Kewarganegaraan
Bineka
Ahmad Suaedy ; Anggota Ombudsman RI
|
KOMPAS,
18 November
2017
Putusan Mahkamah
Konstitusi atas Nomor Perkara
97/PUU-XIV/2016 yang diumumkan 7 November 2017 mengenai kolom agama bagi
penghayat kepercayaan dalam Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 22
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 yang merupakan perubahan UU No 23/2006
tentang Administrasi Kependudukan, berimplikasi jauh bagi pelayanan publik.
Putusan itu memberi konsekuensi bagi kesetaraan penghayat kepercayaan dan
agama baik dalam konstitusi ataupun perundang-undangan.
Implikasi itu bisa dilihat
bukan hanya pada pengisian kolom agama dalam KTP elektronik (KTP-el) semata
melainkan merupakan transformasi doktrin dan praktik tentang kewarganegaraan
di Indonesia. MK memutuskan kata “agama” dalam Pasal 29 Ayat 2 bertentangan
dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak mencakup “kepercayaan”.
Dengan kata lain, kelompok penghayat kepercayaan memiliki kedudukan setara
dengan agama dalam konstitusi dan hukum.
Pada kenyataannya, meskipun
weltanschauung semboyan Bhinneka Tunggal Ika-menurut Soekarno-sudah tertanam
ribuan tahun, pada praktiknya terjadi mulur-mungkret mengikuti perubahan
politik dan rezim. Keputusan MK ini
merupakan momentum penting untuk merumuskan kembali kebinekaan dalam
penerapan kewarganegaraan Indonesia dan sejauh mungkin ditindaklanjuti dengan
sinkronisasi perundang-undangan yang ada, baik sebelum maupun sesudah
amendemen konstitusi serta transformasi kelembagaan untuk menjaminnya.
Bukan hanya pasal-pasal dalam
UU tentang Administrasi Kependudukan yang secara eksplisit diskriminatif.
Masih banyak UU dan regulasi turunannya yang lahir sebelum dan sesudah amendemen
konstitusi, masih mengandung diskriminasi terhadap kelompok tertentu,
khususnya penghayat kepercayaan. Contohnya, Pasal 30 Ayat 3 UU No 16/2004
tentang Kejaksaan mengenai Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat dan UU No 1 PNPS 1965 tentang Penodaan Agama.
Hak-hak kolektif
Kewarganegaraan bineka yang
dimaksud di sini sejajar dengan apa yang oleh Renalto Rosaldo (1994) disebut
sebagai kewarganegaraan kultural dan Will Kymlicka (1995) menyebutnya
kewarganegaraan multikultural. Yaitu, doktrin dan praktik kewarganegaraan
yang tak hanya menghormati warga negara secara individu melainkan menyertakan
di dalamnya seluruh kebudayaan dan tradisi yang melingkupinya, terutama bagi
mereka yang lemah dan minoritas yang terpinggirkan dan didiskriminasi.
Negara seyogianya menyediakan
perundang-undangan untuk melindungi budaya dan tradisi mereka serta
memperlakukan sama dalam keseluruhan bernegara. Implikasi dari jaminan dan
perlindungan itu adalah kepastian akan akses pelayanan publik bukan hanya secara
fisik, tetapi juga nonfisik, seperti keamanan dan perlindungan dari rasa
takut tanpa diskriminasi atas tradisi dan kepercayaan mereka.
Transformasi kelembagaan
Harus diakui bahwa proses
transformasi kelembagaan (Jacquest Bertrand, 2004) untuk suatu formasi baru
akomodasi hak-hak kelompok etnis, agama, ras, kedaerahan berjalan lambat, meskipun dasar-dasarnya
telah terbangun sejak reformasi 1998. Kelompok penghayat dan sekte-sekte
keagamaan minoritas boleh dibilang paling tertinggal dan alot dalam
memperoleh akomodasi dan perlindungan ini.
Hal ini disebabkan bukan hanya
karena mereka minoritas dan lemah melainkan juga karena kuatnya kelompok
pengadang yang melibatkan agama-agama arus utama dan doktrin konseptual yang
kebal kritik. Mengacu kepada pluralitas budaya, tradisi, dan agama di
Indonesia, kewarganegaraan bineka ini penting dirumuskan secara lebih luas
disertai sinkronisasi terhadap UU-UU yang masih diskriminatif serta
transformasi kelembagaan untuk mengakomodasinya.
Sebagai ilustrasi, kelompok
yang paling dulu mendapat akomodasi dalam transformasi kelembagaan era
reformasi adalah partai politik, kemudian kekuasaan daerah dengan terbitnya
UU Otonomi Daerah, serta daerah-daerah konflik vertikal, seperti Papua dan
Aceh dengan UU No 18/ 1999 yang diubah menjadi UU No 11/2006 tentang Otsus
Pemerintahan Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otsus Papua.
Kini giliran bagi kelompok
penghayat kepercayaan dan sekte-sekte agama untuk memperoleh jaminan dan
perlindungan yang sama seperti mereka. Dasar bagi keharusan transformasi
kelembagaan untuk akomodasi mereka dalam sistem kenegaraan bukan hanya pada
UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 dan Pasal 28 secara keseluruhan tentang hak-hak
asasi manusia melainkan secara khusus Pasal 18 B Ayat 1 dan 2 tentang hak-hak
keharusan pemerintah mengakui dan memfasilitasi keragaman daerah,
satuan-satuan pemerintahan lokal, serta satuan-satuan hukum adat.
Banyak aliran penghayat
kepercayaan yang inheren di dalamnya adalah tradisi budaya dan dalam waktu
yang sama struktur sosial setempat. Pelayanan publik bagi penghayat
seharusnya dilakukan tanpa syarat sehingga pemerintah tak perlu repot
menginventarisasi kelompok-kelompok, aliran, dan organisasi mereka melainkan
cukup menyediakan kelembagaan dalam suatu sistem birokrasi pada umumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar