Jumat, 03 November 2017

Keberhasilan dan Tantangan Partai Komunis China

Keberhasilan dan Tantangan Partai Komunis China
Novi Basuki  ;   Mahasiswa Program Doktor di Sun Yat-sen University China
                                                DETIKNEWS, 02 November 2017



                                                           
Kongres Nasional ke-19 Partai Komunis China (PKC) selesai dihelat pada pekan lalu. Suksesi kepemimpin partai sebagai agenda terpentingnya berjalan mulus. Satu pertanyaan menarik diajukan: mengapa setelah sejak 1989 satu per satu pemerintahan komunis di dunia tumbang, PKC mampu bertahan hingga kini, dan bahkan menjadikan China sebagai kekuatan global saingan utama Amerika?

Kunci Sukses PKC

Dalam bukunya, Zhongguo Moshi: Jingyan yu Tiaozhan (2016), Direktur East Asian Institute pada National University of Singapore Zheng Yongnian menyuguhkan tiga jawaban. Pertama, kemauan belajar dari kesuksesan dan kegagalan partai lain. David Shambaugh (2008) mengungkap, pasca-kehancuran Uni Soviet, PKC daerah sampai pusat bertahun-tahun menggelar riset akbar menelusuri penyebabnya untuk dijadikan pelecut agar di kemudian hari tidak bernasib sama. Mereka menyimpulkan, penyebab utama kolapsnya Uni Soviet adalah gegabah meniru sistem politik dan ekonomi ala negara Barat tanpa memedulikan ketidaksamaan dirinya dengan panutannya.

PKC berpendapat, mustahil satu macam sistem cocok dipakai untuk semua negara. Alasannya, kondisi domestik setiap negara berbeda-beda. Tapi, bukan berarti dilarang mengadopsi unsur baik dari negara lain untuk coba diterapkan di negeri sendiri. Asalkan, efek yang ditimbulkan sesudah diaplikasikan harus dijadikan tolok ukur baik-buruknya. Maksudnya, jika membawa kemajuan setelah diimplementasikan, maka sistem itu baik; namun apabila sebaliknya, maka sistem itu buruk dan karenanya tak layak untuk lanjut digunakan. Intinya, "Tak peduli kucing hitam atau kucing putih," kata arsitek China modern Deng Xiaoping, "yang bisa menangkap tikus itulah kucing yang bagus."

Kedua, kemauan beradaptasi dengan perubahan situasi. Bagi PKC, juga tak ada satu sistem apapun yang tak butuh koreksi. Bagaimanapun, suatu sistem harus terus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Ketika Republik Rakyat China baru berdiri, PKC di bawah komando Mao Zedong yang utopis mengadopsi sistem ekonomi sosialis gaya Uni Soviet dengan tujuan secepat mungkin mewujudkan masyarakat komunis yang sama rata sama rasa. Ironisnya, justru berujung pada kemelaratan di mana-mana, lantaran negara terlampau kuat mencengkeram ruang gerak sektor swasta melalui pemusatan kepemilikan dan penggunaan mayoritas faktor produksi pada BUMN semata.

Ketika kembali memegang kekuasaan selepas dimarginalkan Mao pada masa Revolusi Kebudayaan, Deng yang pragmatis merombak kebijakan Mao karena terbukti lebih banyak mudaratnya setelah diterapkan. Deng menegaskan, "pinqiong bushi shehuizhuyi" —miskin bukanlah sosialisme. Deng berprinsip, "zhifu shi guangrong de" —menjadi kaya adalah mulia. Karena itu, entrepreneurship rakyat China yang mengakar sejak lampau harus dibangkitkan kembali dengan membiarkan mereka seleluasa mungkin melakukan aktivitas perekonomian.

Caranya, elemen-elemen positif dari sistem ekonomi pasar yang dulu diharamkan Mao karena dipandang sebagai wujud dari kapitalisme mesti diserap dan coba dipraktikkan di China untuk menciptakan iklim usaha yang sehat minim campur tangan negara. Namun, negara bukan berarti sepenuhnya lepas kontrol seperti di negara-negara Barat. Antara pasar dengan negara harus berpadu seimbang seperti filosofi yin dan yang. Apa yang kelak dinamai sistem ekonomi pasar sosialis (shehuizhuyi shichang jingji) inilah, sejak diterapkan pada 1980-an, berhasil menyelamatkan sedikitnya 800 juta rakyat China dari jurang kemiskinan.

Terakhir, kemauan untuk bertransformasi. Tatkala kelas menengah yang acap dianggap pendukung utama demokrasi membesar seiring reformasi ekonomi, PKC dituntut bisa mentransformasikan diri menjadi partai yang tak lagi "semau gue", namun mau menerima kebiasaan bernegosiasi dan berkompromi yang merupakan ciri khas demokrasi.

Walaupun, dengan bersandar pada karakteristik budaya China yang lebih menitikberatkan harmoni dan kolektivitas, PKC merasa tak sreg dengan demokrasi liberal yang mensyaratkan, salah satunya, sistem multipartai. Demokrasi, menurut PKC, tak melulu harus berwujud begitu. Yang terpenting esensi demokrasi, yakni pemerintahan yang bisa menyejahterakan rakyat, terbentuk. Soal bagaimana mengejawantahkannya; antara satu negara dengan negara lain bebas memilih jalannya masing-masing.

Karena itu, ketimbang pertarungan antarpartai, sejak 2003 PKC lebih memilih menciptakan model demokrasinya sendiri: demokrasi intrapartai (dangnei minzhu). Apa yang dimaksud dengan demokrasi intrapartai ini adalah perundingan kepentingan beragam aktor politik dalam satu arena bernama PKC. Kepentingan tak sama tidak perlu membentuk partai berbeda buat berlaga di luar melalui pemilihan umum. Untuk itu, keanggotaan PKC sekarang tidak lagi dibatasi pada kaum proletar, melainkan meluas kepada siapapun, termasuk kelas borjuis yang dahulu jadi musuh bebuyutannya. PKC berkomitmen melalui konsep Tiga Perwakilan yang dicetuskan Jiang Zemin pada 2002, mampu "merepsentasikan kepentingan rakyat China seluas-luasnya" tanpa pandang suku, pendidikan, pekerjaan, ataupun background lainnya.

Beberapa Rintangan

Kendati demikian, ke depan, PKC bukan tak dihadang aral. Pertama, laju pertumbuhan ekonomi dua digit yang puluhan tahun menjadi basis legitimasi PKC sebagai ruling party di China melambat. Kini, sulit bagi petinggi PKC meneruskan pola penyuntikan dana talangan untuk mendongkrak lambannya perekonomian seperti yang pernah dilakukan mereka pada 2008 ketika dunia ditimpa krisis finansial. Pasalnya, hal ini justru berbuntut pada menggelembungnya utang China yang menurut Bloomberg edisi 2 Agustus 2017 telah mendekati USD 29 triliun, atau sekitar 258 persen dari produk domestik bruto China. Kondisi demikian kian diperunyam oleh perusahaan-perusahaan milik pemerintah yang notabene debitur utama, menderita kelebihan kapasitas produksi di saat permintaan global sedang menurun.

Kedua, melebarnya ketimpangan miskin-kaya lantaran pembangunan dan distribusi pendapatan tidak merata. Bahwa reformasi ekonomi telah menjadikan China kaya seketika adalah benar adanya. Sayangnya, berbarengan dengan membesarnya kue ekonomi itu, rasio Gini yang di masa awal diberlakukannya reformasi ekonomi masih 0,3 justru ikut melejit ke 0,61, sebagaimana diumumkan Southwest University of Finance and Economics di Chengdu pada 2012. Level ini jauh melampaui angka aman 0,4 yang dipatok Bank Dunia. Kesenjangan tersebut, di tengah lesunya ekonomi yang berdampak pada menyempitnya ketersediaan lapangan kerja, dikhawatirkan dapat menyulut gejolak sosial yang bisa mengancam stabilitas nasional.

Ketiga, masifnya laku korup kader PKC di hampir segala tingkat. Walaupun genderang perang melawan korupsi sudah ditabuh sejak Xi Jinping bertakhta pada 2012, namun koruptor PKC seperti tak habis-habis diciduk. Data yang dirilis Komite Disiplin Partai (CCDI) belum lama ini menunjukkan, dari 2013 sampai Juni 2017, sebanyak 280 lebih pejabat tingkat pusat, 8.600 lebih tingkat provinsi, 66.000 lebih tingkat kabupaten, serta 1,34 juta lebih tingkat kelurahan dan ke bawah, dijatuhi hukuman karena kasus rasuah. Mampukah PKC mengarungi alangan-alangan itu? Tak ada yang tahu. Yang pasti, dari dulu, segala prediksi yang menyatakan PKC segera kolaps, belum terbukti sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar