Selasa, 21 November 2017

Milad Ke-105 Muhammadiyah dan Beban Islam Berkemajuan

Milad Ke-105 Muhammadiyah
dan Beban Islam Berkemajuan
Ahmad Najib Burhani ;  Wakil Ketua Majelis Pustaka PP Muhammadiyah;
Peneliti Senior LIPI
                                                    KOMPAS, 20 November 2017



                                                           
Pada kuliah umumnya di S Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University, Singapura, 26 Oktober 2017, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan alasan Muhammadiyah mengusung slogan “Islam Berkemajuan”. Menurut dia, Islam yang ramah, toleran, dan damai sudah menjadi jiwa Muhammadiyah sejak lama.

Itu sudah dipraktikkan dalam gerakan ini sejak dahulu. Yang justru menjadi pertanyaan adalah apa yang perlu dilakukan selanjutnya?

Apa yang dirancang Muhammadiyah dalam konteks ini adalah menunjukkan Islam yang maju dengan membangun berbagai pusat keunggulan dan terus menjadi “tangan di atas, bukan “tangan di bawah”. Inilah cara mengurangi rasa takut, minder, mudah menyalahkan orang lain, memusuhi mereka yang berbeda, dan inferiority complex yang kerap diidap oleh sebagian masyarakat Muslim. Meminjam pepatah China, “Luohou Jiuyao Aida” (keterbelakangan itu yang menyebabkan dikalahkan orang lain).

Sebagian umat Islam menganggap agama lain atau kelompok etnis lain sebagai ancaman. Ini di antaranya karena kondisi mereka yang lemah. Mereka memang mayoritas dari segi jumlah, tetapi minoritas dari segi ekonomi. Ketika mereka termarjinalisasi, baik secara nyata maupun imajinasi belaka, dan agama adalah satu-satunya senjata yang dimiliki, maka tak ada alat lain yang bisa dipakai untuk melawan selain dengan agama.

Ketika terjadi persaingan politik, agama digunakan sedemikian rupa untuk bisa menang dalam perebutan kekuasaan. Muhammadiyah meyakini langkah untuk mengatasi penyakit umat Islam ini adalah dengan membuat mereka maju, menawarkan Islam Berkemajuan.

Memang, saat ini gerak dan langkah dari Islam Berkemajuan masih lamban, bahkan terengah-engah. Terlalu banyak beban harus dipikul. Beban dari internal Muhammadiyah ataupun beban dari luar, baik yang sifatnya nasional maupun yang berupa tantangan dan ancaman global.

Paradigma lama

Di dalam Muhammadiyah, beberapa anggotanya dan juga sebagian pengurusnya sulit diajak berpikir dengan semangat berkemajuan atau progresif. Mereka masih berkutat dengan paradigma lama tentang TBC (takhayul, bidah, dan churafat), berpikir eksklusif, dan bahkan cenderung sektarian. Meminjam istilah Mitsuo Nakamura (2017), peneliti Jepang yang sudah puluhan tahun mengkaji gerakan ini, sebagian warga Muhammadiyah kurang peduli terhadap persoalan common good atau kemaslahatan bersama sebagai bangsa.

Belum lagi dengan tarikan konservatisme yang secara mesra berpasangan dengan kapitalisme dan berusaha mengelabui kita bahwa ia seolah-olah seperti peradaban berkemajuan, padahal sesungguhnya adalah kemunduran. Isu isbal dan non-isbal dalam bercelana, memanjangkan atau memotong jenggot, dan masalah kepemimpinan negara adalah beberapa contohnya.

Beban eksternal tentu saja lebih berat lagi. Berbagai tuduhan dialamatkan ke Muhammadiyah, terutama terkait konstelasi politik nasional. Alih-alih mendukung BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus 88, misalnya, dalam beberapa kasus Muhammadiyah dituduh berpihak kepada teroris. Dalam hal Perppu Nomor 2 Tahun 2017, Muhammadiyah dianggap mendukung ormas dan gerakan anti-Pancasila.

Muhammadiyah juga tak jarang dituduh melindungi para aktor gerakan “NKRI Bersyariah”. Di Aceh, Muhammadiyah tidak dianggap sebagai bagian dari Islam Suni atau ahlus sunnah wal jamaah. Muhamadiyah dituduh sebagai Wahabi dan antek Yahudi, seperti tertulis dalam beberapa coretan di mushala Muhammadiyah di sana. Masjid At-Taqwa Samalanga, Bireuen, dilarang berdiri dan bahkan tiangnya dibakar oleh kelompok yang benci terhadap organisasi ini.

Posisi Muhammadiyah dalam beberapa isu memang dilematis. Keinginan Muhammadiyah mencegah negara berlaku sewenang-wenang terhadap teroris dianggap melawan BNPT dan Densus 88. Padahal, Muhammadiyah hanya tak setuju dengan cara-cara yang ditempuh BNPT dan Densus yang kadang justru melahirkan dendam kesumat dari keluarga dan anak teroris yang pada gilirannya malah melahirkan teroris-teroris baru. Hanya Muhammadiyah yang bisa jadi jembatan antara kelompok radikal-teroris dan pemerintah. Kelompok Islam lain sudah tak didengar oleh mereka karena dianggap selalu pro-pemerintah, apa pun kebijakannya.

Dalam konteks perppu, semangat Muhammadiyah terus mengawal penegakan hukum yang merupakan bagian dari ciri kehidupan demokratis kadang diartikan sebagai keberpihakan kepada Hizbut Tahrir Indonesia. Padahal, keputusan resmi Muhammadiyah pada Muktamar 2015 menyebutkan, “Negara Pancasila sebagai Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah“. Indonesia adalah rumah bersama, sebagai hasil dari konsensus bangsa yang terdiri dari berbagai agama, suku, daerah, dan warna kulit. Tidak hanya sebagai rumah tempat mengukir perjanjian dan kesepakatan bersama, Indonesia adalah tempat mengabdi dan menunjukkan karya-karya terbaik.

Muhammadiyah hanya menuntut agar pengadilan dan pembubaran suatu ormas bisa jadi pendidikan dan pembelajaran bagi masyarakat tentang demokrasi yang baik. Muhammadiyah tak menginginkan sejarah buruk masa lampau terulang lagi; ketika partai politik dan ormas tertentu mendukung kebijakan-kebijakan antidemokrasi dari pemerintah, seperti dalam kasus pembubaran Partai Masyumi dan Murba pada zaman Orde Lama. Langkah yang pada ujungnya menghancurkan rezim itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan NKRI, Muhammadiyah sebetulnya sudah selesai dengan urusan ini. Sebagai bagian dari pendiri bangsa dan kelompok yang menumpahkan darah untuk berdirinya republik ini, Muhammadiyah sudah menunjukkan loyalitas dan darma baktinya kepada bangsa. Bukan hanya dalam slogan, meme, atau kata-kata, melainkan dalam langkah nyata, kerja, dan amal usaha. Memang, saat ini perlu upaya lebih keras lagi untuk menunjukkan nasionalisme dan keislaman kita yang moderat.

Seperti dikatakan Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Muslim moderat saat ini masih terlalu banyak diam dan karena itu “Kita harus menjadi moderat yang radikal”. Ini terutama karena kelompok intoleran semakin lantang dan berani.

Dalam beberapa aspek, terkait kasus Aceh, keislaman Muhammadiyah memang berbeda dari kelompok Islam lain. Sebagai gerakan Islam non-mazhab, Muhammadiyah tentu berbeda dari gerakan Islam lain yang memilih untuk bermazhab. Namun, Muhammadiyah bukanlah Wahabi. Muhammadiyah menggabungkan purifikasi dan dinamisasi. Ini yang menyebabkan gerakan ini disebut reformis dan modernis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar