Pancasila
Sumber Norma
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 10 November 2017
SERING ditanyakan, “Apakah
kalau kita melanggar Pancasila bisa dijatuhi sanksi atau dihukum?”
Jawabannya, jika yang dimaksud dihukum itu adalah dipenjarakan maka orang
yang melanggar Pancasila belum tentu bisa dihukum.
Yang bisa dihukum itu adalah
mereka yang melanggar nilai-nilai Pancasila yang sudah dituangkan ke dalam
undang-undang (UU) sebagai norma hukum. Namun, pelanggaran atas nilai-nilai
Pancasila yang belum menjadi norma hukum bisa dijatuhi sanksi lain yang
bersifat otonom. Jadi, sanksi atas pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila
bergantung pada penuangan nilai-nilai tersebut ke dalam jenis norma.
Penuangan Pancasila ke dalam
norma itu pun bergantung pada fungsi Pancasila itu akan dilihat sebagai apa;
apakah akan dilihat Pancasila sebagai dasar negara atau selain sebagai dasar
negara. Pancasila itu kan mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai dasar negara
dan selain sebagai dasar negara.
Pancasila sebagai dasar negara
melahirkan hukum-hukum yang tersusun secara hierarkis sebagai peraturan perundang-undangan
mulai UUD, Tap MPR, UU/perppu, PP, perpres, perda provinsi, hingga perda
kabupaten/kota.
Adapun Pancasila selain sebagai
dasar negara, menjadi sumber pedoman perilaku yang tidak berbentuk hukum,
tetapi berupa norma-norma lain yakni norma-norma agama, norma kesusilaan, dan
norma kesopanan. Norma-norma yang bukan hukum atau belum menjadi hukum itu
pada umumnya disebut moral dan etika.
Perbedaan pokok antara norma
hukum dan nonhukum terletak pada cara pemberlakuannya. Kalau hukum adalah norma
atau pedoman tingkah lalu yang ditetapkan secara resmi keberlakuannya oleh
lembaga yang berwenang, sedangkan norma-norma selain hukum adalah pedoman
tingkah laku yang keberlakuannya tidak atau belum ditetapkan oleh negara
tetapi secara umum ditaati.
Dalam hubungan gradual antara
norma hukum dan norma-norma nonhukum tersebut maka norma hukum penegakannya
bisa dipaksakan melalui sanksi heteronom, yakni dilakukan oleh kekuatan
negara. Sementara norma-norma lain yang bukan hukum, penegakannya hanya berdasar
pada kesadaran pribadi dengan sanksi otonom yakni sanksi yang datang dari
hati nurani masing-masing pelaku, misalnya rasa berdosa, rasa malu, rasa
takut terkena karma.
Dengan demikian, hukum-hukum
agama tidak bisa dipaksakan keberlakuannya oleh negara sebelum norma agama
tersebut disahkan keberlakuannya menjadi hukum. Fatwa agama atau kewajiban
dan larangan agama yang disebut fikih, misalnya, tidak bisa ditegakkan oleh
aparat penegak hukum negara. Orang Islam yang tidak membayar zakat, misalnya,
tidak bisa dihukum dan dipaksa oleh negara untuk memenuhinya, tetapi orang
yang tidak membayar pajak bisa dipaksa oleh negara untuk memenuhinya dengan
ancaman hukuman.
Meskipun begitu harus diingat,
norma-norma yang bukan hukum yakni moral dan etika itu tetaplah penting,
bahkan bisa dikatakan lebih penting daripada hukum, karena ia menjadi sumber
hukum materiil atau bahan pembuatan hukum. Sumber hukum materiil seperti
ajaran agama, kesusilaan, dan kesopanan memang belum tentu menjadi hukum itu
sendiri. Norma-norma itu baru menjadi norma hukum jika sudah disahkan
keberlakuannya oleh negara, selebihnya hanya menjadi nilai etik dan moral.
Ada kesimpulan penting dari
uraian di atas, yakni hukum nasional kita yang disahkan keberlakuannya oleh
negara merupakan produk eklektisasi (pencampuran) dari berbagai sumber hukum
materiil yang ditetapkan keberlakuannya oleh negara. Hukum yang merupakan
produk eklektisasi dari sumber materiil seperti dari agama-agama, budaya, dan
sebagainya itulah yang menjadi hukum nasional sebagai hukum bersama.
Masalah yang sedang menjangkiti
bangsa kita belakangan ini adalah sering kalinya terjadi pelanggaran hukum
dan pelanggaran etika dan moral, namun pelakunya tampak tidak merasa
bersalah. Hukum sering kali dilepaskan dari sukmanya, yakni moral dan etika
yang merupakan pedoman nilai-nilai dari norma-norma yang belum menjadi hukum
itu sendiri.
Dalam realitas kehidupan kita,
banyak orang melanggar moral dan etika tetapi merasa atau tidak mau mengakui
kesalahannya hanya karena norma yang dilanggarnya belum menjadi hukum. Banyak
juga orang yang secara moral, etik, dan public common sense telah melakukan
korupsi, tetapi karena kasusnya secara hukum tidak atau belum diputus oleh
pengadilan maka mereka merasa dan mengaku tidak bersalah dengan muka badak.
Itu terjadi karena hukum
dilepaskan dari sukmanya sehingga hukum dan etika serta moral diperlakukan
sebagai hal berdiri sendiri-sendiri. Banyak tokoh kita yang sebenarnya sudah
cacat moral, tetapi tetap bergeming bahwa dirinya tidak bersalah karena belum
ada putusan pengadilan atau karena yang dilanggarnya belum disahkan sebagai
hukum.
Itulah sebabnya pada tahun
2001, MPR mengeluarkan dua Ketetapan MPR yang masih berlaku sampai sekarang,
yakni Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan
Ketetapan MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Menurut Tap MPR No VI/MPR/2001,
pejabat publik yang bersalah secara etik dan moral sehingga mendapat sorotan
negatif dari publik harus bersedia mengundurkan diri jabatannya tanpa harus
menunggu vonis pengadilan.
Dan menurut Tap MPR No
VIII/MPR/2001, pegawai negeri sipil yang terlibat dalam kasus hukum bisa
dikenakan tindakan administratif atau dijatuhi sanksi disiplin sebelum
kasusnya diputus oleh pengadilan. Namun, kedua Tap MPR yang masih sah berlaku
ini tidak pernah dilirik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar