Rabu, 22 November 2017

Menjaga Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah dan IMF

Menjaga Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah dan IMF
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Faculty Member of Bank Indonesia Institute
                                          MEDIA INDONESIA, 20 November 2017



                                                           
DANA Moneter Internasional (IMF) baru saja menerbitkan laporan dan proyeksi perekonomian terbarunya tentang perekonomian global, World Economic Outlook: Seeking Sustainable Growth, Short-Term Recovery, Long-Term Challenges, dirilis 10 Oktober 2017.

Intinya, pertumbuhan ekonomi global baru akan beranjak naik sedikit dari 3,6% (2017) menjadi 3,7% (2018). Itulah yang mereka sebut 'pemulihan jangka pendek'.

Namun, dalam periode yang lebih panjang, pertumbuhan ekonomi belum bisa diakselerasi lebih cepat. Perekonomian global masih terjal.

Proyeksi tersebut lebih baik 0,1% untuk kedua tahun tersebut (2017 dan 2018) jika dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang dilakukan pada April dan Juli 2017.

Perbaikan ekonomi tersebut, meski amat kecil, didasarkan pada data investasi, perdagangan, dan kondisi produksi industri.

Data kuantitatif itu juga diperkuat dengan data kualitatif berupa tingkat kepercayaan dunia bisnis dan konsumen (business and consumer confidence) yang menguat.

Secara lebih spesifik, IMF menyebut beberapa negara dan kawasan yang pertumbuhan ekonominya sedikit melebihi ekspektasi, seperti zona euro, Jepang, Tiongkok, emerging euro (negara-negara Eropa 'lapis kedua'), dan Rusia.

Kinerja mereka mampu mengompensasi tiga negara besar yang tampil lebih lemah daripada ekspektasi, yakni Amerika Serikat, Inggris, dan India.

Namun, secara umum, perekonomian global memang masih enggan beranjak jauh.

Tren inflasi dan suku bunga

Yang menarik, IMF juga melaporkan banyak negara mengalami inflasi rendah, yang mengindikasikan lesunya perekonomian sehingga sulit diharapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Pernyataan itu penting untuk digarisbawahi mengingat selama ini suka terjadi salah interpretasi bahwa inflasi rendah merupakan hal yang selalu baik. Belum tentu.

Jika inflasi rendah itu selalu baik, tentu akan menyebabkan meningkatnya gairah belanja. Jika itu terjadi, hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

Inilah yang terjadi di Indonesia pada saat ini: ketika inflasi bisa ditekan rendah ke 3,58% (year on year Oktober 2017), tetapi kenapa pertumbuhan ekonomi triwulan III/2 2017 hanya 5,06%? Jawabannya ialah karakteristik inflasi rendah kali ini lebih mengarah ke lesunya orang berbelanja.

Hal itu bisa disebabkan unsur ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi, yang menyebabkan orang enggan berbelanja atau menunda belanjanya.

Bisa juga masyarakat mulai tercekam oleh agresivitas pemerintah dalam menarik pajak, untuk mengatasi shortfall (penerimaan pajak meleset dari target).

Itulah sebabnya, dalam kasus AS, Kepala The Fed Janet Yellen begitu menginginkan agar inflasi mencapai 2%.

Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi AS selalu di bawah 2%.

Namun, saat ini, keinginan itu tercapai. Inflasi AS saat ini 2,2%.

Akibatnya, pasar merespons positif data itu dan ikut menyumbang rally di Bursa Efek New York (NYSE) sehingga Dow Jones index mencapai rekor baru di atas 23.500.

Dalam kasus lain yang lebih ekstrem, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) juga tidak suka jika terjadi deflasi (inflasi negatif) karena hal itu tidak memberi insentif produsen untuk menambah kapasitas produksi, yang berarti ekspansi ekonomi.

Pendek kata, data inflasi yang lemah juga berimplikasi pada permintaan (demand) dan ekspansi kapasitas produksi yang lemah, alias pertumbuhan ekonomi rendah.

Karena itu, inflasi yang terlalu rendah juga perlu dihindari.

Itulah sebabnya Bank Indonesia juga tidak bisa untuk terus-menerus menurunkan suku bunga acuannya karena ada keterbatasan ruang gerak.

Jika suku bunga acuan terus diturunkan, selain belum tentu efektif untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan (yang diharapkan dapat mendorong ekspansi kredit), juga berisiko terjadinya pelemahan rupiah.

Penurunan suku bunga deposito lebih lanjut malah bisa memicu orang untuk mengalihkan aset mereka ke pembelian dolar AS.

Di sisi lain, negara maju seperti AS justru kini terus berupaya menaikkan suku bunga mereka untuk menuju ke ekuilibrium baru.

Suku bunga sebelum krisis 2008 di AS mencapai 6%, lalu diturunkan hingga 0,25%, dan kini 1,25%, yang diharapkan kembali naik menuju 2%.

Satu-satunya kandidat Kepala The Fed yang baru, Jerome Powell, dipastikan akan melanjutkan kebijakan Janet Yellen.

Dia harus terus menaikkan suku bunga secara bertahap, untuk menormalkan kondisi moneter AS.

Suku bunga yang terlalu rendah hanya menyebabkan likuiditas di pasar uang menjadi terlalu berlebihan (excess supply).

Itu merupakan dampak quantitative easing pada periode Ben S Bernanke.

Sesuai dengan teori John Maynard Keynes (1936), hal itu bisa menyebabkan terjadinya aksi spekulasi (speculative motive) yang menimbulkan gelembung di pasar finansial (financial bubbles).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia

Selanjutnya IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% (diproyeksikan April 2017) menjadi 5,2%.

Perlu dicatat, bahwa proyeksi IMF tersebut diumumkan sebelum BPS mengumumkan pencapaian pertumbuhan ekonomi triwulan III 2017 yang 'hanya' 5,06%.

Jika tahu data terbaru tersebut, bisa jadi IMF membuat proyeksi yang lebih konservatif, misalnya 5,1%.

Di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2% tersebut masih di bawah Filipina (6,6%), Vietnam (6,3%), Malaysia (5,4%), tetapi berada di atas Thailand (3,7%) dan Singapura (2,5%).

Proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,2% tersebut persis sama dengan versi pemerintah.

Proyeksi terhadap negara-negara ASEAN juga sama.

Sebaliknya pada 2018, perekonomian Indonesia akan tumbuh 5,3%, atau sedikit lebih rendah daripada proyeksi pemerintah 5,4%.

Menurut IMF, sedikit kenaikan pertumbuhan ekonomi tersebut antara lain disebabkan meningkatnya permintaan dari Tiongkok dan Eropa.

IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini 6,8%, atau lebih baik daripada sebelumnya.

Namun, harus diakui, bahwa bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi Tiongkok 6,8% sesungguhnya tidak berarti banyak bagi kita dan kawasan ASEAN-5 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam).

Level itu praktis masih jauh di bawah double digit sebagaimana dialami Tiongkok selama delapan tahun berturut-turut 2001-2008.

Level setinggi itu tidak mungkin diulang Tiongkok lagi karena situasi kini telah berbeda jauh.

Tiongkok memang masih bisa menjaga surplus perdagangan mereka, tetapi tidak mungkin bisa menaikkannya lagi seperti periode sebelumnya karena biaya produksi yang terus meningkat, seiring dengan level pendapatan penduduk mereka yang meninggi.

PDB per kapita Tiongkok kini sudah mencapai US$9.000, atau tidak bisa dibilang murah lagi untuk menjadi negara basis produksi.

Vietnam diam-diam mulai mengintai peluang itu sebagai negara basis produksi (host country) berikutnya.

Kunci pencapaian pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia ialah belanja masyarakat (consumption expenditure). Inilah komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) terbesar kita. Konsumsi (C) menyumbang 57%, yang jauh di atas investasi (I), belanja modal pemerintah (G) maupun surplus ekspor (X-M).

Data terakhir surplus ekspor hingga Oktober 2017 mencapai US$10 miliar.

Hal itu berkontribusi pada kenaikan cadangan devisa yang kini mencapai rekor tertinggi, hampir US$130 miliar.

Tingginya cadangan devisa itu diharapkan dapat meredam kemungkinan terjadinya depresiasi rupiah yang disebabkan kenaikan suku bunga The Fed pada Desember 2017 nanti.

IMF memproyeksikan belanja konsumsi masyarakat tetap bisa tumbuh 5%.

Seperti diketahui, akhir-akhir ini komponen ini tergelincir ke level sedikit di bawah 5%.

Idealnya, agar pertumbuhan ekonomi bisa mencapai level yang normal untuk kasus Indonesia (6% ke atas), belanja konsumsi juga harus dijaga pertumbuhannya, setidaknya 6%.

Karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus bisa menjaga ritme APBN 2017 pada bulan terakhir 2017 ini.

Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3% terhadap PDB.

Sebaliknya APBN 2017 disusun dengan asumsi defisit 2,92% terhadap PDB.

Memang ada wacana agar defisit tersebut dapat diturunkan, misalnya menjadi sekitar 2,5% saja.

Namun, dalam kondisi sekarang tampaknya hal tersebut sangat sulit dilakukan.

Penurunan defisit memang masih mungkin dicapai, misalnya dengan melemahnya penyerapan anggaran, sebagaimana sering terjadi selama ini.

Namun, hal itu bukanlah hal yang ideal karena Presiden Jokowi sedang sangat berhasrat untuk mendorong pembangunan infrastruktur, yang anggarannya mendekati Rp400 triliun.

Karena itu, kalaupun defisit bisa ditekan, saya duga angkanya masih sekitar 2,7% terhadap PDB.

Pada titik ini belanja modal dan pembangunan infrastruktur oleh pemerintah tetap dapat dijaga meski dengan kecepatan yang tidak maksimal.

Artinya, energi untuk menghela pertumbuhan ekonomi tidaklah bisa dilakukan secara 100%.

Akibatnya, saya duga perekonomian Indonesia 2017 akan tumbuh 5,1%, atau sedikit di bawah proyeksi pemerintah dan IMF (5,2%).

Tidak apa meleset sedikit, karena di sisi lain kita tetap dapat menyokong APBN yang berkelanjutan (sustainable).

Yang juga tak kalah penting: kita tetap bisa memelihara asa untuk tumbuh lebih tinggi, sedikitnya 5,3% pada 2018, sebagaimana ekspektasi pemerintah dan IMF.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar