitri
oleh negara untuk selalu menjadi pilar di garda kehidupan bermasyarakat dan
berne gara demi terciptanya social order
maupun sehatnya konstriksi implementasi sistem peradilan pidana (criminal justice system).
Peran strategis itu diantaranya terumus dalam Konsiderans UU Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, bahwa pemeliharaan keamanan dalam
negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan Kepolisian Negara
Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
Peran secara yuridis itu menunjukkan strategis dan fundamentalnya
peran Polri.
Di tangan Polri telah disediakan negara sejumlah `wilayah kerja' yang membuat mereka bisa membangun relasi sosial secara pluralistis. Polri dituntut negara (hukum) untuk berperan makro dan maksimal di lini kehidupan empirik masyarakat dengan segala risikonya.
Di tangan Polri telah disediakan negara sejumlah `wilayah kerja' yang membuat mereka bisa membangun relasi sosial secara pluralistis. Polri dituntut negara (hukum) untuk berperan makro dan maksimal di lini kehidupan empirik masyarakat dengan segala risikonya.
Akibat besarnya peran yang harus dimainkannya itu, korps
kepolisian, harkat masyarakat, citra negara, cita-cita besar penegakan hukum,
dan proyek legislasi nasional `diasuransikan kredibilitasnya'. Kalau citra
mereka semakin redup dan kredibilitas mereka terus-menerus tereduksi akibat
korupsi yang menjangkitinya, kepentingan makro tersebut akan semakin terjagal
dan bisa jadi gagal total.
Polri kita, dari awal seleksi hingga ke pendidikan kepoli siannya,
kurang memperoleh pemahaman atau pola transformasi nilai yang mengandung
substansi `asuransi kredibilitas' makro sehingga dalam ranah aplikasi profesi,
yang lebih dikedepankan ialah kalkulasi mendapatkan keuntungan ekonomi
berlimpah, dapat proyek remunerasi, dan jabatan (karier) bisa berlanjut.
Sementara, keikhlasan dalam pengabdian atau `kekurangan' saat menjalankan
profesi kurang disikapinya dengan sabar dan objektif.
Sebagai pelajaran, sejak awal jadi polisi, polisi Jepang didoktrin
untuk melakukan tugas secara tulus dan sukarela. Di Indonesia, orang menjadi
polisi kebanyakan karena dorongan pekerjaan. Di Jepang, seseorang menjadi
polisi karena panggilan pengabdian kepada masyarakat dan bangsa. Mereka sudah
terdoktrin untuk memberi yang terbaik kepada negara dan bukan meminta yang
terbaik dari negara. Mereka bisa patuh kepada doktrin itu karena mereka juga
sudah terdidik mengutamakan kepentingan makro bangsa alih-alih kepentingan
pribadi atau korps sendiri.
Eksaminasi yang sekarang menguji Polri selayaknya disikapi
pimpinan Polri (termasuk presiden) untuk menata atau mengelola institusi
strategis ini sejak awal, khususnya sejak rekrutmen SDM hingga pendidikan
Polri. Kalau dari awal saja mereka sudah mengidap penyakit korupsi atau
terkulturisasi oleh pembenaran kejahatan penyelingkuhan moral yang menodainya ,
keberlanjutannya pun sulit diberantas karena yang mendapatkan peran memberantas
juga berpenyakit sederajat dan bahkan bisa jadi lebih dahsyat jika dibandingkan
dengan yang diberantas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar