Pengusahaan
Air
Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi
Mohamad Mova Al’Afghani ; Memperoleh PhD dalam
Hukum Air dari Universitas Dundee, UK; Penulis buku Legal Frameworks for
Transparency in Water Utilities Regulation: A Comparative Perspective
(Routledge, 2016)
|
DETIKNEWS,
14 November
2017
Lewat putusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan Undang-undang Sumber Daya Air No.7 Tahun 2004 (UU
SDA) dikenal istilah "6 prinsip dasar" yang kemudian dijadikan
patokan bagi lembaga-lembaga pemerintah dalam menyusun aturan transisi dan
rancangan undang-undang pengganti.
Keenam prinsip tersebut secara
singkatnya adalah pertama, bahwa "…pengusahaan air tidak boleh
mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air…";
kedua, "…negara harus memenuhi hak rakyat atas air"; ketiga,
"harus mengingat kelestarian lingkungan hidup…"; keempat,
"…sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak…harus dikuasai oleh negara"; kelima, "…sebagai kelanjutan
hak menguasai oleh negara…prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air
adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah"; dan
keenam, "…apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah
terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih
dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan
pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat."
Walaupun istilah 6 prinsip
dasar ini populer, sebenarnya masih terdapat beberapa ketidakjelasan atas
prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, pembatasan kelima soal BUMN/BUMD harus
diprioritaskan berhubungan erat dengan prinsip keenam soal "swasta"
yang masih bisa mengusahaakan air apabila (i) masih ada ketersediaan air,
(ii) melalui syarat-syarat tertentu dan (iii) ketat.
Soal ketersediaan air MK tidak
menjelaskan apakah hanya terkait kuantitas, kualitas atau juga berbagai
dimensi lainnya. Soal syarat-syarat tertentu dan ketat, MK juga tidak
menjelaskan apa maksud dan parameter dari "tertentu dan ketat"
tersebut.
Namun, yang paling penting
adalah siapa yang dimaksud MK dengan swasta? Apakah semua pihak yang bukan
pemerintah dan bukan perusahaan pemerintah dikategorikan sebagai swasta?
Apakah koperasi, sebagai sokoguru perekonomian Indonesia dikategorikan
sebagai swasta? Bagaimana dengan organisasi massa seperti Muhammadiyah?
Bagaimana dengan ribuan kelompok penyedia air berbasis masyarakat yang
menyediakan air di berbagai pelosok-pelosok terpencil Indonesia yang tidak
bisa dimasuki oleh PDAM; apakah mereka juga "swasta", sehingga
harus tunduk pada syarat-syarat tertentu dan ketat seperti layaknya
korporasi?
Prinsip keempat bahwa BUMN/BUMD
harus diprioritaskan secara teoretik masih menyimpan permasalahan karena
BUMN/BUMD merupakan entitas terpisah dari negara yang memiliki otonomi dan
kekayaan tersendiri dimana pemerintah tidak boleh sembarangan ikut campur
dalam rumah tangganya.
Berbagai studi di dunia
mengenai korporatisasi air justru menunjukkan bahwa banyak sekali perusahaan
negara yang berlaku seperti sektor privat: melakukan outsourcing, mem-PHK
karyawan, tidak menyambungkan layanan ke daerah yang kurang menguntungkan,
dan memutus sambungan orang yang tidak mampu membayar. Dengan demikian, belum
ada jaminan sebenarnya apabila air dikuasai BUMN/BUMD maka otomatis akan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Perlu dikaji lebih
lanjut bentuk BUMN/BUMD yang tidak berorientasi pada keuntungan dan fokus
pada pelayanan.
Penguasaan negara juga perlu
dibedakan konteksnya dalam hal air ledeng (perpipaan) dengan non-air ledeng.
Dalam hal air ledeng, derajat penguasaan negara mutlak harus tinggi karena
alasan monopoli alamiah. Air ledeng adalah monopoli karena dalam satu daerah
hanya ada satu penjual air. Kondisi konsumen dalam industri ini lemah karena
tidak punya pilihan kecuali membeli air tersebut berapapun harganya. Wajar
apabila dalam konteks ini, negara memprioritaskan BUMN/BUMD.
Di luar air ledeng, konteks
penguasaan negara sebenarnya berbeda. Apakah mungkin apabila hanya BUMN/BUMD
saja yang boleh mengusahakan air (di luar konteks air ledeng)? Hal ini tidak
mungkin sebab hampir semua sektor industri kecuali jasa akan banyak menggunakan
air. Bisnis cuci kendaraan, binatu, tekstil, perkebunan, air dalam kemasan,
kedai kopi, rumah makan, peternakan dan sebagainya membutuhkan air. Kalau air
hanya boleh dikuasai BUMN/BUMD, maka semua industri tersebut hanya boleh
disediakan oleh BUMN/BUMD.
Oleh karena itu, konteks
penguasaan negara dalam pengusahaan air di luar air ledeng sebenarnya lebih
terletak kepada prioritas alokasi air. Air untuk kebutuhan sehari-hari, baik
yang diperoleh langsung dari sumber alami maupun air baku untuk air minum
seharusnya mendapat prioritas tertinggi. Di bawah itu, barulah air untuk
pertanian rakyat dan industri kecil, air untuk kebutuhan BUMN/BUMD selain air
minum serta air untuk kebutuhan swasta.
Selain skala prioritas, yang
harus dipikirkan dalam alokasi air adalah foootprint-nya. Satu semikonduktor
berukuran 30 cm membutuhkan sekitar 8300 liter air. Sementara itu, untuk 1 kg
daging sapi dibutuhkan 15415 liter, sedangkan untuk 1 liter air dalam kemasan
dibutuhkan 1,39 liter air. Maka dari itu, tidak tepat untuk sekedar
memprioritaskan air kepada BUMN/BUMD, melainkan harus dievaluasi dulu jenis
industrinya. Industri kecil dan industri rumah tangga, walaupun dikategorikan
sebagai "swasta" seharusnya tetap diprioritaskan apabila
footprint-nya tidak besar.
Terakhir, definisi
"pengusahaan" dalam Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air harus
dikaji benar-benar. Aspek keuntungan tidak cukup untuk mendefinisikan
pengusahaan. Industri rumah tangga seperti jamu keliling atau warung kopi
memang tidak dapat dikategorikan untuk kebutuhan sehari-hari, namun
seyogyanya jangan sampai dikenakan izin pengusahaan hanya semata-mata penjual
mengambil keuntungan. Selain keuntungan, aspek lain yang harus
dipertimbangkan dalam mendefinisikan pengusahaan adalah volume, jenis dan skala
industri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar