Akuisisi
Bank Nasional
Susidarto
; Praktisi Perbankan di Yogyakarta
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 26 Mei 2012
PERTANYAAN siapa yang boleh dan layak
memiliki bank di Indonesia kembali mengemuka di tengah wacana dominasi
kepemilikan asing terhadap perbankan nasional. Terlebih saat ini DBS Holdings
berencana membeli saham dan mengakuisisi Bank Danamon hingga mendekati angka
99%. Terlepas dari dominasi kepemilikan asing pada perbankan lokal yang kini
mencapai 51% lebih, apakah benar investor asing tidak layak menguasai bank
kita, dan lebih pantas pengusaha (investor) lokal?
Kita perlu berkaca pada pengalaman terkait
dengan banking crisis dunia perbankan nasional kita tahun 1998/1999. Waktu itu,
bank lokal yang dimiliki pemain lokal, ternyata hanya menyalurkan dana
masyarakat ke perusahaan satu grupnya yang notabene milik si empunya bank
tersebut.
Saat perusahaan mereka tak mampu membayar
kewajibannya maka bank miliknya pun ikut rontok. Akibatnya, waktu itu puluhan
bank lokal harus dimasukkan program rekapitalisasi, bahkan banyak yang
dilikuidasi. Sejumlah bankir masuk daftar hitam (cekal), dan sebagian menjadi
pesakitan karena melakukan moral hazard. Setelah melalui proses penyehatan oleh
BPPN (sekarang berubah menjadi PPA, dan terakhir LPS), pemerintah menjual
sahamnya ke investor, termasuk asing. Jadi siapa yang salah dalam hal ini?
Masuknya investor asing, terlebih yang
kredibel, ke dalam bank lokal sebenarnya memiliki lebih banyak segi positif
ketimbang negatif. Dari segi persepsi risiko, bank yang dimiliki investor asing
menerapkan manajemen yang lebih solid dan masif. Mereka lebih berhati-hati
mengelola usaha dan menerapkan manajemen risiko yang lebih baik.
Aliansi
Strategis
Sisi positif lainnya, masuknya investor asing
akan membantu perbankan nasional yang ingin masuk ke kancah global. Mereka
cukup membentuk aliansi strategis (strategic
alliances) dengan mitranya sesama bank yang sudah mendunia. Masuknya pemain
asing ke bank-bank rekap itu minimal akan memacu bank tersebut melakukan
aliansi strategis secara fungsional dalam operasional dan pemasaran.
Melalui aliansi strategis itu, bank-bank itu
tidak perlu membuka cabang di luar negeri. Saat ini, banyak industri makanan
dan minuman membentuk aliansi strategis. Misalnya antara Aqua dan Danone,
antara Coca-Cola dan Ades, serta antara perusahaan komputer Hewlett-Packard
(HP) dan Canon.
Tidak masalah investor asing menguasai
perbankan nasional kita, sepanjang bank yang mereka akuisisi itu menjalankan
usahanya secara prudent (hati-hati), dan lebih bermanfaat bagi perekonomian
domestik. Sebaliknya, percuma industri perbankan lokal dikuasai pemain lokal
bila tujuannya hanya mengeruk keuntungan demi pemilik bank itu dan kelompoknya,
serta untuk tempat pencucian uang (money
laundering).
Kata kuncinya adalah bagaimana BI dan
pemerintah menciptakan iklim kondusif agar keberadaan bank nasional milik asing
itu bisa memberi kontribusi nyata bagi pembangunan ekonomi bangsa. Misalnya
membuat regulasi supaya perbankan, tanpa terkecuali, menyalurkan kreditnya ke
sektor produktif untuk investasi dan modal kerja.
Suka atau tidak suka, cepat atau lambat,
Indonesia sudah memasuki globalisasi ekonomi keuangan. Kita tidak bisa lagi
membendung integrasi sektor keuangan global. Masuknya investor asing ke
beberapa bank nasional, minimal bisa menstimulasi bank-bank ini menjadi pioner
dalam memasuki pasar bebas. Sudah saatnya perbankan nasional bangkit supaya
nisa ikut bersaing memperebutkan kue globalisasi ekonomi. Terlebih menjelang
terbentuknya masyarakat ekonomi ASEAN pada 2015. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar