Tanah
(Air) untuk Rakyat
Syamsuddin Haris,
PROFESOR
RISET LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Sumber
: KOMPAS, 19 Januari 2012
Mungkinkah sebuah negara-bangsa besar seperti
negeri kita ini bisa bertahan di tengah persaingan global yang cenderung saling
menisbikan dewasa ini jika terus-menerus menafikan hak-hak sosial dan ekonomi
rakyatnya? Adakah arti politik, demokrasi, dan pemerintahan jika rakyat tidak
merasa turut serta di dalamnya?
Persoalan-persoalan besar dan krusial di
balik pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya harus dipahami sebagai akar
masalah di balik meningkatnya gelombang demonstrasi, unjuk rasa, dan bahkan
perlawanan berbagai elemen masyarakat terhadap negara akhir-akhir ini. Sangat
jelas bahwa yang diperlukan rakyat bukan sekadar hak-hak politik dan kebebasan
sipil, melainkan jauh lebih luas dan mendasar. Rakyat butuh hak-hak dasarnya
dilindungi oleh negara, termasuk di dalamnya hak hidup layak, hak atas
pekerjaan, hak atas jaminan sosial, hak memeluk agama dan kepercayaan yang
berbeda, dan seterusnya.
Meski semua hak itu sudah termuat lengkap
dalam konstitusi kita, negara seolah-olah tak berdaya melindunginya. Dalam
banyak konflik agraria, sejak kasus Jenggawah, Jember (1978), hingga Mesuji,
Lampung-Sumatera Selatan, dan Bima, NTB (2011), akar persoalan pada dasarnya
belum bergeser, yakni kegagalan negara melindungi dan menyantuni rakyat. Dalam
era otoriter rezim Orde Baru, konflik Jenggawah bisa dianggap ”wajar” karena
penyelenggara negara yang dipimpin Soeharto bukan hanya tidak memiliki
legitimasi dan mandat rakyat, melainkan juga berkuasa atas nama otoritarianisme
itu sendiri.
Ironisnya, ketika demokrasi sudah direbut
serta para pemimpin dan penyelenggara negara di pusat dan daerah telah dipilih
secara langsung, negara sering kali tidak hadir membela dan melindungi hak-hak
sosial dan ekonomi rakyat. Tidak jarang negara—baik dalam wujud pemerintah,
parlemen, maupun aparat negara lainnya—justru melarikan diri dari tanggung
jawab mereka. Mulai dari Jenggawah hingga Mesuji dan Bima, nasib dan status
rakyat negeri ini tidak berubah. Sebagai pemilik sah atas Tanah Air, mereka dicurigai,
diintimidasi, dan dikejar-kejar aparat negara yang bersekongkol dengan
agen-agen jaringan kapitalisme global.
Kaum Penjahat
Gelombang unjuk rasa dan demonstrasi menuntut
pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang kerap muncul belakangan ini tak akan terjadi
seandainya bangsa ini memiliki para pemimpin dan penyelenggara negara yang
bertanggung jawab. Sehebat apa pun demokrasi yang kita bangun, tak akan ada
artinya jika pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah hanya menghasilkan para
penguasa kerdil yang hanya berpikir picik untuk terus memperbesar perut buncit
mereka. Apalagi, sudah lazim diketahui, demokrasi tanpa kepemimpinan hampir
pasti berbuahkan anarki di tingkat massa dan pemaksaan kehendak di tingkat
elite.
Pengalaman lebih dari satu dekade praktik
demokrasi pasca-rezim otoriter Orde Baru memperlihatkan tidak adanya upaya
serius partai-partai politik melembagakan demokrasi yang berkepemimpinan.
Parpol yang menjadi agen utama demokrasi sekadar melahirkan politisi yang siap
untuk berkuasa dan memperkaya diri, tetapi tanpa moralitas dan tanggung jawab
kepemimpinan.
Akibatnya, seperti pernah disebut oleh Olle
Tornguist, demokrasi formal memang terbentuk, tetapi secara substansi yang
terjadi sesungguhnya adalah ”demokrasi kaum penjahat” (dalam R William Liddle,
ed, 2001). Pada dasarnya sebagian mereka yang terpilih dalam pemilu dan pilkada
adalah para penjahat yang berbaju sebagai ”pemimpin” dan atau ”wakil rakyat”.
Sinyalemen Tornguist, yang dikutip Lidlle,
agak sulit dimungkiri jika kita melihat fenomena politik di Tanah Air selama
lebih dari 10 tahun terakhir. Di depan kamera televisi, mereka yang menyebut
diri dan menepuk dada sebagai pemimpin dan wakil rakyat sangat berapi-api
membela kepentingan rakyat. Dalam sidang-sidang terbuka parlemen, pimpinan eksekutif
ataupun para wakil rakyat tampak berbusa-busa membela wong cilik.
Akan tetapi, di belakang layar, di kafe-kafe
sosialita kota besar ataupun di lobi-lobi hotel berbintang, mereka mengkhianati
konstitusi. Mereka bersekongkol dengan para pemodal, memperjualbelikan pasal
suatu rancangan undang-undang, dan pada akhirnya menikam rakyat kita tepat di
jantung kehidupannya.
Pemimpin Asyik Sendiri
Tentu saja benar bahwa negeri yang kaya
sumber daya alam ini butuh para pemodal alias investor di berbagai bidang.
Sebab, bagaimanapun, investasi tidak hanya merekam tingkat pertumbuhan ekonomi,
tetapi juga sumber pendapatan negara. Namun, investasi yang malah
menyengsarakan dan mengorbankan nasib rakyat jelas melanggar konstitusi dan
tidak bermoral.
Karena itu, persoalannya bukan pada
keberadaan investasi—asing dan domestik—sebagai sumber gairah ekonomi dan
denyut nadi pembangunan. Masalahnya lebih terletak pada ketakmampuan para
pengelola negeri ini mendesain format investasi yang tidak hany prorakyat,
tetapi juga pro-kelangsungan bumi, air, ekosistem, dan segenap keragaman hayati
yang dikandungnya. Investasi sebesar apa pun tidak ada artinya apabila tidak
diabadikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat konstitusi
kita.
Akumulasi salah urus negara dan pemerintahan
seperti ini semestinya tidak berlarut-larut jika para pemimpin politik dan
wakil rakyat tak hanya pintar mengumbar pidato, janji, dan retorika politik
yang sama. Sebaliknya, juga cerdas dalam mencari, merumuskan, dan mengeksekusi
solusi yang diperlukan agar gelombang protes tidak bermuara pada anarki sosial
yang bisa saling menghancurkan.
Sudah waktunya para pemimpin politik dan
wakil rakyat berhenti ”asyik sendiri” mencari kiat dan siasat baru agar tetap
bisa berkuasa pada pemilu berikutnya. Meski hal itu sah-sah belaka, percayalah,
demokrasi yang kita raih tak ada artinya apabila hanya memfasilitasi
keleluasaan para agen kapitalisme global menguasai tanah rakyat dan akhirnya
menyengsarakan mereka di Tanah Air-nya sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar