Awas
Blok Mahakam!
Marwan Batubara ; Direktur Eksekutif IRESS
|
KORAN
SINDO, 10 November 2017
TERHITUNG sejak 1 Januari 2018,
Pertamina akan resmi menjadi operator Blok Mahakam. Penunjukan Pertamina
terjadi setelah adanya gerakan advokasi panjang oleh banyak tokoh, aktivis,
serikat-serikat pekerja, ormas-ormas, dan badan eksekutif mahasiswa sejak 2010-an.
Sebelumnya sikap pejabat-pejabat Kementrian ESDM, terutama Jero Wacik dan
Rudi Rubiandini, memang lebih mendukung perusahaan asing, Total dan Inpex,
untuk melanjutkan pengelolaan Mahakam dibanding Pertamina.
Namun kita bersyukur, pada 2015
Menteri ESDM, Sudirman Said akhirnya menetapkan perusahaan bangsa sendirilah,
Pertamina, yang akan menjadi operator Blok Mahakam. Saat itu Sudirman masih
memberi kesempatan kepada Total dan Inpex untuk membeli 30% saham Pertamina
di Blok Mahakam.
Ternyata persoalan belum
selesai. Menteri ESDM pengganti Sudirman Said, yakni Ignatius Jonan bersama
Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan, menginginkan agar saham Pertamina yang
di-share-down kepada Total dan Inpex
dinaikkan menjadi 39%. Selain itu, biaya yang harus dibayarkan Total dan
Inpex kepada Pertamina pun belum jelas. Padahal waktu tersisa untuk
pengalihan operasi tinggal 2 bulan. Hal-hal ini dapat saja mengganggu
kelancaran produksi migas dan berpotensi menimbulkan kerugian negara,
terutama karena potensi moral hazrad /KKN akibat "penyembunyian"
besarnya cadangan terbukti dan aset produksi di Blok Mahakam. Publik harus
memahami dan mengawal proses ini!
Hingga Sudirman digantikan
Jonan, Total dan Inpex dengan arogan tidak pernah menyatakan kesediaan
menerima tawaran share-down 30% saham
Pertamina. Di sisi lain, karena merasa seolah-olah "punya kekuatan
ekstra", Total justru meminta untuk menguasai 39% saham Blok Mahakam.
Ternyata di luar dugaan, entah karena pertimbangan apa, Luhut dan Jonan memang berkenan meluluskan
permintaan kedua perusahaan asing tersebut. Ternaya pula, Jonan pun pernah
"mencoba-coba" mengusulkan agar Total kembali ditunjuk menjadi
operator Mahakam pada Maret 2017 yang lalu.
Guna meningkatkan nilai
share-down Blok Mahakam menjadi 39%, Pertamina
mengaku tidak berwewenang, dan karena itu berharap segera menerima SK dari
Menteri ESDM. Dirut Pertamina Elia M Manik mengatakan: "Jika di atas itu
(30%) maka ranahnya bukan lagi ada di kami. Sewaktu saya join (diangkat
menjadi dirut), kebetulan ini sudah dibicarakan dengan Pak Menteri. Instruksi
ini pun sampai sekarang masih 30%. Jadi naik atau tidaknya share-down menjadi urusan ESDM", kata Manik di
Ruang Rapat Komisi VII, Jakarta, Selasa (6/6/2017). Hingga saat ini publik
belum memperoleh informasi terbuka dari Menteri ESDM perihal rencana penaikan
share-down saham Pertamina menjadi
39%. Berdasarkan informasi yang diperoleh IRESS, justru Kementerian ESDM-lah
yang meminta Pertamina segera mengajukan permohonan kepada pemerintah agar
diberi izin melakukan share-down 39%.
Di sini, tertangkap kesan adanya oknum penguasa yang bersikap "lempar
batu sembunyi tangan".
Terkait hal di atas, IRESS
meminta Kementrian ESDM bersikap konsisten. Jika pada Januari 2015 Sudirman
Said sudah memutuskan share-down hanya
30%, mengapa sekarang harus diubah menjadi 39%? Mengapa pula Jonan dan Luhut
bertindak seolah mewakili Total yang semula tidak pernah menggubris surat
Sudirman Said? Selain itu, walaupun permintaan tersebut harus dipenuhi,
mengapa Menteri ESDM tidak secara terbuka menulis SK kepada Pertamina
melakukan share-down 39% tanpa taktik
"lempar batu sembunyi tangan"?
Pada 1 Januari 2018, akan genap
setengah abad Total dan Inpex menguras Mahakam. Untuk dominasi pengelolaan
asing yang tidak menyertakan 1% pun saham BUMN tersebut, keduanya telah
menikmati keuntungan lebih dari USD40 miliar. Makin besar saham yang
dikuasai, maka makin besar potensi keuntungan yang diperoleh.
Dengan berpindahnya peran
pengelolaan kepada Pertamina dengan porsi saham yang besar, terbuka
kesempatan untuk meraih untung lebih besar. Status Pertamina pun akan meningkat
menjadi produsen terbesar migas nasional. Karena itu, menjadi tanda
tanya besar jika ada pejabat pemerintah yang justru lebih senang membiarkan
asing memiliki saham besar (39%) di Blok Mahakam.
Besarnya biaya yang harus
dibayar kontraktor dalam akuisisi suatu blok migas secara umum tergantung
pada besarnya cadangan terbukti yang tersedia dan nilai aset produksi yang
telah beroperasi. Untuk itu, pemerintah (ESDM dan SKK) perlu membuka kepada
publik besarnya nilai kedua aset tersebut, setelah dilakukannya assessment
oleh lembaga independen (untuk aset cadangan terbukti) dan audit oleh
BPK/auditor independen (untuk aset produksi). Makin besar nilai aset cadangan
dan aset produksi, maka makin besar pula biaya yang harus dibayar Total dan
Inpex kepada Pertamina untuk akuisisi saham tersebut.
Masalahnya, besar nilai kedua
jenis aset tersebut belum pernah diumumkan pemerintah. Padahal, hal ini
adalah kewajiban KESDM, terutama dalam rangka menjalankan prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik. Di sisi lain, atas dasar nilai aset yang tidak
terbuka atau tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh oknum pemburu rente,
maka proses akuisisi atau share-down
saham Pertamina sangat potensial dimanipulasi dan dikorupsi!
Karena itu, sertifikasi
cadangan dan audit aset produksi oleh lembaga independen, harus segera
dilakukan.
SKK Migas memperkirakan pada
2017, sisa cadangan Blok Mahakam adalah 131 juta barel minyak dan 3,8 TCF
gas. Adapun pakar migas Eddy Purwanto pernah mengatakan cadangan gas Blok
Mahakam pada akhir 2017 masih sekitar 8 TCF dan dapat bertambah menjadi
10-12,5 TCF jika dilakukan eksplorasi lebih lanjut (Purwanto, 2011). Terlepas
dari range cadangan terbukti yang
cukup lebar, jika diasumsikan cadangan terbukti gas "hanya" 6 TCF
dan minyak 100 juta barel, serta harga gas USD8/mmBtu dan minyak USD60/barel.
Karena itu nilai 100% aset cadangan Mahakam adalah USD54 miliar.
Jika diasumsikan nilai akuisisi
cadangan terbukti adalah 15% terhadap harga pasar minyak dan gas (Ernst &
Young, 2012), maka biaya akuisisi 100% saham Mahakam adalah 15% x USD54
miliar = USD8,1 miliar. Jika Total dan Inpex mengakuisisi 30% saham Mahakam,
biaya yang harus dibayarkan kepada Pertamina khusus untuk aset cadangan terbukti
adalah 30% x USD8,1 miliar = USD2,43 miliar.
Saat ini Blok Mahakam telah
berproduksi dan memiliki aset produksi bernilai miliaran USD. Pada 1 Januari
2018, 100% aset produksi ini menjadi milik Pertamina karena seluruh biaya
investasi telah dipulihkan kepada Total dan Inpex melalui mekanisme cost
recovery dengan skema depresiasi
dipercepat.
Oleh sebab itu, nilai aset
produksi ini harus dihitung pula secara cermat, untuk kemudian dibayar oleh
Total dan Inpex sesuai besar saham yang diakuisisi. IRESS memperkirakan nilai
akuisisi aset produksi yang harus dibayar kedua kontraktor minimal USD1
miliar. Dengan demikian, total biaya yang harus dibayar oleh Total dan Inpex
untuk akuisisi 30% saham Mahakam adalah: USD2,43 miliar (aset cadangan) +
USD1 miliar (aset produksi) = USD3,43 miliar.
Kita tidak tahu berapa biaya
yang akhirnya akan dibayarkan Total dan Inpex kepada Pertamina. Biaya
tersebut seharusnya bukan sekadar signatory bonus USD100 juta-200 juta seperti diinginkan
kedua perusahaan asing. Sejalan dengan itu, kita pun sangat khawatir ada
oknum pejabat negara yang sengaja menyembunyikan atau menyatakan bahwa nilai
kedua aset lebih rendah dari semestinya.
Hal ini dilakukan terutama guna
mengakomodasi kepentingan asing dan untuk membuka kesempatan mengorupsi uang
negara secara leluasa. Potensi terjadinya KKN dalam proses share-down saham Pertamina di Blok Mahakam cukup
besar. Kerakusan, moral hazard , perburuan rente, dan upaya memupuk dana guna
logistik Pemilu 2019 oleh oknum tertentu akan menjadi pendorong terjadinya
KKN tersebut.
Oleh sebab itu, IRESS meminta
KPK dan DPR RI ikut memantau dan jika perlu, terlibat aktif mengawal proses
penyelesaian transfer saham tersebut dalam 2 bulan ke depan. Sebaliknya, demi
menghilangkan prasangka buruk, IRESS pun meminta agar Kementerian ESDM dan
Kementrian BUMN mengundang KPK dan BPK terlibat aktif mengawal secara
bersama-sama proses negosiasi yang sedang berlangsung antara Pertamina dengan
Total & Inpex.
Terakhir, IRESS ingin
menyampaikan kepada Presiden Jokowi tentang potensi KKN dalam proses akuisisi
saham Blok Mahakam. Karena itu Presiden Jokowi diminta untuk membuktikan
konsistensi sikap antikorupsi yang terus-menerus disuarakan, bahwa dalam
Kabinet Kerja RI saat ini, tindak pidana korupsi dalam proses transfer saham
Blok Mahakam tidak akan pernah terjadi.
Sebagai bangsa yang bermartabat
dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip bisnis yang bermoral, pemerintah perlu
menunjukkan sikap "satu kata dengan perbuatan" dan semua bentuk
tawaran atau upaya suap-menyuap yang dilakukan oleh oknum-oknum asing dan
anteknya tidak akan mendapat tempat dalam pemerintahan Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar