BUMD
Transjakarta, Mengapa Tidak
Yoga
Adiwinarto, INDONESIA COUNTRY DIRECTOR,
INSTITUTE FOR TRANSPORTATION & DEVELOPMENT
POLICY
Sumber
: KORAN TEMPO, 19 Januari 2012
Seperti
yang telah diberitakan oleh beberapa media, Pemerintah Provinsi DKI berencana mengubah
manajemen organisasi Transjakarta dari badan layanan umum (BLU) menjadi badan
usaha milik daerah (BUMD). Banyak pihak yang menginterpretasikan bahwa ini
adalah upaya membuat Transjakarta mengejar profit dan menomorduakan pelayanan,
yang jelas saja langsung dibantah oleh gubernurnya sendiri, karena tujuan
beliau mengubah organisasi Transjakarta dilakukan semata-mata demi membuat
manajemen lebih efisien dan lebih baik (Tempo Interaktif, 28 Desember
2011). Namun manajemen efisien seperti apa yang dimaksud?
Apa
pun alasan Gubernur, ada beberapa alasan untuk mendasari mengapa langkah
mengubah Transjakarta menjadi BUMD merupakan langkah jitu. Pertama, BUMD
memungkinkan bagi organisasi Transjakarta untuk bergerak memenuhi target
melayani kebutuhan pengguna (costumer oriented), ketimbang target
penyerapan anggaran dan pelaksanaan kegiatan yang selama ini menjadi penilaian
standar instansi dan satuan kerja di pemerintahan. Sebagai contoh, pimpinan
Transjakarta tidak pernah diberi penghargaan atas prestasi mereka berhasil
mengangkut lebih dari 100 juta penumpang per tahun. Namun, jika anggaran dari
APBD berhasil mereka realisasikan seluruhnya, mereka akan diacungi jempol,
meskipun jumlah penumpang yang diangkut tidak banyak-banyak amat.
Dengan
pola pikir seperti ini, seharusnya siapa pun yang bekerja menjadi pemimpin
Transjakarta cukup nyaman karena mereka tidak pernah diberi target untuk
mengangkut jumlah penumpang tertentu, sedangkan sebagian biaya produksi sudah
ditalangi oleh subsidi dari APBD, dan sisanya ditutupi oleh penjualan tiket
penumpang. Sehingga, jika estimasi jumlah penjualan tiket tidak sesuai dengan
target, yang dapat dilakukan adalah menekan biaya produksi, yang artinya jumlah
kilometer bus yang ditempuh oleh Transjakarta dapat dikurangi. Imbasnya dapat
berakibat kepada makin lamanya waktu tunggu penumpang di halte, karena bus yang
beroperasi tidak banyak.
Karena
itu, diharapkan, dengan adanya BUMD, target manajemen harus menjadi jelas,
yaitu bertambahnya jumlah penumpang yang menggunakan Transjakarta. Perkara
biaya produksi rendah atau tinggi, selama jumlah penumpang dapat melebih
target, tidak ada salahnya itu dianggap prestasi. Sebab, semakin banyak orang
yang menggunakan Transjakarta, semakin berkurang kendaraan pribadi yang
digunakan, dan semakin berkurang energi serta bahan bakar yang terbuang karena
kemacetan mulai berkurang. Dan hasil terakhir itu, menurut saya, adalah hasil
yang diinginkan oleh Gubernur, anggota DPRD, maupun kita sebagai pelaku
transportasi sehari-hari.
Praktis
vs Birokratis
Alasan
kedua mengapa BUMD diyakini dapat meningkatkan pelayanan Transjakarta erat
kaitannya dengan upaya memotong proses birokrasi panjang yang biasanya terdapat
di organisasi pemerintah. Organisasi tempat saya bekerja, ITDP, banyak membantu
Transjakarta untuk mengatasi hal-hal teknis, dari bagaimana cara mengatasi
kepadatan yang ada di halte pada jam sibuk hingga bagaimana mengatasi
permasalahan untuk menjadwalkan bus secara optimal dan terencana dengan baik.
Pada
awalnya, tantangan yang saya pikir dirasa paling berat adalah aspek teknis.
Namun, setelah melihat contoh dari berbagai sistem BRT di negara-negara lain di
dunia, semua masalah teknis pasti sudah ada solusinya di negara lain, sehingga
lama-kelamaan ada rasa percaya diri bahwa Transjakarta dapat menjadi salah satu
world-class BRT di dunia. Lima tahun berjalan membantu Transjakarta,
ternyata makin sering dijumpai kondisi halte dan juga ramp untuk menuju
halte Transjakarta dari jembatan penyeberangan dengan kondisi bolong-bolong dan
fasilitas ala kadarnya.
Terkadang,
dengan “kreativitas” tinggi, staf Transjakarta melakukan penyulapan untuk
menambal ramp yang bolong atau kaca halte yang pecah dengan plat seng
maupun tripleks, meskipun saya lebih menyukai jika mereka tidak menutup kaca
yang bolong karena saya jadi dapat merasakan angin semilir di halte. Ketika
ditanyakan kepada mereka mengapa tidak diperbaiki, ternyata prosedur yang harus
dilalui cukup panjang dan birokratis, dan dari gaya bicara staf-staf
Transjakarta, terkesan bahwa mereka lebih nyaman menambal dengan seng atau
tripleks secara darurat ketimbang harus menghadapi prosedur yang birokratis dan
melelahkan tersebut, mulai dari inventarisasi kerusakan, perencanaan anggaran
dan kegiatan, lelang untuk perbaikan, berkontrak dengan kontraktor, hingga
akhirnya, setelah 2-3 bulan sejak kerusakan timbul, barulah dimulai perbaikan
tersebut. Bandingkan dengan kecepatan waktu pengelola perbelanjaan untuk
melakukan perbaikan di gedung yang dikelolanya, mungkin 2 minggu semua yang
rusak sudah selesai diperbaiki, tanpa diperlukan mekanisme yang berbelit-belit
tersebut.
Inovasi
staf Transjakarta untuk melakukan perbaikan patut diberi apresiasi. Namun bukan
salah staf jika, dengan sistem yang terlalu birokratis, motivasi menjadi turun
dan lama-kelamaan staf menjadi apatis tanpa memikirkan pentingnya memberikan
pelayanan yang berkualitas tinggi. Jika untuk memperbaiki lubang di halte saja
dapat menimbulkan sikap apatis, bagaimana caranya memulai perbaikan untuk
mengatur penjadwalan 550 bus secara lebih optimal, yang mau tak mau diperlukan software
mutakhir, yang bisa jadi lumayan mahal sehingga harus dilakukan tender terbuka.
Jika untuk memperbaiki lubang halte saja perlu waktu lama untuk persiapannya,
entah berapa lama lagi waktu yang diperlukan untuk dapat membeli suatu software.
Masih
banyak lagi sebenarnya alasan yang dapat dijabarkan mengenai mengapa perubahan
Transjakarta menjadi BUMD adalah hal yang tepat. Namun, dari dua alasan yang
disebutkan di atas, dengan perubahan pola pikir organisasi untuk memenuhi
kebutuhan pengguna dengan mekanisme kerja yang lebih singkat, praktis, dan
tidak birokratis, setidaknya kita dapat mengharapkan organisasi Transjakarta
dapat bekerja lebih efisien, seperti yang Gubernur inginkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar