Sabtu, 04 Agustus 2012

Pencerahan dalam Kekalutan


Pencerahan dalam Kekalutan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 03 Agustus 2012

PUTUS asa? Ibu Isye Widodo, penonton, ketika mengomentari Bedah Editorial Media Indonesia tentang `Ketahanan Pangan' sepekan yang lalu menyarankan agar kita tetap optimistis. Tersirat pesan dalam saran itu, bila selama dua tahun menjelang 2014 kemelut yang mengacaukan suasana hati sekarang ini tidak teratasi, pada pemilihan umum nanti kita jangan memilih orang-orang yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat untuk menjadi jajaran pimpinan kita.

Saran yang jernih dan sederhana. Akan tetapi, mewujudkannya pasti ruwet dan bukan tanpa rintangan. Partai-partai politik, misalnya, akhir-akhir ini sibuk dengan berbagai siasat dan taktik untuk memenangi pemilihan umum 2014 demi kekuasaan. Mereka berupaya habis-habisan untuk mengegolkan kader masing-masing. Apakah mereka memenuhi persyaratan atau tidak tergantung dari sisi mana melihatnya; dari sisi politik praktis atau kepentingan nasional? Seperti yang sedang ramai diwacanakan, banyak calon alternatif untuk capres disodorkan berbagai pihak nonpartai sesuai aspirasi mereka, dengan dalih stok lama partai-partai politik, tua maupun muda, tidak memenuhi syarat untuk dipanggungkan.

Masyarakat umumnya, khususnya yang menekuni persoalan tersebut, memang kecewa akan perkembangan perilaku segolongan politikus yang tidak jelas komitmennya. Toh masyarakat tidak serta-merta memilih para alternatif. Masyarakat ingin tahu bagaimana para sosok alternatif itu menghadapi uji coba politik. Tentu juga ingin tahu apakah partai-partai yang sudah mapan jaringannya melakukan pembenahan; misalnya siapa-siapa kader yang menjadi pilihan, bagaimana etika moral dan politiknya, sumber dananya, kemampuan capresnya bertindak sebagai profesional sekaligus negarawan. Bagaimana pula kemungkinan partai-partai itu merangkul calon-calon alternatif yang potensial?

Keterbukaan demi Pencerahan

Kita bisa membuat analogi mengenai hubungan masyarakat versus tokoh-tokoh pemerintahan/politik seperti ini: masyarakat ibarat penonton sepak bola yang pandai mengecam dan mencela, yang tidak peduli bahwa para pemain sudah mati-matian, hampir-hampir kehabisan napas, dalam usaha mengegolkan bola sesuai keinginan penonton. Maka, tidak mengherankan bila kecaman atau celaan penonton tidak diterima dengan lapang dada, kalau bukan dengan kejengkelan.

Bila direnungkan, orang melancarkan kritik karena ada alasannya. Bukan tidak mungkin alasannya hanya karena perbedaan wawasan dan fokus perhatian. Yang satu menginginkan pertumbuhan, misalnya, yang lain menginginkan pemerataan. Yang mendukung pertumbuhan berkata, “Apa yang akan diratakan kalau tidak ada yang tumbuh?“ Yang menginginkan pemerataan melihat bahwa pertumbuhan terbukti tidak terbagi rata. Sistemnya perlu dipertanyakan. Tarik ulur seperti itu akan terus berlarut selama etika moral dan politik abai melihat inti persoalan.

Mungkin itu pula yang awalnya membangkitkan keinginan untuk reformasi, untuk perubahan. Di masa reformasi, disarankan sikap terbuka sebesar-besarnya. Keterbukaan memperluas wawasan. Dalam hal perluasan wawasan, pers sebagai subsistem memiliki peran penting untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, membuka apa adanya agar masyarakat mengerti, betapa buruknya pun situasi. Tidak ada yang bebas dari sorotan pers, apa pun konsekuensinya bagi pers sendiri.

Namun, pers bukan satu-satunya yang seharusnya diharapkan berperan. Pemerataan informasi, termasuk ilmu pengetahuan, juga menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan formal maupun nonformal di organisasi ataupun di bangku kuliah/sekolah; termasuk pendidikan moral di rumah. Bila lembaga-lembaga pendidikan kurang tanggap menyimak perubahan zaman, mustahil akan ada sistem budaya, politik, ekonomi, dan sosial yang maju. Akibatnya, kreativitas dan dinamika demi zaman baru bisa mandek dan kita akan ketinggalan zaman.

Mengamati Fenomena Universal

Pergerakan suatu bangsa menuju masyarakat yang lebih maju selalu diwarnai tarikmenarik antara wawasan lama dan wawasan baru. Tidak semua yang lama harus dilupakan. Banyak nilai mulia yang menyangkut etika dan moral bangsa yang seharusnya dipertahankan. Namun, memang diperlukan tekad dan keberanian untuk meninggalkan yang telah kedaluwarsa. Itulah yang dilakukan Jepang di zaman Meiji (1852-1912).

Kemelut situasi kita sekarang mungkin akibat ketidakmampuan kita menyerap pikiran-pikiran baru dan menerjemahkannya ke dalam tindakantindakan positif. Kebebasan, misalnya, diterjemahkan sekehendak hati sehingga pelanggaran aturan dan penyalahgunaan wewenang menjadi marak di mana-mana, bahkan di lembaga-lembaga pemerintahan--eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Gejala-gejala tersebut sudah lama ada. Itu yang menyebabkan Presiden suatu kali mencanangkan program memberantas korupsi dan mengganyang mafia hukum. Hukum, yang lahir dari konsep modern demi menjaga ketertiban, ada kalanya malahan diperlakukan sebagai alat kekuasaan untuk menutupi pelanggaran ketertiban.

Sayang, tindak lanjut pencanangan Presiden itu berjalan lamban sehingga ibaratnya malahan membuka kotak pandora. Kita menjadi kesal karena hari demi hari kepada kita dipertontonkan bagaimana kesemrawutan perilaku kita sebagai bangsa yang tergoda oleh gagasan kemajuan tanpa mau tahu tanggung jawab yang menyertai ide kebebasan. Padahal, mungkin, pikiran-pikiran baru dari luar kita jadikan saja perangsang untuk mencerahkan pikiran. Dengan demikian, pikiran-pikiran yang sudah tercerahkan bisa memekarkan ide-ide baru berlandaskan moral dan etika budaya kita, sesuai tuntutan demokrasi Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar