Budayawan
dan Visi Kebudayaan yang
Tak
Pernah Tuntas
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan
menerjemah;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
10 November
2017
Jumlah budayawan semakin
banyak. Setidaknya, itulah yang tampak dari sekilas pandangan pada
poster-poster seminar yang tersebar di dinding kampus dan media sosial, juga
makin jamak tertulis sebagai identitas yang tersemat pada acara
debat-tainment televisi. Kadang-kadang, kita bertanya, sejak kapan si A
tiba-tiba jadi budayawan, karena di acara sebelumnya ia masih bergelar
pemerhati sosial. Siapa yang melantik budayawan, dan apa syarat-syarat
menjadi budayawan?
Budayawan, yang berasal dari
kata budaya itu seringkali salah dipertukarkan dengan seseorang yang
berprofesi sebagai seniman atau pengkaji kebudayaan. Akademisi, sebagai
sekadar seorang pencatat dinamika sosial dan pengetahuan yang berkembang di
masyarakat, juga sering mendapat lencana baru sebagai budayawan.
Budayawan adalah milik priyayi
dan elitis. Ia tidak pernah menghampiri masyarakat kelas bawah seperti kaum
tani dan pedagang. Di mana letak budaya, hakikat apa yang dimaksud oleh
festival budaya? Apakah budayawan merupakan sebuah profesi yang kemudian
patut memangguli sebentuk kode etik dan berhak atas pendapatan tertentu, atau
sebatas mitos pengagungan seseorang dalam sistem sosial tertentu?
Sementara itu, istilah polemik
kebudayaan telah diawali oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang berdebat dengan
Sanusi Pane dan para pengkaji budaya lain sejak zaman Orde Lama. Polemik yang
sesungguhnya telah memiliki akar selama berpuluh tahun masa Revolusi Fisik.
Pada masa Orde Baru, terminologi strategi kebudayaan menjadi tema utama untuk
mengerek sebuah nama bergelar doktor dan profesor. Selama berpuluh tahun,
irisan antara kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern senantiasa
ditarik-ulur.
Pada 2017, sebuah seminar di
universitas terbaik di Yogyakarta masih memakai istilah strategi kebudayaan
dengan mengundang Direktur Jenderal Kebudayaan untuk menyampaikan pidato
utama. Dalam pidato itu, Hilmar Farid sempat menyindir rendahnya budaya
literasi negara kita, sebaliknya juga menyindir tingginya budaya berkicau
masyarakat di sosial media. Klise. Ia kemudian mensosialisasikan RUU
Kebudayaan yang kemudian telah sah dalam ruang rapat paripurna DPR pada
28/4/2017 dan diubah nama menjadi UU Pemajuan Kebudayaan. Sayang, berita soal
ini memang kalah riuh dengan berita politik elektoral.
Mari kita simak penuturan Ketua
Komisi X DPR Teuku Refky Harsya tentang kemajuan dalam batok pikiran para
pengambil kebijakan ini. Pertama, kebudayaan merupakan investasi masa depan
dalam membangun peradaban bangsa. Karena itu, pemajuan kebudayaan Indonesia
bakal maju dan bertahan hingga usia bumi berakhir. Kedua, sistem pendataan
kebudayaan terpadu. Sistem data utama kebudayaan yang mengintegrasikan
seluruh data berbagai sumber serta kementerian dan lembaga.
Telah jelas, kata kuncinya
adalah investasi dan sistem data. Sehingga, kita patut bercuriga bahwa fokus
pengembangan kebudayaan daerah adalah kegiatan yang "menjual",
sejenis objektifikasi lokasi pariwisata. Budaya yang berasal dari kata
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) telah
tercerabut terlalu jauh dari asalnya. Budaya bukan lagi sebuah proses yang
mengembangkan akal budi atau ilmu pengetahuan.
Para pemangku kebijakan tidak
pernah melihat petani sebagai masyarakat yang paling berhak pada gelar
budayawan. Padahal, petani adalah penemu sesungguhnya pengetahuan dan
teknologi. Petani sebagai pemulia tanaman adalah tukang seleksi paling ulung,
pengamat paling jeli, dan pengambil keputusan paling tangkas. Misal, ketika
ada tanaman padi gogo yang disinyalir tidak asli karena pengaruh serbukan
padi lain, maka tugas pemulia adalah menemukan kembali varietas gogo unggul
yang benar-benar asli gogo. Para peneliti boleh disebut memiliki peran,
tetapi petani sebagai pewaris budaya adalah pihak yang mengenali
keanekaragaman plasma nutfah yang berpotensi melahirkan kultivar baru.
UU Pemajuan Kebudayaan yang
condong kepada investasi adalah pintu pembuka bagi semakin hilangnya satu per
satu ilmu pengetahuan dan teknologi dari suatu bangsa. Menurut kebijakan
investasi, yang kelak akan memunculkan istilah aset dibanding potensi,
kekayaan luhur lama yang wajib terus dikembangkan menjadi tidak penting,
sebab tak lebih mantap dari festival, pameran, kunjungan, dan pesta.
Apa lagi makna yang lebih
mengerikan dari hilangnya satu ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa?
Adalah bangsa yang kehilangan otentisitas. Bangsa yang terdiri banyak kepala
manusia yang memiliki akal budi namun tidak diizinkan berkembang. Bangsa yang
menjadi pengekor standar ekonomi dan kebijakan negara lain.
Di masa lalu kita mengenal
revolusi hijau atau revolusi agraria. Sebuah kebijakan yang mengkampanyekan
suatu perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern
untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Modern, ternyata adalah cara
untuk memperalat ilmu pengetahuan sang petani budayawan kita. Prosesnya
kira-kira sejalan dengan teori Arthuro Escobar mengenai strategi penaklukan
dunia ketiga. Pertama, abnormalisasi. Petani diyakinkan bahwa cara-cara lama
mereka secara organik dan tepat perhitungan alam dalam bertani adalah salah
dan tidak maju. Doktrin itu lalu dibungkus dengan langkah kedua, yakni
konseptualisasi keyakinan itu melalui seminar dan buku-buku yang diterbitkan
oleh akademisi universitas.
Mereka mengkampanyekan cara
bertani modern dengan mesin, dengan pupuk kimia dan langkah-langkah yang
berkebalikan dengan cara tradisional. Sebagai penutup, dua langkah itu
disempurnakan dengan aparatisasi, yakni sebentuk kebijakan lewat
undang-undang, yang jikalau perlu, sampai menyebut pewajiban terhadap merek
pupuk atau mesin tertentu agar kerja sama dengan industri berjalan lancar.
Foucault meringkas tiga tahapan itu dalam keyakinan bahwa kehendak ilmu
pengetahuan pada kebenaran selalu sejalan dengan kehendak berkuasa.
Jelas sudah bahwa sesungguhnya
budaya adalah ihwal kompleks. Sebuah denyut kehidupan berbangsa. Bukan
sekadar istilah yang menyambung kata-kata populis menjadi frase budaya
korupsi, budaya barat, budaya media sosial, atau budaya anak muda masa kini.
Hendaknya, ia juga lebih dari arak-arakan pakaian tradisional atau festival
kuliner. Apalagi sekadar pemanis identitas seorang yang tak pernah membaui
tanah dan air negerinya sendiri seperti petani.
Tampaknya, setelah sejak lama
berpolemik, lalu berstrategi dan hingga sampai pada masa memajukan, kita
selalu tidak tuntas memahami visi kebudayaan. Semoga masih selalu ada waktu
bagi bangsa ini untuk merasa bersalah dan belajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar