Mengkritisi
Registrasi Kartu Selular
Soleman B Ponto ; Kepala Badan Intelijen
Strategis (Ka-BAIS) TNI
periode 2011-2013
|
DETIKNEWS,
13 November
2017
Argumentasi dan niat pemerintah
tentang registrasi ulang dan baru bagi pengguna kartu prabayar telepon
selular di satu sisi perlu diberi apresiasi. Namun, di sisi lain kebijakan
ini harus dikritisi. Diapresiasi karena registrasi kartu prabayar dapat membantu
penegak hukum dalam hal mengusut kejahatan siber di tengah merebaknya konten
negatif yang banyak merugikan moral dan material bangsa ini. Dikritisi karena
proses registrasi ini memberi peluang kejahatan yang justru (bisa jadi) lebih
dahsyat dari niat baiknya. Sebuah paradoks yang harusnya tidak sampai
terjadi.
Pemerintah idealnya memberikan
apresiasi kepada masyarakat, khususnya yang begitu antusias melakukan
registrasi. Sejak pengumuman ini dibuka, tidak lebih dari seminggu sudah ada
47 juta yang melakukan registrasi. Padahal registrasi ulang ini rentang
waktunya relatif lama, hingga Februari 2018. Dari 47 juta angka tersebut
tidak disebutkan berapa banyak yang berhasil melakukan registrasi secara
langsung alias online, dan berapa yang harus melakukan mendaftarkan diri
secara manual, datang ke gerai atau counter membawa dokumen diri dan dibantu
petugas untuk melakukan registrasi ulang.
Mengapa disebut sebagai sebuah
paradoks? Mari kita cermati bersama. Selain hal teknis seperti ketik Reg
kirim ke xxx dan seterusnya untuk masing-masing operator, ada hal fundamental
yang sebelumnya sempat beredar di media sosial tentang permintaan data 'nama
ibu kandung'. Data ini sebenarnya menjadi sangat penting dan rahasia dalam
hal transaksi keuangan/perbankan. Pemerintah secara tegas mengumumkan bahwa
nama ibu kandung tidak dibutuhkan dalam proses registrasi online.
Pasal 5 titik C Peraturan
Menteri komunikasi dan informatika Republik Indonesia nomor 14 tahun 2017
tentang registrasi pelanggan jasa telekomunikasi menyatakan, dalam hal
registrasi normal tidak dibutuhkan Kartu Keluarga (di dalamnya tercantum nama
ibu Kandung). Proses registrasi hanya membutuhkan Nomor Induk Kependudukan
(NIK).
Sampai di sini aturan tersebut
konsisten tidak menyebutkan nama ibu kandung. Namun permasalahan besar muncul
dalam hal pelaksanaannya, dimana untuk registrasi, selain NIK juga dibutuhkan
Kartu Keluarga, yang di dalamnya ada nama ibu kandung. Pada pasal 5 titik C
titik b) titik 1) dan pasal 8 titik b, juga diatur bahwa apabila registrasi
normal gagal, maka perlu mengisi formulir yang formatnya diatur pada lampiran
peraturan menteri nomor 14 tahun 2017 tersebut.
Pada lampiran aturan tersebut
dinyatakan bahwa (jika gagal) Registrasi dilakukan melalui gerai oleh petugas
gerai yang ditunjuk oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi atau Mitra. Di
sini secara tegas dinyatakan dibutuhkan Nama ibu kandung atau Kartu Keluarga
(KK) dimana secara jelas nama ibu kandung tercantum di dalamnya. Bahkan tidak
hanya itu, masyarakat juga diminta untuk melakukan tanda tangan.
Di sinilah permasalahan yang
harus dijawab. Bisa saja proses normal secara online yang tidak membutuhkan
KK, alias nama ibu kandung dibuat atau diskenariokan 'gagal', sehingga
memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendaftar secara manual, mendatangi
gerai dan memberikan data yang memberikan peluang munculnya aksi kriminal
minimal terkait transaksi perbankan.
Dalam transaksi perbankan,
termasuk di dalamnya kartu kredit, setidaknya dalam hal melakukan komunikasi
melalui telepon, semua data yang ada di Kartu Keluarga khususnya nama ibu
kandung diminta secara jelas. Di sinilah tingkat bahayanya. Kondisi inilah
yang justru menjadi paradoks bagi niat baik pemerintah dalam hal menghindari
kejahatan siber di satu sisi, namun memberikan peluang, mengungkap secara
gamblang data rahasia pribadi, yang dapat digunakan untuk kejahatan
perbankan. Apalagi kalau kita melihat dari perspektif yang lebih jauh bahwa
hampir semua operator yang beroperasi di Indonesia, sebagian sahamnya milik
asing.
Secara tidak langsung,
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia nomor 14
tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika nomor 12 tahun 2016 tentang registrasi pelanggan jasa
telekomunikasi, justru merupakan alat ampuh memaksa rakyat untuk membuka
rahasia pribadi yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain minimal untuk
kejahatan perbankan.
Lantas di mana privasi kita? Di
mana perlindungan pemerintah bagi keamanan siber rakyatnya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar