Membangkitkan
Spirit Nasionalisme
Eko Sulistyo ZA, PRESIDEN ASSOCIATION OF SABER UNFOLD
PADA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SUNAN KALIJAGA
PADA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SUNAN KALIJAGA
Sumber
: SUARA KARYA, 6 Januari 2012
Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak dimenangkan.
Begitulah jargon yang dogembar-gemborkan para pahlawan terdahulu. Mereka berani
mempertaruhkan segalanya demi menebus arti sebuah kemerdekaan. Bahkan tidak
sebatas finansial yang mereka pertaruhkan, melainkan jiwa dan raga juga
disumbangkan dalam rangka melepas belenggu yang dijeratkan kolonial. Karena,
"kemerdekaan" merupakan hak setiap individu yang tidak seorang pun
berhak ikut campur atasnya. Maka, siapa pun yang berani memegang, mengidealkan
dan mengimplementasikan slogan di atas, dialah pahlawan.
Jika pahlawan merupakan individu yang memiliki jiwa patriotis atau
bersedia membela kepentingan bersama, maka sudah layakkah para pemimpin disebut
sebagai pahlawan?
Untuk menjawabnya, cukuplah dengan mengejawantahkan kata
"pertaruhan" dan "kemerdekaan". Pertaruhan yang dimaksud di
sini bukanlah pertaruhan untuk dimenangkan sendiri, melainkan pertaruhan untuk
mewujudkan cita-cita bangsa. Artinya, pahlawan adalah mereka yang secara tulus
mempertaruhkan segalanya demi tercapainya masyarakat yang bebas dari
penindasan, baik fisik maupun mental.
Namun, keikhlasan dalam berbuat tidak mungkin terealita jika masih
menafikan keberadaan "cinta". Karena, cinta merupakan alat paling
ampuh untuk menempa suatu proses, sehingga segala pertaruhan atau pengorbanan
tidak akan terasa berat jika atas dasar cinta, namun mampu mempertajam verbal
sehingga segala pagar penghadang dapat ditebas tanpa merasa berat. Namun, cinta
di sini bukanlah "cinta setengah hati". Karena, perjuangan yang
berpondasikan cinta seperti itu tidak akan mampu melewati duri-duri penghalang,
bahkan justru akan melahirkan tindakan pragmatis yang cenderung melukai
kepribadiaan, sebagaimana teroris.
Begitu juga dengan makna kemerdekaan, yang tidak sebatas bebas
dari jerat fisik. Namun, yang jauh lebih penting adalah melepaskan belenggu
mental. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara memaknai arti sebuah kemerdekaan menjadi
dua dimensi. Pertama, merdeka dari aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan).
Dalam konteks Indonesia, kemerdekaan lahiriah ini sebenarnya sudah dicapai
berpuluh-puluh tahun silam, meskipun tidak seutuhnya. Karena, kemiskinan dan
kebodohan masih menjadi isu setia diberbagai media.
Kedua, merdeka dari sudut mental (otonomi berfikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Kemerdekaan inilah yang sebenarnya
menduduki posisi tertinggi dalam memaknai sebuah kemerdekaan, karena mental
merupakan karakter atau sumber dari segala perbuatan. Jika karakter petinggi
negara ini adalah penjilat, maka segala bentuk tindakan yang meskipun terlihat
manis dan simpatik, maka sebenarnya tidak lebih dari tipu daya mereka untuk
mengelabuhi masyarakat semata. Begitu juga sebaliknya.
Terkait dengan penganaktirian pendidikan, dapat dilihat dari sikap
pemerintah terhadap para ilmuwan. Di mana, penelitian mereka sekarang tidak
menemakan kejelasan arah karena fasilitas yang tidak memungkinkan. Lebih tragis
lagi, jika dilihat dari sudut kementerian. Jika seorang profesor atau guru
besar di perguruan tinggi negeri golongan pangkat IV/E memperoleh gaji hingga
Rp 14 juta lebih per bulan, maka seorang profesor dengan goongan pangkat sama,
namun berada di lembaga non-kementerian hanya dihargai sebesar Rp 5,2 juta
beserta tunjangan. (Kompas, 26 Oktober 2011)
Tidak jauh berbeda dengan kemiskinan. Semisal, korban erupsi
Merapi yang sampai sekarang masih berteduh di hunian sementara (huntara).
Padahal, keadaan huntara jauh dari standar kelayakan pemukiman, karena
pencemaran sudah tampak jelas. Misal, sering membludaknya penampungan limbah
septic tank yang bercampur limbah cucian. Hal ini akibat minimnya penampungan
limbah, sehingga satu penampungan digunakan beberapa kepala keluarga. Maka,
jika penampungan penuh, sering kali airnya kembali dan keluar dari dalam dapur.
(Harian Jogja, 27 Oktober 2011) Data di atas merupakan cerminan bahwa jalan
yang harus ditempuh Indonesia untuk mencapai kemerdekaan fisik masih terbentang
jauh.
Jika kemerdekaan lahiriah masih belum dapat digapai, maka msutahil
kemerdekaan fisik dapat terealita, mengingat usia Indonesia yang sudah lebih
dari 66 tahun. Batin baru dapat dikatakan merdeka jika jerat fisik sudah
terlampaui. Karena, bagaimanapun juga, kemerdekaan fisik merupakan dasar atau
batu pijakan untuk merengkuh kemerdekaan batin.
Lantas di manakah ruh pemberani para pahlawan sekarang berlabuh?
Jelas di dalam pribadi rakyat. Merekalah yang patut mendapat gelar manusia
super. Karena, dengan keringat berceceran mereka tetap mendendangkan lagu
perjuangan demi menghapus tetesan air mata Ibu Pertiwi. Meski subsidi dan harga
pupuk masih menjadi perdebatan panjang di meja pembantu rakyat, mereka tetap
gigih mengelola sawah dan kebun. Sehingga mayoritas kuota pangan di Indonesia
berada di bawah kerja keras para petani. Begitu juga dengan sumber protein,
yang tidak lepas dari rasa lelah para nelayan, meski dengan perabot penangkapan
ikan ala kadarnya. Itu semua merupakan wujud dari cinta Tanah Air.
Memang, mereka tidak butuh sanjungan dan gelar manusia super,
apalagi pahlawan revolusioner. Karena, mereka benar-benar ikhlas dalam
melakukan apa yang telah menjadi kewajibannya. Namun, di sinilah sebenarnya
letak "kepahlawanan" mereka. Di mana, sanjungan dan penghormatan
tidak lagi dihiraukan. Tanpa ditagih juga tanpa berjanji, mereka telah
menyelesaikan pekerjaan. Secara tidak langsung, mereka juga meneruskan
perjuangan pahlawan di gelanggang pertempuran. Para rakyat pinggiran telah
benar-benar mampu mempertaruhkan hidupnya demi kemenangan Nusantara tercinta.
Hidup rakyat! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar