Biarkan
ISI Tetap Institut Seni
Ima Mayasari, DOSEN KOMUNIKASI VISUAL FAKULTAS SENI RUPA DAN PROGRAM PASCASARJANA ISI
YOGYAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 30
Januari 2012
Tabiat pejabat Pemerintah Indonesia selalu
memiliki ciri suka membangun dengan menghancurkan bangunan, konsep, dan program
kerja yang dianggapnya lama.
Padahal, realitas sosialnya masih cukup signifikan
untuk dijalankan dan ditumbuhkembangkan jadi sesuatu yang lebih bermanfaat guna
menghasilkan kebermanfaatan lebih besar.
Upaya membuat kebaruan juga dilakukan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berencana mengubah bangunan, konsep,
dan program kerja lembaga pendidikan tinggi seni bernama Institut Seni
Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI). Dasar
perubahan itu konon karena berubahnya Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemdiknas) jadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
”Tahun 2012, kami akan lakukan konversi
institut yang selama ini ada. ISI akan dikonversi menjadi ISBI atau Institut
Seni dan Budaya Indonesia,” kata Mendikbud M Nuh pada Dialog Budaya dalam
Rangka Penyusunan Cetak Biru Pembangunan Nasional Kebudayaan di Jakarta, Senin,
12 Desember 2011.
Menurut M Nuh, selama ini, ISI lebih
ditekankan kepada seni, baik pertunjukan maupun lainnya. Namun, sejalan dengan
masuknya kebudayaan, kesenian tidak dapat berdiri sendiri.
Bukan
Hal Baru
Dalam laman http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/utama/ide-pendiria-2.html
berjudul ”Ide Pendirian Institut Seni dan Budaya, Bukti Keseriusan Kemdiknas”
dikabarkan sebagai berikut. Ide Mendiknas itu merupakan bagian dari keseriusan
Kemdiknas merawat kekayaan seni-budaya Indonesia.
Menurut Mendiknas, ISBI memiliki tiga peran.
Pertama, menjaga dan merawat warisan budaya. Kedua, melakukan kreasi produk
seni dan budaya dengan budaya baru. Ketiga, memperkuat hubungan antaranak
bangsa. Namun, lanjut M Nuh, ’’Jangan hanya berhenti kepada perawatan, juga
promosi atas budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur.’’ Informasi ini
diunggah ke laman tersebut pada 21 Juni 2011, jauh sebelum perubahan Kemdiknas
menjadi Kemdikbud diumumkan pada Oktober 2011.
Kalau rencana mengubah ISI menjadi ISBI hanya
berdasarkan pemikiran seperti di atas, jauh sebelum rencana tersebut mengemuka,
paling tidak ISI Yogyakarta, ISI Denpasar, dan ISI Surakarta sudah menjalankan
konsep pendidikan tinggi seni berbasis budaya, seperti termaktub dalam visi,
misi, ataupun tujuan penyelenggaraan pendidikan seni yang mereka kelola.
ISI Yogyakarta, misalnya, menggariskan tujuan
pendidikan tinggi seni untuk menghasilkan sarjana seni yang peka dan tanggap
terhadap masalah sosial budaya, secara etik, moral, dan akademik melalui
berbagai jalur dan jenjang pendidikan tinggi.
Tujuan tersebut memiliki kompetensi yang
signifikan, di antaranya mampu menciptakan dan mengekspresikan beragam gagasan
ke dalam berbagai bentuk karya seni yang dapat dipertanggungjawabkan. Mampu
mengkaji dan menganalisis fenomena seni-budaya. Mampu menyajikan karya seni
secara kreatif, inovatif, dan profesional. Mampu mengelola kegiatan seni-budaya
serta mengembangkan jiwa kewirausahaan, dan mampu mengembangkan pendidikan seni
sesuai dengan kompetensi dan jiwa zamannya.
Sementara itu, himne ISI Yogyakarta dengan
nada optimistis mengumandangkan nada dan syair berbunyi, ’’Kembangkan daya
cipta berkreasi/Tuntut ilmu dan mari berkarya/Bersatu di bawah panji
Saraswati/Bina insan seni Pancasila/Terampil dalam cita rasa junjung budaya
bangsa/Sadar dan bertanggung jawab sebagai seniman sejati.’’
ISI Surakarta, seperti dikutip dalam laman
mereka (http://www.isi-ska.ac.id/index.php/profil/visimisitujuan), mengusung
misi pendidikan tinggi seni dengan mewujudkan pendidikan seni yang bermutu,
berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Mewujudkan pusat kajian
seni-budaya Nusantara, laboratorium kekaryaan, dan produksi seni yang responsif
dan adaptif terhadap perubahan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Selain itu, untuk mewujudkan sistem
pendidikan seni yang efektif dan efisien. Mendinamisasikan kehidupan
seni-budaya dalam rangka pembentukan manusia seutuhnya. Mewujudkan pusat
informasi yang baik dan benar tentang seni-budaya, serta mewujudkan tata kelola
institusi yang profesional dan akuntabel.
Hal senada juga dikumandangkan ISI Denpasar
(lihat: http://www.isi-dps.ac.id/profile-umum). ISI Denpasar bertujuan
menciptakan dan mempresentasikan beragam gagasan ke dalam berbagai bentuk karya
seni dan mempertanggungjawabkan secara etik, moral, dan akademik. Mampu
mengkaji dan menganalisis beragam fenomena seni budaya.
Mampu menyajikan karya
seni secara kreatif, inovatif dan profesional, serta mampu mengembangkan
kewirausahaan dalam mengelola kegiatan seni dan budaya.
Administrator
Pendidikan
Jadi, kalau Kemdikbud tetap ingin mengubah
ISI menjadi ISBI, dapat dibayangkan, sistem dan kurikulumnya tidak
akan banyak berubah. Kalaupun berubah, yang terjadi, pengelola lembaga
pendidikan tinggi seni bernama ISI berubah menjadi bingung. Kebingungan
tersebut secara kasatmata terlihat dalam menyusun kurikulum, silabus dan tetek
bengek urusan administrasi pendidikan lain.
Kebingungan lain muncul akibat bingung dengan
sistem akreditasi yang berdampak pada keharusan dosen menjadi seorang
administrator pendidikan seni dan desain yang andal. Dampaknya, para dosen
terkadang harus mengesampingkan perannya sebagai seorang desainer dan seniman
yang dituntut mampu menghasilkan karya seni dan desain. Hal itu akan berakibat
pada terhambatnya proses meneliti dan menulis buku seni dan desain yang menjadi
pilihan hidupnya di dunia intelektualitas bidang seni dan desain.
Perubahan ISI menjadi ISBI akan
membingungkan kehidupan sivitas akademika terkait dengan kompetensi dan
kapasitas intelektual dosen pengajar mata kuliah yang terkadang tidak selaras
antara teori dan realitas sosial di ranah industri kreatif.
Pertanyaannya, kalau alasan mengubah ISI
menjadi ISBI seperti dipaparkan Mendikbud di atas, padahal realitas sosialnya
sebagian besar ISI di Indonesia sudah memilih dan menjalankan konsep
berkesenian yang berbudaya sejak 1984 (mengacu berdirinya ISI Yogyakarta) lewat
visi misi dan tujuan penyelenggaraan pendidikan, seyogianya rencana tersebut
ditakar ulang demi kenyamanan bersama. Dan, untuk itu, biarkan ISI tetap
menjadi Institut Seni Indonesia dengan segala lokalitas dan keunikannya
masing-masing. Bagaimana Pak Menteri? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar