Selasa, 21 November 2017

Mengapa Kita Perlu Tumbuh di Atas 5 Persen?

Mengapa Kita Perlu Tumbuh di Atas 5 Persen?
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada; Pengajar BI Institute
                                                    KOMPAS, 20 November 2017



                                                           
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada tahun ini dan 5,4 persen pada tahun depan. Angka ini mirip dengan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan 5,2 persen (2017) dan 5,3 persen (2018). IMF memublikasikan proyeksinya dalam World Economic Outlook: Seeking Sustainable Growth Short-Term Recovery, Long-Term Challenges, Washington DC, pada 10 Oktober 2017.

IMF mencatat, terjadi sedikit perbaikan pertumbuhan ekonomi di dunia karena meningkatnya kepercayaan produsen dan konsumen. Investasi meningkat, permintaan barang dan jasa juga beranjak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebagaimana negara-negara tetangga Asia Tenggara, juga sedikit naik, tetapi tidak signifikan.

Dengan kinerja pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2017 yang hanya 5,06 persen, atau sedikit beranjak dari 5,01 persen pada triwulan I dan II-2017, saya menduga pertumbuhan ekonomi 2017 akan mencapai 5,1 persen saja. Ini sedikit meleset dari target pemerintah dan proyeksi IMF 5,2 persen. Pada triwulan IV seperti biasa memang akan ditandai dengan belanja modal pemerintah yang ngebut. Namun, dengan sembilan bulan pertama hanya tumbuh rata-rata 5,03 persen, rasanya sulit untuk mengakhiri tahun 2017 dengan 5,2 persen.

Perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh meningkatnya investasi dan membaiknya harga batu bara serta kelapa sawit yang mendorong kenaikan surplus ekspor. Namun, konsumsi masyarakat yang menyumbang 57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tertahan di sekitar 5 persen. Jika konsumsi bisa diungkit ke atas, pertumbuhan ekonomi bisa dihela lebih cepat. Sayangnya, masyarakat masih mengerem konsumsi dan lebih hati-hati menghadapi cekaman ketidakpastian perekonomian global dan nasional.

Mengapa selama ini para ekonom selalu menyebut angka 6 atau 7 persen sebagai pertumbuhan ekonomi yang ideal? Bagaimana ”angka keramat” ini diperoleh? Jawabannya adalah angka ini terkait dengan penyerapan tenaga kerja. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen untuk menyerap seluruh angkatan kerja baru. Jika tidak, terjadi tambahan penganggur.

Saat ini, penduduk Indonesia tercatat 255 juta, ada di urutan keempat. China menempati urutan pertama dengan 1,388 miliar penduduk, lalu India (1,32 miliar) dan Amerika Serikat (326 juta). Indonesia berada di atas Pakistan (209 juta), Brasil (208 juta), dan Nigeria (188 juta). Indonesia memiliki angkatan kerja 131 juta penduduk atau separuh dari jumlah penduduk. Namun, yang memiliki pekerjaan 124 juta, berarti terdapat 7 juta orang menganggur. Setiap tahun, angkatan kerja baru 3 juta orang. Jadi, Indonesia memerlukan level pertumbuhan ekonomi 6-7 persen untuk menyerapnya.

Jika setiap satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyerap maksimal 500.000 orang, angkatan kerja yang terserap dengan pertumbuhan 5 persen hanya 2,5 juta. Akibatnya, masih ada 500.000 orang lagi yang menganggur. Namun, statistik BPS menyebutkan bahwa tambahan penganggur kita hanya 10.000 orang pada 2017.

Ini terjadi karena banyak angkatan kerja baru kita terpaksa rela bekerja di sektor informal yang nilai tambahnya lebih rendah daripada sektor formal. Status mereka memang bekerja (employed), tetapi dengan kualitas penghasilan rendah. Fenomena ini sering disebut pengangguran terselubung (disguised unemployment).

Pembangunan infrastruktur

Karena itu, pemerintah memang harus mengejar pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen untuk mengatasi pengangguran, yakni dengan menghela pertumbuhan ekonomi hingga 6-7 persen. Ekspektasi pertumbuhan ekonomi kita saat ini masih di bawah Filipina (6,6 persen), Vietnam (6,3 persen), dan Malaysia (5,4 persen). Namun, ada di atas Thailand (3,7 persen) dan Singapura (2,5 persen).

Salah satu cara adalah mendorong pembangunan infrastruktur. Namun, data BPS justru menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi tahun ini stagnan. Padahal, pemerintah menganggarkan hampir Rp 400 triliun (dari APBN Rp 2.100 triliun) untuk infrastruktur. Berarti patut diduga sektor konstruksi mulai kian banyak menyerap modal dan teknologi sehingga agak berkurang level padat karyanya.

Sektor lain yang juga stagnan adalah pertambangan. Mekanisasi sektor pertanian kian tinggi sehingga persentase penduduk yang bekerja di sektor itu turun. Sektor industri, perdagangan, dan jasa mengalami kenaikan. Pemerintah perlu melihat tren ini untuk merencanakan penyerapan tenaga kerja berbasis industri, perdagangan, dan jasa.

Namun, tidak berarti bahwa belanja infrastruktur harus dikoreksi. Keputusan pemerintah membiayai infrastruktur dengan dana Rp 409 triliun pada 2018 harus dilanjutkan. Ini perlu dilakukan karena akan meningkatkan efisiensi jangka panjang untuk lima tahun, 10 tahun, bahkan puluhan tahun ke depan, bukan semata-mata untuk menyerap tenaga kerja dalam jangka pendek.

Peringkat Indonesia untuk Indeks Daya Saing Global 2017-2018 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia naik dari ke-41 menjadi ke-36. Memang di bawah Thailand (32), Malaysia (23), dan Singapura (3), tetapi sudah menyalip India (40), serta di atas Brunei (46), Vietnam (55), Filipina (56), dan Brasil (80).

Peningkatan peringkat diharapkan menarik banyak investasi dan kemudian menyerap tenaga kerja. Data inilah yang bisa membantu menjelaskan mengapa investasi di Indonesia akhir-akhir ini terus meningkat, begitu pula aliran modal masuk dari luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar