Kamis, 09 November 2017

Bonus Demografi dan Kebangkitan Kaum Muda

Bonus Demografi dan Kebangkitan Kaum Muda
A Halim Iskandar  ;   Ketua DPW PKB dan DPRD Jawa Timur
                                                   JAWA POS, 03 November 2017



                                                           
SALAH satu isu yang gagal jadi trending topic isu kependudukan dan kepemudaaan adalah bonus demografi. Padahal, bonus demografi adalah momentum bagi generasi muda ’’ zaman now’’ untuk merevitalisasi spirit kebangkitan pemuda sebagaimana dirintis pendahulunya 89 tahun silam.

Dalam literatur studi kependudukan, yang dimaksud dengan bonus demografi adalah potensi keuntungan dalam sebuah struktur kependudukan yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk muda/produktif dalam evolusi kependudukan yang dialami negara tersebut (Bloom et. al, 1999).

Indonesia menjadi salah satu negara yang diperkirakan mendapatkan bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan dikarenakan kebijakan pemerintah dalam hal kependudukan beberapa tahun silam berdampak pada meningkatnya level kesehatan dan angka harapan hidup.

Dalam hal ini, Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang akan menikmati bonus demografi. Mengacu pada data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010–2035 yang dirilis oleh Bappenas dan BPS (2013), pada tahun 2015 diasumsikan terdapat 69,3 persen pen- duduk produktif di Jatim dari total populasi sebesar 38.847.600 jiwa. Sedangkan pada tahun 2020 diproyeksikan terdapat 69,5 persen penduduk produktif di Jatim dari total populasi sebesar 39.886.300 jiwa.

Pendidikan dan Daya Saing

Sekalipun disebut bonus, terminologi ’’bonus’’ dalam konteks ini tidak bermakna pemberian secara cuma-cuma. Bonus demografi dalam konteks ini harus kita maknai sebagai peluang dan tantangan, yang harus kita songsong dengan kerja keras semua komponen. Apabila kita gagal mengonversi bonus demografi tersebut menjadi peningkatan produktivitas dan peningkatan indeks pembangunan manusia, yang terjadi adalah bencana demografi, yakni stok penduduk muda/produktif melimpah namun tidak berdampak apa-apa terhadap pertumbuhan dan pemerataan pembangunan.

Karena itu, agar bonus tersebut tidak hangus menjadi bencana, sejak sekarang kita harus bersiap diri. Salah satunya dengan memperbaiki berbagai komponen yang terkait dengan kualitas SDM kita. Terutama masih lemahnya daya saing kaum muda ’’ zaman now’’ dalam kontestasi regional maupun global.

Berdasar laporan indeks daya saing global yang dirilis Forum Ekonomi Dunia tahun 2017, dari aspek indikator pendidikan tinggi dan pelatihan, Indonesia berada di urutan ke-64 dari 137 negara. Sedangkan menurut kajian Kemenristekdikti, tenaga kerja lulusan perguruan tinggi di Indonesia sekitar 11 persen. Bandingkan dengan Malaysia yang jumlahnya sudah 20 persen lebih. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang berusia produktif kurang kompetitif.

Sebagaimana dijelaskan Rutger van der Ven dan Jeroen Smith dalam buku The Demographic Windows of Opportunity: Age Structure and SubNational Economic Growth in Developing Countries (2011), kualitas pendidikan merupakan salah satu variabel pokok bagi sebuah negara untuk sukses memanfatkan bonus demografi. Sebab, pendidikan merupakan pilar dalam investment in human capital atau investasi dalam sektor pembangunan sumber daya manusia. Sedangkan investment in human capital merupakan pangkal dari peningkatan indeks daya saing SDM sebuah negara. Ringkasnya, pendidikan adalah salah satu variabel kunci penentu daya saing sebuah bangsa.

Problem Pendidikan

Harapan lama sekolah (HLS) merupakan lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan dapat dirasakan oleh anak pada usia tertentu (yang sedang mengikuti program pemerintah/program wajib belajar) di masa mendatang. HLS dapat digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap anak.

Tahun 2016, BPS mengeluarkan rilis data angka HLS, yang sudah mengakomodasi pesantren, sehingga anak usia sekolah yang sedang nyantri/mondok di pesantren dapat terhitung. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan angka HLS di Indonesia, termasuk di Jawa Timur. Bahkan, pertumbuhan HLS di Jatim melampaui rata-rata HLS nasional. Tahun 2010, HLS Indonesia sebesar 11,29 tahun, dan pada tahun 2016, HLS Indonesia meningkat menjadi 12,72 tahun. Di Jatim, HLS tahun 2010 sebesar 11,49 tahun, kemudin HLS 2016 meningkat menjadi 12,98 tahun.

Artinya, di Jatim, anak berusia 7 sampai 18 tahun di masa depan memiliki harapan untuk dapat menempuh pendidikan selama 12,98 tahun. Dengan kata lain, anak berusia 7 sampai 18 tahun di Jatim memiliki harapan untuk mengenyam pendidikan hingga semester II di perguruan tinggi, atau melebihi target program wajib belajar 12 tahun.

Namun, apabila dibandingkan dengan capaian HLS provinsi lain, HLS Jatim masih tertinggal cukup jauh. Salah satunya, HLS Jatim masih jauh di bawah HLS Provinsi DIY dan Maluku. Pada tahun 2016, HLS DI Yogyakarta dan Provinsi Maluku masing-masing mencapai 15,23 tahun dan 13,73 tahun.

Artinya, jika kita ingin melihat kembali kaum muda mencetak sejarahnya di bangsa ini, faktor pendidikan (termasuk capaian HLS) harus menjadi prioritas dalam desain pembangunan nasional dan daerah. Tanpa daya saing yang mumpuni, mustahil lahir generasi muda berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar