Kamis, 16 November 2017

Nasib Gamang Industri Pupuk

Nasib Gamang Industri Pupuk
Tjipta Lesmana ;  Mantan anggota Pokja Ketahanan Nasional Lemhannas
                                                   JAWA POS, 08 November 2017



                                                           
PUPUK palsu, diam-diam, makin marak beredar di masyarakat, khususnya di kalangan petani. Pada 23 Oktober lalu, polisi menggerebek pabrik pupuk palsu di Burangkeng, Bekasi. Dalam operasi tersebut, polisi menemukan 100 ton pupuk palsu.

Tiga pekan sebelumnya, polisi juga membongkar industri pupuk palsu di Sukaraja, Sukabumi. Pelaku mengaku sudah setahun lebih memproduksi pupuk palsu tersebut. Setiap bulan tidak kurang dari 1,5 hingga 2 ton pupuk palsu yang diproduksi dan dipasarkan di Lembang, Bandung.

Akhir Februari 2017, polisi membongkar jaringan penjual pupuk palsu di Jawa Barat. Empat pelaku yang mendistribusikan 300 ton pupuk palsu tiap bulan berhasil diciduk polisi. Menurut Direktur Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian Muhrizal Sarwani, para pelaku dapat meraup keuntungan hingga Rp 3,6 miliar per tahun.

Anda tahu dari bahan apa pupuk palsu itu diproduksi? ’’Hanya tanah, kapur, dan pewarna pakaian yang kemudian dicampur dengan menggunakan mesin.......’’ ucap salah satu pelaku.

Yang lebih hebat lagi, sebuah perusahaan di Cianjur, PT HJ, mengaku sudah berbisnis pupuk palsu sejak 2010 ketika pada Maret lalu digerebek anggota Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim. Di sana ada sekitar delapan gudang dan tiga pabrik pupuk palsu. Setiap hari PT HJ menjual sekitar 10 ton pupuk palsu. Pupuk anorganik yang dipalsukan adalah NPK, Greenhill, NK Gurita, SP Banteng, dan NK Dunia Flora. Bahan baku yang dipakai untuk membuat beragam pupuk tersebut antara lain garam, pewarna, dan kapur pertanian.

Mengapa Merajalela?

Hukum permintaan dan penawaran berbicara. Sebagian petani memang terpaksa harus membeli pupuk ’’tidak resmi’’. Anehnya, harga ’’pupuk tidak resmi’’ itu lebih murah. Yang dimaksud ’’pupuk tidak resmi’’ adalah pupuk bukan produksi industri-industri pupuk yang semuanya milik BUMN, seperti Pupuk Kujang, Pupuk Sriwijaya, Pupuk Kaltim, dan Petrokimia Gresik. Pupuk tidak resmi adalah yang berasal dari impor dan/atau pupuk palsu tadi.

Mengapa kerap terjadi kelangkaan pupuk di pasar? Lima atau enam industri pupuk BUMN di bawah PT Pupuk Indonesia memproduksi sekitar 13 juta ton pupuk. Kebutuhan petani 12 juta ton. Semestinya ada surplus sekitar 1 juta ton. Masalahnya, total pupuk yang disalurkan ke sektor PSO hanya sekitar 9,5 juta ton. Sebab, jumlah itulah yang disediakan subsidinya oleh pemerintah.

Faktor kedua adalah harga pupuk produksi BUMN kita relatif lebih mahal. Mengapa mahal? Itu karena harga gas untuk memproduksi pupuk juga tinggi. Kebutuhan gas hampir mencapai 70% dari biaya produksi pupuk. Maka, problematik yang dihadapi industri pupuk dalam negeri adalah harga gas yang mahal! Dan pemerintah Jokowi sampai sekarang masih tidak mampu merealisasi janjinya untuk menurunkan harga gas bagi industri.

Beberapa waktu lalu, pemerintah memang telah menurunkan harga gas hingga sekitar 6 dolar per mmbtu. Tapi, angka itu masih jauh dari ekspektasi industri strategis, khususnya industri gas. Mereka minta agar harga gas bisa ditekan sampai 3 dolar per mmbtu. Sebaliknya, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja mengatakan, jika harga gas diturunkan, penerimaan negara akan susut banyak, yang gilirannya defisit APBN makin besar. Paradigma ini tidak benar! Jika harga gas diturunkan, subsidi pemerintah kepada industri gas dengan sendirinya akan turun pula. Manfaat strategis lain yang diperoleh pemerintah: harga gas yang sekitar 3 dolar/mmbtu akan membuat harga pupuk dalam negeri lebih bersaing dengan harga pupuk impor, termasuk dari Tiongkok.

Sekadar catatan: harga pupuk India USD 4,2, Malaysia USD 4, Australia USD 4, dan Amerika USD 2,7. Kami tidak punya catatan tentang harga gas di Tiongkok. Yang jelas, harga di sana jauh murah sekali. Karena itu, harga pupuk asal Tiongkok membanjiri Indonesia. Harga gas Indonesia yang tinggi dengan sendirinya membuat harga pupuk kita mahal. Misalnya, biaya produksi pabrik urea Pupuk Iskandar Muda (PIM) USD 400/ton, Pupuk Kujang USD 250/ton, Pupuk Kaltim USD 270/ton; sedangkan Tiongkok USD 235/ton, Rusia USD 180/ton, Amerika USD 130/ton, dan Aljazair hanya USD 100/ton.

Kecuali masalah gas, tingginya harga pupuk Indonesia juga disebabkan beban biaya bunga yang harus ditanggung industri pupuk. Subsidi pupuk yang diberikan pemerintah tiap tahun kepada industri ternyata tidak dibayar kontan, tapi bisa tahunan. Akibatnya, pihak industri harus pinjam uang dari bank untuk menutup biaya operasional. Tentu saja, biaya bunga membebani ongkos produksi.

Pupuk adalah industri sangat strategis untuk ketahanan pangan. Jika makin banyak pupuk impor yang masuk dan makin marak peredaran pupuk palsu, industri pupuk akan terpukul. Kondisi beberapa pabrik pupuk dalam negeri saat ini juga memprihatinkan, karena mesinnya yang tua, sehingga boros bahan bakar.

Ketika kami berkunjung ke pabrik PT PIM, yang beroperasi tinggal satu pabrik, satu lainnya sudah lama berhenti produksi. Sebab, biaya produksi terlalu tinggi akibat mesin yang terlalu tua. Jika pemerintah tidak segera membantu, PT PIM bisa kelepak-kelepak, tewas mengikuti sejumlah industri strategis di Aceh yang sudah lebih dulu ’’almarhum’’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar