Jumat, 17 November 2017

Awas Blok Mahakam!

Awas Blok Mahakam!
Marwan Batubara ;  Direktur Eksekutif IRESS
                                              KORAN SINDO, 10 November 2017



                                                           
TERHITUNG sejak 1 Januari 2018, Pertamina akan resmi menjadi operator Blok Mahakam. Penunjukan Pertamina terjadi setelah adanya gerakan advokasi panjang oleh banyak tokoh, aktivis, serikat-serikat pekerja, ormas-ormas, dan badan eksekutif mahasiswa sejak 2010-an. Sebelumnya sikap pejabat-pejabat Kementrian ESDM, terutama Jero Wacik dan Rudi Rubiandini, memang lebih mendukung perusahaan asing, Total dan Inpex, untuk melanjutkan pengelolaan Mahakam dibanding Pertamina.

Namun kita bersyukur, pada 2015 Menteri ESDM, Sudirman Said akhirnya menetapkan perusahaan bangsa sendirilah, Pertamina, yang akan menjadi operator Blok Mahakam. Saat itu Sudirman masih memberi kesempatan kepada Total dan Inpex untuk membeli 30% saham Pertamina di Blok Mahakam.

Ternyata persoalan belum selesai. Menteri ESDM pengganti Sudirman Said, yakni Ignatius Jonan bersama Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan, menginginkan agar saham Pertamina yang di-share-down  kepada Total dan Inpex dinaikkan menjadi 39%. Selain itu, biaya yang harus dibayarkan Total dan Inpex kepada Pertamina pun belum jelas. Padahal waktu tersisa untuk pengalihan operasi tinggal 2 bulan. Hal-hal ini dapat saja mengganggu kelancaran produksi migas dan berpotensi menimbulkan kerugian negara, terutama karena potensi moral hazrad /KKN akibat "penyembunyian" besarnya cadangan terbukti dan aset produksi di Blok Mahakam. Publik harus memahami dan mengawal proses ini!

Hingga Sudirman digantikan Jonan, Total dan Inpex dengan arogan tidak pernah menyatakan kesediaan menerima tawaran share-down  30% saham Pertamina. Di sisi lain, karena merasa seolah-olah "punya kekuatan ekstra", Total justru meminta untuk menguasai 39% saham Blok Mahakam. Ternyata di luar dugaan, entah karena pertimbangan apa,  Luhut dan Jonan memang berkenan meluluskan permintaan kedua perusahaan asing tersebut. Ternaya pula, Jonan pun pernah "mencoba-coba" mengusulkan agar Total kembali ditunjuk menjadi operator Mahakam pada Maret 2017 yang lalu.

Guna meningkatkan nilai share-down  Blok Mahakam menjadi 39%, Pertamina mengaku tidak berwewenang, dan karena itu berharap segera menerima SK dari Menteri ESDM. Dirut Pertamina Elia M Manik mengatakan: "Jika di atas itu (30%) maka ranahnya bukan lagi ada di kami. Sewaktu saya join (diangkat menjadi dirut), kebetulan ini sudah dibicarakan dengan Pak Menteri. Instruksi ini pun sampai sekarang masih 30%. Jadi naik atau tidaknya share-down  menjadi urusan ESDM", kata Manik di Ruang Rapat Komisi VII, Jakarta, Selasa (6/6/2017). Hingga saat ini publik belum memperoleh informasi terbuka dari Menteri ESDM perihal rencana penaikan share-down  saham Pertamina menjadi 39%. Berdasarkan informasi yang diperoleh IRESS, justru Kementerian ESDM-lah yang meminta Pertamina segera mengajukan permohonan kepada pemerintah agar diberi izin melakukan share-down  39%. Di sini, tertangkap kesan adanya oknum penguasa yang bersikap "lempar batu sembunyi tangan".

Terkait hal di atas, IRESS meminta Kementrian ESDM bersikap konsisten. Jika pada Januari 2015 Sudirman Said sudah memutuskan share-down  hanya 30%, mengapa sekarang harus diubah menjadi 39%? Mengapa pula Jonan dan Luhut bertindak seolah mewakili Total yang semula tidak pernah menggubris surat Sudirman Said? Selain itu, walaupun permintaan tersebut harus dipenuhi, mengapa Menteri ESDM tidak secara terbuka menulis SK kepada Pertamina melakukan share-down  39% tanpa taktik "lempar batu sembunyi tangan"?

Pada 1 Januari 2018, akan genap setengah abad Total dan Inpex menguras Mahakam. Untuk dominasi pengelolaan asing yang tidak menyertakan 1% pun saham BUMN tersebut, keduanya telah menikmati keuntungan lebih dari USD40 miliar. Makin besar saham yang dikuasai, maka makin besar potensi keuntungan yang diperoleh.

Dengan berpindahnya peran pengelolaan kepada Pertamina dengan porsi saham yang besar, terbuka kesempatan untuk meraih untung lebih besar. Status Pertamina pun akan  meningkat  menjadi produsen terbesar migas nasional. Karena itu, menjadi tanda tanya besar jika ada pejabat pemerintah yang justru lebih senang membiarkan asing memiliki saham besar (39%) di Blok Mahakam.

Besarnya biaya yang harus dibayar kontraktor dalam akuisisi suatu blok migas secara umum tergantung pada besarnya cadangan terbukti yang tersedia dan nilai aset produksi yang telah beroperasi. Untuk itu, pemerintah (ESDM dan SKK) perlu membuka kepada publik besarnya nilai kedua aset tersebut, setelah dilakukannya assessment oleh lembaga independen (untuk aset cadangan terbukti) dan audit oleh BPK/auditor independen (untuk aset produksi). Makin besar nilai aset cadangan dan aset produksi, maka makin besar pula biaya yang harus dibayar Total dan Inpex kepada Pertamina untuk akuisisi saham tersebut.

Masalahnya, besar nilai kedua jenis aset tersebut belum pernah diumumkan pemerintah. Padahal, hal ini adalah kewajiban KESDM, terutama dalam rangka menjalankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Di sisi lain, atas dasar nilai aset yang tidak terbuka atau tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh oknum pemburu rente, maka proses akuisisi atau share-down  saham Pertamina sangat potensial dimanipulasi dan dikorupsi!

Karena itu, sertifikasi cadangan dan audit aset produksi oleh lembaga independen, harus segera dilakukan.
SKK Migas memperkirakan pada 2017, sisa cadangan Blok Mahakam adalah 131 juta barel minyak dan 3,8 TCF gas. Adapun pakar migas Eddy Purwanto pernah mengatakan cadangan gas Blok Mahakam pada akhir 2017 masih sekitar 8 TCF dan dapat bertambah menjadi 10-12,5 TCF jika dilakukan eksplorasi lebih lanjut (Purwanto, 2011). Terlepas dari range  cadangan terbukti yang cukup lebar, jika diasumsikan cadangan terbukti gas "hanya" 6 TCF dan minyak 100 juta barel, serta harga gas USD8/mmBtu dan minyak USD60/barel. Karena itu nilai 100% aset cadangan Mahakam adalah USD54 miliar.

Jika diasumsikan nilai akuisisi cadangan terbukti adalah 15% terhadap harga pasar minyak dan gas (Ernst & Young, 2012), maka biaya akuisisi 100% saham Mahakam adalah 15% x USD54 miliar = USD8,1 miliar. Jika Total dan Inpex mengakuisisi 30% saham Mahakam, biaya yang harus dibayarkan kepada Pertamina khusus untuk aset cadangan terbukti adalah 30% x USD8,1 miliar = USD2,43 miliar.

Saat ini Blok Mahakam telah berproduksi dan memiliki aset produksi bernilai miliaran USD. Pada 1 Januari 2018, 100% aset produksi ini menjadi milik Pertamina karena seluruh biaya investasi telah dipulihkan kepada Total dan Inpex melalui mekanisme cost recovery  dengan skema depresiasi dipercepat.

Oleh sebab itu, nilai aset produksi ini harus dihitung pula secara cermat, untuk kemudian dibayar oleh Total dan Inpex sesuai besar saham yang diakuisisi. IRESS memperkirakan nilai akuisisi aset produksi yang harus dibayar kedua kontraktor minimal USD1 miliar. Dengan demikian, total biaya yang harus dibayar oleh Total dan Inpex untuk akuisisi 30% saham Mahakam adalah: USD2,43 miliar (aset cadangan) + USD1 miliar (aset produksi) = USD3,43 miliar.

Kita tidak tahu berapa biaya yang akhirnya akan dibayarkan Total dan Inpex kepada Pertamina. Biaya tersebut seharusnya bukan sekadar signatory bonus  USD100 juta-200 juta seperti diinginkan kedua perusahaan asing. Sejalan dengan itu, kita pun sangat khawatir ada oknum pejabat negara yang sengaja menyembunyikan atau menyatakan bahwa nilai kedua aset lebih rendah dari semestinya.

Hal ini dilakukan terutama guna mengakomodasi kepentingan asing dan untuk membuka kesempatan mengorupsi uang negara secara leluasa. Potensi terjadinya KKN dalam proses share-down  saham Pertamina di Blok Mahakam cukup besar. Kerakusan, moral hazard , perburuan rente, dan upaya memupuk dana guna logistik Pemilu 2019 oleh oknum tertentu akan menjadi pendorong terjadinya KKN tersebut.

Oleh sebab itu, IRESS meminta KPK dan DPR RI ikut memantau dan jika perlu, terlibat aktif mengawal proses penyelesaian transfer saham tersebut dalam 2 bulan ke depan. Sebaliknya, demi menghilangkan prasangka buruk, IRESS pun meminta agar Kementerian ESDM dan Kementrian BUMN mengundang KPK dan BPK terlibat aktif mengawal secara bersama-sama proses negosiasi yang sedang berlangsung antara Pertamina dengan Total & Inpex.

Terakhir, IRESS ingin menyampaikan kepada Presiden Jokowi tentang potensi KKN dalam proses akuisisi saham Blok Mahakam. Karena itu Presiden Jokowi diminta untuk membuktikan konsistensi sikap antikorupsi yang terus-menerus disuarakan, bahwa dalam Kabinet Kerja RI saat ini, tindak pidana korupsi dalam proses transfer saham Blok Mahakam tidak akan pernah terjadi.

Sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip bisnis yang bermoral, pemerintah perlu menunjukkan sikap "satu kata dengan perbuatan" dan semua bentuk tawaran atau upaya suap-menyuap yang dilakukan oleh oknum-oknum asing dan anteknya tidak akan mendapat tempat dalam pemerintahan Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar