Trump
dan Kegeraman Kulit Putih
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ilmu
Politik,
Ohio State University,
Columbus, Amerika Serikat
|
KOMPAS,
17 November
2017
Menurut hasil jajak pendapat
CNN terakhir, 58 persen pemilih Amerika tidak setuju bahwa Donald Trump
sedang berhasil sebagai presiden, dan 48 persen dari kelompok itu sangat
tidak setuju. Hanya 36 persen percaya bahwa ia berhasil, angka yang terburuk
bagi seorang presiden baru dalam tahun pertamanya sejak jajak pendapat modern
dibuat pada 1936.
Angka-angka tersebut dipakai
sementara pengamat untuk menyimpulkan bahwa selama ini Trump gagal. Menurut
pandangan ini, Trump ternyata belum bisa meyakinkan pemilih bahwa ia mampu
menetapkan kebijakan-kebijakan yang tepat serta mengangkat menteri dan
pembantu yang bermutu. Lagi pula, ia membuktikan setiap hari melalui
kicauannya yang kasar dan ceplas-ceplos bahwa temperamennya tidak sesuai
dengan keperluan bangsa bagi kepemimpinan yang pintar, reflektif, dan stabil.
Kita boleh saja berharap bahwa
analisis ini benar, dan bahwa Trump tak bakal bertahan lama. Kalau tidak
dimakzulkan, pasti dikalahkan pada pemilihan presiden berikut pada tahun
2020. Namun, saya sendiri belum yakin. Hasil Pemilu Presiden 2016
mencengangkan banyak pengamat dan warga, termasuk saya. Setelah itu saya
berusaha keras untuk lebih mendalami sumber-sumber kemenangannya.
Dalam hal itu, salah satu
sumber kekuatan Trump adalah kepekaannya terhadap kegeraman orang kulit putih
kelas menengah ke bawah, terutama di kota kecil dan perdesaan, yang merasa
ditinggalkan oleh perkembangan ekonomi sejak 1990-an. Tatkala banyak pabrik
dan tambang tutup, mereka tidak siap mencari pekerjaan baru.
Jenius politik Trump adalah
kemampuannya menghubungkan kekecewaan ekonomi tersebut dengan prasangka ras,
khususnya keyakinan banyak orang putih bahwa kemunduran mereka merupakan
akibat langsung dari kemajuan orang Amerika-Afrika dan Hispanik.
Kemarahan kulit putih
Saya teringat pada keberhasilan
Trump itu, dan juga pengaruhnya yang masih besar, ketika saya baca artikel
wartawan kawakan Michael Kruse di majalah Politico terakhir. Di bawah,
kutipan panjang dari wawancaranya dengan warga Johnstown, Pennsylvania, salah
satu dari sekian banyak kota kecil yang pernah dimakmurkan oleh industri besi
dan tambang batubara, tetapi kini layu. Kruse berfokus pada kemarahan warga
putih Johnstown kepada orang Amerika-Afrika yang baru saja dipompa kicauan
Trump.
“Namun, yang paling
menjengkelkan orang Johnstown yang saya wawancarai adalah pemain National
Football League (NFL) yang berlutut ketika lagu kebangsaan dinyanyikan,
sebagai protes terhadap kekejaman polisi dan diskriminasi berdasarkan ras.
Satu warga, laki-laki keturunan Italia, mengeluh: ‘Pembanyol itu digaji
jutaan dollar per tahun, tetapi pura-pura melawan ketimpangan dan tidak mau
menghargai bendera dan lagu nasional?’
‘Anda bukan penggemar persamaan
hak?’ tanya saya. ‘Tentu penggemar, bagi orang yang berhak mendapat. Semua
nenek-moyang saya, 100 persen Italia, memang berhak. Begitu juga orang
Irlandia, Jerman, Polandia, dan yang lain. Mereka datang ke mari, kerja
keras, dan layak dihormati. Namun, semua orang tidak seperti itu. Ada yang mau diberi hadiah saja, tanpa
bekerja.’
‘Seperti pemain NFL?’
‘Nah, sebetulnya saya enggan
menjelaskan siapa mayoritas mereka.’
Seorang ibu rumah tangga
setengah baya memotong pembicaraannya. ‘Yang paling menjengkelkan kami adalah
NFL shit, kotoran NFL, ini. Kami sudah putus asa, tidak menonton lagi.’ Lalu
ia memaksa suaminya, pensiunan pelatih bola basket di SMA kota Johnstown,
untuk mengulangi apa yang baru saja diungkapkannya sebelum sang wartawan
hadir.
Sang suami kelihatan gugup,
tersenyum kecil, berdehem, lalu membantah bahwa dia baru mengatakan sesuatu.
‘Pembohong kamu,’ sentak istrinya. ‘Kan, kamu bilang bahwa mereka adalah
niggers for life, orang hitam terkutuk sepanjang masa.
‘Memang begitulah,’ sang suami
akhirnya mengiakan sambil berdesah.”
Di Amerika, semua orang tahu
bahwa nigger adalah penghinaan yang paling keras yang dapat dilemparkan
terhadap orang Amerika keturunan Afrika. Karena itu, kata itu jarang
ditemukan dalam wacana politik sehari-hari. Saya pun heran sambil kagum
melihat seorang wartawan yang cukup canggih atau cukup berjiwa antropolog
untuk menciptakan suatu suasana tempat orang yang terwawancara bersedia
mencurahkan isi hatinya seterbuka itu.
Saya mengutip panjang lebar
hasil investigasi Politico itu untuk menyampaikan sesensitif mungkin apa yang
dirasakan oleh sebagian dari masyarakat Amerika. Sebelum Pilpres 2016, kita
semua tahu bahwa ada pemilih kulit putih seperti itu, yang mau menyalahkan
orang Amerika-Afrika meski orang itu tidak bersalah. Yang kita tidak tahu adalah bahwa kelompok
itu ternyata cukup besar untuk memenangi Trump.
Apa yang akan terjadi pada
Pemilihan Legislatif 2018, ketika seluruh anggota Dewan Perwakilan dan
sepertiga anggota Senat terpilih, dan pilpres berikut pada 2020? Ada berbagai
tanda positif, termasuk pilihan gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Negara Bagian Virginia yang baru lalu, tempat banyak calon Partai Republik
kalah telak. Lagi pula, banyak pemilih mengaku terdorong ikut pemilu sebagai
tanda protes terhadap pemerintahan Trump.
Namun, saya masih bersikap
hati-hati, mengingat antara lain apa yang saya sebutkan tadi sebagai jenius
politik Trump yang amat kelihatan bukan hanya di Johnstown, Pennsylvania,
tetapi juga di seantero negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar