Keberhasilan
dan Tantangan Partai Komunis China
Novi Basuki ; Mahasiswa Program
Doktor di Sun Yat-sen University China
|
DETIKNEWS,
02 November
2017
Kongres Nasional ke-19 Partai Komunis
China (PKC) selesai dihelat pada pekan lalu. Suksesi kepemimpin partai
sebagai agenda terpentingnya berjalan mulus. Satu pertanyaan menarik
diajukan: mengapa setelah sejak 1989 satu per satu pemerintahan komunis di
dunia tumbang, PKC mampu bertahan hingga kini, dan bahkan menjadikan China
sebagai kekuatan global saingan utama Amerika?
Kunci Sukses PKC
Dalam bukunya, Zhongguo Moshi:
Jingyan yu Tiaozhan (2016), Direktur East Asian Institute pada National
University of Singapore Zheng Yongnian menyuguhkan tiga jawaban. Pertama,
kemauan belajar dari kesuksesan dan kegagalan partai lain. David Shambaugh
(2008) mengungkap, pasca-kehancuran Uni Soviet, PKC daerah sampai pusat
bertahun-tahun menggelar riset akbar menelusuri penyebabnya untuk dijadikan
pelecut agar di kemudian hari tidak bernasib sama. Mereka menyimpulkan,
penyebab utama kolapsnya Uni Soviet adalah gegabah meniru sistem politik dan
ekonomi ala negara Barat tanpa memedulikan ketidaksamaan dirinya dengan
panutannya.
PKC berpendapat, mustahil satu
macam sistem cocok dipakai untuk semua negara. Alasannya, kondisi domestik
setiap negara berbeda-beda. Tapi, bukan berarti dilarang mengadopsi unsur
baik dari negara lain untuk coba diterapkan di negeri sendiri. Asalkan, efek
yang ditimbulkan sesudah diaplikasikan harus dijadikan tolok ukur
baik-buruknya. Maksudnya, jika membawa kemajuan setelah diimplementasikan,
maka sistem itu baik; namun apabila sebaliknya, maka sistem itu buruk dan
karenanya tak layak untuk lanjut digunakan. Intinya, "Tak peduli kucing
hitam atau kucing putih," kata arsitek China modern Deng Xiaoping,
"yang bisa menangkap tikus itulah kucing yang bagus."
Kedua, kemauan beradaptasi
dengan perubahan situasi. Bagi PKC, juga tak ada satu sistem apapun yang tak
butuh koreksi. Bagaimanapun, suatu sistem harus terus disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Ketika Republik Rakyat China baru berdiri, PKC di bawah
komando Mao Zedong yang utopis mengadopsi sistem ekonomi sosialis gaya Uni
Soviet dengan tujuan secepat mungkin mewujudkan masyarakat komunis yang sama
rata sama rasa. Ironisnya, justru berujung pada kemelaratan di mana-mana,
lantaran negara terlampau kuat mencengkeram ruang gerak sektor swasta melalui
pemusatan kepemilikan dan penggunaan mayoritas faktor produksi pada BUMN
semata.
Ketika kembali memegang
kekuasaan selepas dimarginalkan Mao pada masa Revolusi Kebudayaan, Deng yang
pragmatis merombak kebijakan Mao karena terbukti lebih banyak mudaratnya
setelah diterapkan. Deng menegaskan, "pinqiong bushi shehuizhuyi"
—miskin bukanlah sosialisme. Deng berprinsip, "zhifu shi guangrong
de" —menjadi kaya adalah mulia. Karena itu, entrepreneurship rakyat
China yang mengakar sejak lampau harus dibangkitkan kembali dengan membiarkan
mereka seleluasa mungkin melakukan aktivitas perekonomian.
Caranya, elemen-elemen positif
dari sistem ekonomi pasar yang dulu diharamkan Mao karena dipandang sebagai
wujud dari kapitalisme mesti diserap dan coba dipraktikkan di China untuk
menciptakan iklim usaha yang sehat minim campur tangan negara. Namun, negara
bukan berarti sepenuhnya lepas kontrol seperti di negara-negara Barat. Antara
pasar dengan negara harus berpadu seimbang seperti filosofi yin dan yang. Apa
yang kelak dinamai sistem ekonomi pasar sosialis (shehuizhuyi shichang
jingji) inilah, sejak diterapkan pada 1980-an, berhasil menyelamatkan
sedikitnya 800 juta rakyat China dari jurang kemiskinan.
Terakhir, kemauan untuk
bertransformasi. Tatkala kelas menengah yang acap dianggap pendukung utama
demokrasi membesar seiring reformasi ekonomi, PKC dituntut bisa
mentransformasikan diri menjadi partai yang tak lagi "semau gue",
namun mau menerima kebiasaan bernegosiasi dan berkompromi yang merupakan ciri
khas demokrasi.
Walaupun, dengan bersandar pada
karakteristik budaya China yang lebih menitikberatkan harmoni dan
kolektivitas, PKC merasa tak sreg dengan demokrasi liberal yang mensyaratkan,
salah satunya, sistem multipartai. Demokrasi, menurut PKC, tak melulu harus
berwujud begitu. Yang terpenting esensi demokrasi, yakni pemerintahan yang
bisa menyejahterakan rakyat, terbentuk. Soal bagaimana mengejawantahkannya;
antara satu negara dengan negara lain bebas memilih jalannya masing-masing.
Karena itu, ketimbang pertarungan
antarpartai, sejak 2003 PKC lebih memilih menciptakan model demokrasinya
sendiri: demokrasi intrapartai (dangnei minzhu). Apa yang dimaksud dengan
demokrasi intrapartai ini adalah perundingan kepentingan beragam aktor
politik dalam satu arena bernama PKC. Kepentingan tak sama tidak perlu
membentuk partai berbeda buat berlaga di luar melalui pemilihan umum. Untuk
itu, keanggotaan PKC sekarang tidak lagi dibatasi pada kaum proletar,
melainkan meluas kepada siapapun, termasuk kelas borjuis yang dahulu jadi musuh
bebuyutannya. PKC berkomitmen melalui konsep Tiga Perwakilan yang dicetuskan
Jiang Zemin pada 2002, mampu "merepsentasikan kepentingan rakyat China
seluas-luasnya" tanpa pandang suku, pendidikan, pekerjaan, ataupun
background lainnya.
Beberapa Rintangan
Kendati demikian, ke depan, PKC
bukan tak dihadang aral. Pertama, laju pertumbuhan ekonomi dua digit yang
puluhan tahun menjadi basis legitimasi PKC sebagai ruling party di China
melambat. Kini, sulit bagi petinggi PKC meneruskan pola penyuntikan dana
talangan untuk mendongkrak lambannya perekonomian seperti yang pernah
dilakukan mereka pada 2008 ketika dunia ditimpa krisis finansial. Pasalnya,
hal ini justru berbuntut pada menggelembungnya utang China yang menurut
Bloomberg edisi 2 Agustus 2017 telah mendekati USD 29 triliun, atau sekitar
258 persen dari produk domestik bruto China. Kondisi demikian kian diperunyam
oleh perusahaan-perusahaan milik pemerintah yang notabene debitur utama,
menderita kelebihan kapasitas produksi di saat permintaan global sedang
menurun.
Kedua, melebarnya ketimpangan
miskin-kaya lantaran pembangunan dan distribusi pendapatan tidak merata.
Bahwa reformasi ekonomi telah menjadikan China kaya seketika adalah benar
adanya. Sayangnya, berbarengan dengan membesarnya kue ekonomi itu, rasio Gini
yang di masa awal diberlakukannya reformasi ekonomi masih 0,3 justru ikut
melejit ke 0,61, sebagaimana diumumkan Southwest University of Finance and
Economics di Chengdu pada 2012. Level ini jauh melampaui angka aman 0,4 yang
dipatok Bank Dunia. Kesenjangan tersebut, di tengah lesunya ekonomi yang
berdampak pada menyempitnya ketersediaan lapangan kerja, dikhawatirkan dapat
menyulut gejolak sosial yang bisa mengancam stabilitas nasional.
Ketiga, masifnya laku korup
kader PKC di hampir segala tingkat. Walaupun genderang perang melawan korupsi
sudah ditabuh sejak Xi Jinping bertakhta pada 2012, namun koruptor PKC
seperti tak habis-habis diciduk. Data yang dirilis Komite Disiplin Partai
(CCDI) belum lama ini menunjukkan, dari 2013 sampai Juni 2017, sebanyak 280
lebih pejabat tingkat pusat, 8.600 lebih tingkat provinsi, 66.000 lebih
tingkat kabupaten, serta 1,34 juta lebih tingkat kelurahan dan ke bawah,
dijatuhi hukuman karena kasus rasuah. Mampukah PKC mengarungi alangan-alangan
itu? Tak ada yang tahu. Yang pasti, dari dulu, segala prediksi yang
menyatakan PKC segera kolaps, belum terbukti sama sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar