Rabu, 22 November 2017

Menyoal Visi Transportasi Gubernur Anies

Menyoal Visi Transportasi Gubernur Anies
Tulus Abadi ;  Ketua Pengurus Harian YLKI;
Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta periode 2010-2013
                                          MEDIA INDONESIA, 21 November 2017



                                                           
BELUM seumur jagung Anies Baswedan memimpin Jakarta. Tentu belum banyak kebijakan publik yang bisa ditelurkan. Selain soal penutupan Alexis, dengan segala hiruk pikuknya, plus berhasil bernegosiasi dengan sekelompok masyarakat yang emoh menjual lahannya untuk dilewati jalur MRT. Alih-alih Gubernur Anies justru mengusung wacana untuk menghidupkan kembali keberadaan sepeda motor di koridor Soedirman-Thamrin, yang selama beberapa tahun terakhir ini ditutup aksesnya.

Gubernur Anies menegaskan bahwa jalan di Jakarta harus bisa diakses semua pengguna kendaraan. Bukan hanya milik kendaraan roda empat. Pengguna sepeda motor martabatnya sama dengan martabat pengguna roda empat, begitu tandas Gubernur Anies.
Jika konteksnya hanya masalah akses, apa yang dinyatakan Gubernur Anies itu tak salah-salah amat. Kota Jakarta memang milik semua lapisan. Oleh karenanya harus bisa diakses semua lapisan pula. Namun, sayangnya, pernyataan Gubernur Anies minus ideologi, minus keberpihakan, dan minim sentuhan kebijakan transportasi publik yang bersifat universal.

Beberapa alasan berikut ini menjawab fenomena kebijakan tran­sportasi Anies terkait dengan sepeda motor. Pertama, Jakarta harus bisa diakses semua, tentu sepakat. Akan tetapi, kenapa hanya sepeda motor yang diberikan ‘karpet merah’. Masih banyak moda transportasi yang digunakan warga Jakarta, seperti bajaj, atau bahkan bemo dan sepeda.

Di negara-negara Eropa seperti di Belanda, Denmark, dan Jerman, pengguna sepeda diberikan akses yang sangat kuat. Di Belanda, penggowes sepeda merupakan raja jalanan yang sangat dihormati dan diberikan perlindungan hukum khusus. Jika Gubernur Anies memang seorang universalis, becak pun harus diberikan akses dan beroperasi di Jalan Soedirman-Thamrin. Batalkan itu Perda No 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum yang melarang becak beroperasi di Jakarta. Pada titik ini Gubernur Anies akhirnya terjebak pada pemikiran dan kebijakan yang sangat kapitalistik karena hanya berpihak pada kepentingan ekonomi industri otomotif belaka.

Kedua, Gubernur Anies juga tidak mengakomodasi pemahaman manajemen transportasi publik bahwa hierarki dalam bertransportasi yang paling bermartabat ialah pejalan kaki dan atau penggowes sepeda karena kedua pelaku inilah pengusung transportasi yang berkelanjutan; nirpolusi, nirkecelakaan, dan nirsubsidi oleh negara.

Bandingkan dengan pengguna kendaraan bermotor yang penyumbang utama polusi dan kerusakan lingkungan, tinggi kecelakaan lalu lintas, dan rakus terhadap subsidi. Lihatlah fakta, pengguna sepeda motor dominan terlibat kecelakaan lalu lintas (laka lantas), 76%, dari total laka lantas. Per tahun 31 ribu orang Indonesia meninggal karena laka lantas, dan 71% melibatkan pengguna sepeda motor. Pada titik ini Gubernur Anies melihat eksistensi sepeda motor hanya dengan kacamata kuda.

Ketiga, Gubernur Anies gagal paham bahwa selama ini hanyalah sepeda motor yang belum dikendalikan. Sepeda motor praktis diistimewakan, buktinya saat three in one, motor tidak berlaku. Ganjil-genap sepeda motor juga dikecualikan. Bahkan pada kebijakan terbaru, yakni jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) pun sepeda motor tidak termasuk. Jika tak mau dibatasi aksesnya, boleh saja, tapi pada sepeda motor harus diberlakukan salah satu instrumen pengendalian dimaksud, bisa ganjil-genap dan atau ERP. Sekali masuk ke jalan ber-ERP diberlakukan tarif Rp5.000-Rp10 ribu per sekali lewat. Mau?

Saat ini, menurut data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), jumlah perjalanan di Jabodetabek mencapai hampir 41 juta trip, dan 25 juta trip berada di Jakarta. Jumlah kendaraan bermotornya mencapai 13,9 juta unit untuk sepeda motor dan 4,6 juta unit untuk kendaraan mobil pribadi. Sepeda motor sudah menjadi raja jalanan untuk semua lini jalan di Jakarta, termasuk di gang-gang sempit sekalipun.

Dalam skala nasional, tidak kurang dari 30%-35% kendaraan bermotor pribadi dimiliki warga Jabodetabek. Mengacu pada konfigurasi tersebut, diperlukan upaya pembatasan dan pengendalian kendaraan pribadi secara radikal. Dampak sosial atas dominannya penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta bukan hanya kemacetan. Kerugian sosial ekonomi akibat kemacetan itulah yang begitu dahsyat. Kerugian kesehatan diperkirakan mencapai Rp38,5 triliun yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit akibat polusi, bahkan stres. Pemborosan bahan bakar minyak diprediksi mencapai Rp29,7 triliun.

Di sisi lain, memperkuat peran angkutan umum massal juga harus menjadi keniscayaan. Wujudkan akses angkutan umum massal yang nyaman, aman, cepat, dan tarif terjangkau. Sterilkan jalur Trans-Jakarta agar waktu tempuhnya memenuhi target yang ditetapkan. Hilangkan lintasan sebidang pada jalur KRL, commuter line. Dua kebijakan itulah yang mau tidak mau harus ditempuh Gubernur Anies Baswedan.

Dengan demikian, upaya untuk membuka akses Jl Sudirman-Thamrin untuk pengguna sepeda motor adalah langkah mundur. Tengoklah kota-kota besar di dunia lain, adakah sepeda motor yang menyemut seperti di Jakarta? Adalah sangat lucu jika Gubernur Anies memerintahkan Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta untuk melakukan redesain pembangunan trotoar di Jl Sudirman-Thamrin agar bisa diakses sepeda motor. Alamak, di mana pun fungsi trotoar ya untuk pejalan kaki, bukan pemotor. Regulasi kita pun meneguhkan hal itu. Jika hal ini benar-benar terwujud, akan menjadi bahan tertawaan dunia.

Dalam menata transportasi dan tata kota yang bermartabat dan manusiawi, seyogianya Gubernur Anies merujuk pada pengalaman empiris berikut ini. Pertama, pendapat Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, menyatakan kota yang beradab adalah jika orang kayanya mau naik angkutan umum dan orang miskinnya tidak bermimpi memiliki kendaraan pribadi.

Pendapat kedua, PM Singapura Goh Chok Tong, menandaskan bahwa mobil (dan sepeda motor) itu seperti kolesterol dalam tubuh kita. Kolesterol sangat diperlukan, tapi jika berlebihan akan menyumbat peredaran darah ke jantung. Kini, level kendaraan pribadi di Jakarta bak superkolesterol yang menyumbat semua lini aliran darah dalam bermobilitas.

Seharusnya visi semacam inilah yang diusung dan dikembangkan seorang Anies Baswedan. Bukan saja untuk mengatasi gurita kemacetan, melainkan juga untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota yang bersih, sehat, aman, dan manusiawi bagi warganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar