Menghadapi
Disrupsi Industri Media
Ignatius Haryanto ; Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia
Nusantara
|
KOMPAS,
15 November
2017
Harian Kompas edisi 28 Oktober
2017 menghadirkan suatu kejutan tersendiri. Wajah surat kabar yang dikenal
sebagai serious newspaper penuh coretan dan pulasan warna yang tidak biasa.
Rupanya itulah kolaborasi redaksi Kompas dengan sejumlah desainer muda dalam
rangka peringatan Sumpah Pemuda tersebut.
Perubahan wajah Kompas hari itu
langsung menimbulkan pro dan kontra. Ada yang setuju, memberikan acungan
jempol, tetapi tak sedikit juga yang sinis, mempertanyakan kebijakan di luar
kebiasaan itu, sambil juga menyebut sejumlah tulisan jadi sulit terbaca
dengan adanya perombakan perwajahan tersebut.
Inovasi atau terobosan selalu
menimbulkan pro dan kontra: suka dan tidak suka. Demikianlah kisah inovasi
dari masa ke masa. Tak ketinggalan inovasi yang menyangkut industri media.
Koran New York Times sekitar 1900-an masih hanya berisikan tulisan-tulisan
tanpa adanya gambar ataupun foto (karena teknologi foto belum ditemukan saat
itu).
Saat Joseph Pulitzer
mengembangkan The World, ia dikenal yang mulai memperkenalkan koran populer
yang menggunakan ilustrasi gambar, teka-teki silang, dan lain-lain pada akhir
abad ke-19. Saat memberitakan tenggelamnya kapal Titanic pada edisi 16 April
1912, New York Times sudah menampilkan foto besar kapal yang baru diresmikan
lengkap dengan daftar para korbannya.
Disrupsi dalam industri media
Tentu saja inovasi butuh waktu
untuk bisa diterima luas dan orang akhirnya menyadari bahwa perubahan dalam
industri media adalah keniscayaan. Akan tetapi, perubahan seperti apa dan
bagaimana perubahan diperkenalkan serta diterima, itu adalah cerita yang
tidak pendek. Namun, inovasi inilah salah satu cara menghadapi disrupsi
(gangguan) dalam industri media belakangan ini.
Sudah ada banyak pihak yang
memperkenalkan nama Clayton M Christensen, profesor administrasi bisnis dari
Universitas Harvard, AS, yang menulis buku terkenal, The Innovator’s Dilemma:
When Technologies Cause Great Firms to Fail(1997). Aplikasi dari konsep teori
disrupsinya telah coba dikembangkan dalam berbagai sektor bisnis.
Disrupsi adalah gangguan yang
mengakibatkan industri tak berjalan seperti biasa karena ada kemunculan
kompetitor baru, umumnya karena adanya penemuan teknologi baru, yang
mengakibatkan pemain bisnis lama harus memikirkan ulang strategi berhadapan
dengan era baru ini. Ada yang berhasil mengatasi situasi disrupsi ini, tetapi
banyak yang gagal. Dengan penemuan internet, hampir semua industri saat ini
harus bertarung dengan apa yang diistilahkan Rhenald Kasali sebagai
“musuh-musuh yang tidak kelihatan”.
Prof Christensen pernah diminta
oleh program Nieman (sesama program yang ada di lingkungan Harvard) untuk
membuat analisis terkait industri media yang sedang berubah ini. Majalah
Nieman Reports mengangkat laporan utama dari hasil wawancara dengan
Christensen yang dilakukan oleh wartawan David Skok, seorang Nieman fellow
yang juga adalah wartawan dari Globalnews.ca asal Kanada. Majalah Nieman
Reportsyang memuat laporan ini adalah edisi Musim Gugur (Fall) 2012, dengan
judul besar “Be The Disruptor”.
Dalam penjelasannya, Christensen mengatakan
bahwa ada pola yang berulang, di mana seorang pemain baru dalam suatu
industri memulai langkahnya dengan cara yang mudah, murah, sehingga ia
dilihat sebelah mata oleh para pemain lama dalam industri tersebut. Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu, pemain baru tersebut perlahan-lahan terus
memperbaiki dirinya untuk akhirnya menjadi pemain utama dalam bisnis
tersebut.
Dalam industri media ada contoh
yang bisa diperhatikan, yaitu kehadiran The Huffington Post, dan BuzzFeed,
yang awalnya disebut sebagai “hanya” news aggregator, tetapi lama-kelamaan
menghasilkan konten sendiri yang mulai banyak dilirik oleh para pembaca media
sejagat.
Dalam analisisnya, Christensen
menyebutkan tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam kondisi
media saat ini. Pertama, selalu mengenai dan memikirkan kepentingan audiens.
Kedua, memahami disrupsi apa yang terjadi dalam industri media dan bagaimana
mengatasi masalah ini. Ketiga, bagaimana peran dari budaya dan kapasitas yang
dimiliki organisasi (media) dan bagaimana mengelolanya.
Di samping bisa soal tiga
faktor penting tadi, Christensen juga mengatakan tiga hal soal kapasitas dari
industri media yang perlu dievaluasi, yaitu yang menyangkut sumber daya di
dalam industri ini; lalu juga terkait pola interaksi yang dilakukan organisasi
media tersebut untuk menuju pada suatu efisiensi; dan terakhir menyangkut
bagaimana organisasi media memilih prioritas tindakan tertentu di atas
tindakan yang lainnya.
Inovasi dan bereksperimen
Jika menggunakan pola pikir CA
van Peursen untuk melihat strategi kebudayaan, ia memilah antara cara pandang
mitis, cara pandang ontologis, dan cara pandang fungsional. Kita yang masih
takut dan meratapi kondisi media digital yang menggerogoti media arus utama
mungkin dapat dikatakan masih menggunakan cara pandang mitis. Untuk bergerak
maju kita perlu melihat fenomena media digital ini secara ontologis, dengan
memeriksa A-Z-nya industri media digital dan melihat di mana peluang bisa
diraih serta transformasi bisa dilakukan.
Setelah hal ini dilakukan, cara
pandang fungsional akhirnya akan membuahkan suatu strategi tersendiri untuk
menghadapi disrupsi dalam industri media ini. Kuncinya kita terus belajar,
berinovasi, bereksperimen secara terkontrol untuk menyeimbangkan kondisi
baru.
Ketersediaan informasi yang secara
instan dihasilkan pelbagai organisasi media telah mempercepat audiens untuk
memahami peristiwa dari sisi 4W (who, what, when, where). Semua media banyak
berurusan dengan 4W ini. Apa yang belum banyak disediakan oleh media saat ini
adalah soal H (how) dan W (why) serta “apa makna peristiwa itu bagi publik”.
Mengutip Jim Moroney, CEO dan penerbit The Dallas Morning News, Christensten
menyebut yang dibutuhkan hari ini dari perusahaan media adalah perspective,
interpretation, context, and analysis (PICA).
Christensten mengambil contoh
bagaimana transformasi yang dilakukan oleh majalah Forbes, dan laman dari
majalah ini pun diubah untuk mengikuti tantangan zaman. Editor Forbes tetap
mengelola para reporter, tetapi di luar itu editor juga mengurasi tulisan dari
para pakar, kontributor, jurnalis freelance, akademisi, ahli dalam bidang
tertentu, pimpinan bisnis yang terkait dengan topik bahasan tertentu. Forbes
mengelola tak kurang dari 1.000 kontributor dan subyek yang diangkat Forbes
pun menghasilkan pembicaraan atau diskusi yang menarik, dan hal ini membawa
perkembangan bagus bagi traffic di laman Forbes.
Dalam situasi seperti saat ini
sebenarnya sejumlah eksperimen bisa dilakukan dan inilah masa untuk
mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa dilakukan. Inovasi yang
coba dilakukan Kompas pada 28 Oktober lalu adalah salah satu contoh bagaimana
inovasi dilakukan, kolaborasi dipertimbangkan. Tentu saja selalu ada yang
setuju dan tidak setuju. Meski begitu, membuka diri untuk inovasi,
kolaborasi, adalah cara untuk bertahan dan terus berkembang pada hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar