Imlek
dan Kiprah Tionghoa di Bidang Hukum
Tom Saptaatmaja, ALUMNUS SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
DAN SEKOLAH TINGGI FILSAFAT WIDYA
SASANA MALANG
Sumber : KORAN TEMPO, 21 Januari 2012
Tahun
baru Imlek 2563 jatuh pada Senin, 23 Januari 2012, kalender Masehi. Imlek kali
ini memasuki Tahun Naga Air. Karakter naga air menjernihkan dan mendinginkan,
sehingga yang bergejolak panas pada tahun lalu akan menjadi tenang di tahun
ini. Imlek semula dirayakan oleh suku bangsa yang berlatar belakang budaya
Cina, lalu menyebar ke negara-negara tetangga Cina, seperti orang Mongol,
Korea, Jepang, Vietnam, Laos, dan Kamboja.
Seiring
dengan migrasi orang-orang Cina di awal-awal Masehi, Imlek pun masuk ke
Nusantara. Bagaimana nasib perayaan Imlek di sini? Nasib Imlek tidak bisa
dilepaskan dari kooptasi negara terhadap etnis Tionghoa. Waktu dijajah Belanda,
Imlek pernah dilarang dirayakan. Dengan politik segregasi etnisnya, Belanda
takut perayaan Imlek yang meriah bisa menyulut kerusuhan berbau SARA (suku,
agama, ras, dan antargolongan) di ranah publik.
Pelarangan
Imlek adalah bukti etnis Tionghoa sungguh dimarginalkan. Etnis ini hanya
dijadikan minoritas perantara atau middlemen minority demi kepentingan
penguasa (meminjam istilah sejarawan Kwartanada dari National University di
Singapura). Peran seperti inilah yang lalu justru gampang memicu konflik SARA
karena dianggap etnis Tionghoa lebih pro pada penguasa Belanda. Lalu, pada
penjajahan Jepang, Imlek pernah menjadi hari libur resmi berdasarkan Keputusan
Osamu Seirei Nomor 26 tanggal 1 Agustus 1942. Inilah untuk pertama kali dalam
sejarah Tionghoa di Indonesia, Imlek menjadi hari libur, yaitu Imlek pada 1943
Masehi.
Pada
era Sukarno, 1945-1964, Imlek boleh dirayakan seiring dengan kebebasan yang diberikan.
Etnis Tionghoa berkiprah di banyak bidang, termasuk politik, sehingga cukup
banyak menteri berasal dari kalangan Tionghoa di era Sukarno. Namun, selama era
Soeharto, mulai Imlek 1965 hingga 1998, tahun baru yang berawal dari adat
petani di Tiongkok ini menjadi barang larangan. Akibatnya, semua kegiatan
budaya etnis ini, dari ritual keagamaan hingga adat-istiadat, tidak boleh
dilakukan di ranah publik, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
Peran
Gus Dur
Syukurlah,
lewat Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid,
Bapak Tionghoa Indonesia, mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di
segala bidang. Megawati Soekarnoputri menindaklanjuti langkah Gus Dur dengan
mengeluarkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002, yang meresmikan Imlek sebagai hari
libur nasional (Imlek resmi libur nasional mulai 2003). Bukan hanya Imlek yang
bebas dirayakan, tapi justru disediakan regulasi yang menjamin kesetaraan etnis
ini dengan warga bangsa yang lain, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan. Malah bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, 28
Oktober 2008, diresmikan Undang-Undang Antidiskriminasi Ras dan Etnis. Siapa
pun yang terbukti melakukan diskriminasi bisa diancam hukuman penjara. Ini
jelas merupakan garansi bahwa secara politik, keberadaan etnis Tionghoa setara
atau sederajat dengan anak bangsa yang lain.
Adanya
regulasi seperti itu pelan-pelan juga mulai mengakhiri apa yang oleh Leo
Suryadinata disebut sebagai "masalah Cina di Indonesia". Meski etnis
ini tidak suka menjadi masalah, kehadiran mereka ternyata kerap
dipermasalahkan. Berbagai praktek diskriminasi sungguh pernah menyulitkan etnis
ini. Karena masalah Cina ini, Orde Baru punya pendekatan khusus, seperti melarang
etnis ini berkiprah di bidang politik. Akibatnya, etnis ini lebih suka berkutat
di bidang ekonomi, dan akhirnya diberi stigma sebagai homo economicus.
Memang pernah ada Bob Hasan yang diangkat menjadi menteri menjelang runtuhnya
rezim Soeharto, tapi hal itu lebih karena unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme
serta demi melindungi kepentingan bisnis mereka.
Syukurlah,
seiring dengan reformasi 1998, kini etnis Tionghoa menikmati kebebasan,
pengakuan, dan dalam beberapa hal justru berada dalam kondisi lebih baik
dibanding beberapa suku lain di negeri ini. Meski masalah Cina ini tampak
berakhir, dalam beberapa hal masih ada diskriminasi, walau tidak separah dulu.
Praktisi hukum Frans Hendra Winarta mengakui masih ada diskriminasi di beberapa
pos pemerintahan.
Untuk
itu, Frans meminta pemerintah membuka keran atau peluang lebih luas bagi warga
keturunan Tionghoa agar mereka dapat bekerja dan berperan di lembaga
pemerintah. Jika peluang itu dibuka, penulis yakin etnis Tionghoa akan makin
terlibat lebih intens dan peduli pada setiap permasalahan bangsa ini. Kita tahu
salah satu permasalahan besar bangsa ini adalah yaitu pembusukan hukum dan
politik yang begitu menggila sehingga korupsi merajalela.
Apa
yang diungkapkan Frans di atas tidak berlebihan. Coba tengok di lembaga hukum
kita, seperti kejaksaan dan kehakiman, masih jarang ditemukan hakim atau jaksa
beretnis Tionghoa. Memang, pengacara atau advokat sudah cukup banyak yang
berdarah Tionghoa. Kita tahu penegakan atau pembengkokan hukum sungguh menjadi
masalah terbesar di negeri ini. Konyolnya, dalam konteks ini, etnis Tionghoa
justru dipersepsikan ikut berperan dalam pembusukan hukum, seperti dalam kasus
Anggodo atau yang lain. Dalam kasus Gayus juga terdengar rumor ada cukup banyak
perusahaan Tionghoa yang ikut bermain memanipulasi pajak.
Pokoknya,
ada keterlibatan sebagian pengusaha atau pebisnis beretnis Tionghoa dalam pola
patronase bisnis. Pola ini dibentuk lewat relasi politik, birokrat, dan bisnis
yang berhubungan dan sarat akan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pola semacam
ini memang khas warisan Orde Baru. Hanya, bedanya di era Orde Baru, pola yang
mengembat atau mengorup harta negara itu dilakukan di seputar Cendana saja.
Tapi, di era reformasi, pola itu menyebar dari Aceh hingga Papua. Akibatnya,
negeri ini kian disandera korupsi.
Yap
Thiam Hien
Nah,
menyikapi hal itu, ada baiknya lembaga-lembaga hukum kita dibuka lebih lebar
bagi etnis Tionghoa. Dengan adanya hakim, jaksa, polisi, atau aparat hukum
beretnis Tionghoa, siapa tahu pemberantasan korupsi di negeri ini akan lebih
efektif dan hukum benar-benar tegak. Ini lebih baik daripada kita menyewa Tony
Kwok, konsultan korupsi internasional sekaligus mantan Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Hong Kong.
Apa
alasannya? Di negeri ini kerap terdengar ajakan agar belajar memberantas
korupsi dari Cina. Mengapa harus jauh-jauh belajar ke Cina bila ada warga
Tionghoa yang secara kultural lebih dekat dengan Cina serta bisa diberdayakan?
Jika kesempatan di bidang hukum dibuka lebar-lebar, siapa tahu bisa muncul sosok-sosok
seperti Yap Thiam Hien (1913-1989). Meski tidak seperti hakim terkenal Bao
Zheng (999-1062) dari zaman Dinasti Song Utara, integritas Yap Thiam Hien
sebagai pengacara diakui, bahkan namanya diabadikan untuk penghargaan hak asasi
manusia.
Namun perlu ditekankan bahwa persoalan
pembengkokan hukum atau maraknya korupsi di negeri kita sebenarnya tidak pernah
terkait dengan etnis tertentu. Koruptor atau mafia hukum bisa dari etnis mana
pun. Bila persoalan ini direduksi ke etnisitas, malah bisa dipastikan bisa
kontraproduktif bagi keutuhan bangsa. Yang penting, dengan iklim yang kian
kondusif, jelas setiap etnis Tionghoa bersama warga bangsa lainnya ditantang
untuk menunjukkan kontribusi yang lebih positif demi Indonesia yang bisa lebih
baik bagi semua orang. Gong Xi Fa Cai 2563.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar