Bonus
Demografi dan Kebangkitan Kaum Muda
A Halim Iskandar ; Ketua DPW PKB dan DPRD
Jawa Timur
|
JAWA
POS, 03 November 2017
SALAH satu isu yang gagal jadi trending topic isu kependudukan
dan kepemudaaan adalah bonus demografi. Padahal, bonus demografi adalah
momentum bagi generasi muda ’’ zaman now’’ untuk merevitalisasi spirit
kebangkitan pemuda sebagaimana dirintis pendahulunya 89 tahun silam.
Dalam
literatur studi kependudukan, yang dimaksud dengan bonus demografi adalah
potensi keuntungan dalam sebuah struktur kependudukan yang dinikmati suatu
negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk muda/produktif dalam
evolusi kependudukan yang dialami negara tersebut (Bloom et. al, 1999).
Indonesia
menjadi salah satu negara yang diperkirakan mendapatkan bonus demografi dalam
beberapa tahun ke depan dikarenakan kebijakan pemerintah dalam hal
kependudukan beberapa tahun silam berdampak pada meningkatnya level kesehatan
dan angka harapan hidup.
Dalam
hal ini, Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang akan menikmati bonus
demografi. Mengacu pada data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010–2035 yang
dirilis oleh Bappenas dan BPS (2013), pada tahun 2015 diasumsikan terdapat
69,3 persen pen- duduk produktif di Jatim dari total populasi sebesar
38.847.600 jiwa. Sedangkan pada tahun 2020 diproyeksikan terdapat 69,5 persen
penduduk produktif di Jatim dari total populasi sebesar 39.886.300 jiwa.
Pendidikan
dan Daya Saing
Sekalipun
disebut bonus, terminologi ’’bonus’’ dalam konteks ini tidak bermakna
pemberian secara cuma-cuma. Bonus demografi dalam konteks ini harus kita
maknai sebagai peluang dan tantangan, yang harus kita songsong dengan kerja
keras semua komponen. Apabila kita gagal mengonversi bonus demografi tersebut
menjadi peningkatan produktivitas dan peningkatan indeks pembangunan manusia,
yang terjadi adalah bencana demografi, yakni stok penduduk muda/produktif
melimpah namun tidak berdampak apa-apa terhadap pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan.
Karena
itu, agar bonus tersebut tidak hangus menjadi bencana, sejak sekarang kita
harus bersiap diri. Salah satunya dengan memperbaiki berbagai komponen yang
terkait dengan kualitas SDM kita. Terutama masih lemahnya daya saing kaum
muda ’’ zaman now’’ dalam kontestasi regional maupun global.
Berdasar
laporan indeks daya saing global yang dirilis Forum Ekonomi Dunia tahun 2017,
dari aspek indikator pendidikan tinggi dan pelatihan, Indonesia berada di
urutan ke-64 dari 137 negara. Sedangkan menurut kajian Kemenristekdikti,
tenaga kerja lulusan perguruan tinggi di Indonesia sekitar 11 persen.
Bandingkan dengan Malaysia yang jumlahnya sudah 20 persen lebih. Hal ini
menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang berusia produktif kurang
kompetitif.
Sebagaimana
dijelaskan Rutger van der Ven dan Jeroen Smith dalam buku The Demographic
Windows of Opportunity: Age Structure and SubNational Economic Growth in
Developing Countries (2011), kualitas pendidikan merupakan salah satu
variabel pokok bagi sebuah negara untuk sukses memanfatkan bonus demografi.
Sebab, pendidikan merupakan pilar dalam investment in human capital atau
investasi dalam sektor pembangunan sumber daya manusia. Sedangkan investment
in human capital merupakan pangkal dari peningkatan indeks daya saing SDM
sebuah negara. Ringkasnya, pendidikan adalah salah satu variabel kunci
penentu daya saing sebuah bangsa.
Problem
Pendidikan
Harapan
lama sekolah (HLS) merupakan lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan
dapat dirasakan oleh anak pada usia tertentu (yang sedang mengikuti program
pemerintah/program wajib belajar) di masa mendatang. HLS dapat digunakan
untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai jenjang
yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan yang diharapkan dapat
dicapai oleh setiap anak.
Tahun
2016, BPS mengeluarkan rilis data angka HLS, yang sudah mengakomodasi
pesantren, sehingga anak usia sekolah yang sedang nyantri/mondok di pesantren
dapat terhitung. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan angka HLS di Indonesia,
termasuk di Jawa Timur. Bahkan, pertumbuhan HLS di Jatim melampaui rata-rata
HLS nasional. Tahun 2010, HLS Indonesia sebesar 11,29 tahun, dan pada tahun
2016, HLS Indonesia meningkat menjadi 12,72 tahun. Di Jatim, HLS tahun 2010
sebesar 11,49 tahun, kemudin HLS 2016 meningkat menjadi 12,98 tahun.
Artinya,
di Jatim, anak berusia 7 sampai 18 tahun di masa depan memiliki harapan untuk
dapat menempuh pendidikan selama 12,98 tahun. Dengan kata lain, anak berusia
7 sampai 18 tahun di Jatim memiliki harapan untuk mengenyam pendidikan hingga
semester II di perguruan tinggi, atau melebihi target program wajib belajar
12 tahun.
Namun,
apabila dibandingkan dengan capaian HLS provinsi lain, HLS Jatim masih
tertinggal cukup jauh. Salah satunya, HLS Jatim masih jauh di bawah HLS
Provinsi DIY dan Maluku. Pada tahun 2016, HLS DI Yogyakarta dan Provinsi
Maluku masing-masing mencapai 15,23 tahun dan 13,73 tahun.
Artinya,
jika kita ingin melihat kembali kaum muda mencetak sejarahnya di bangsa ini,
faktor pendidikan (termasuk capaian HLS) harus menjadi prioritas dalam desain
pembangunan nasional dan daerah. Tanpa daya saing yang mumpuni, mustahil
lahir generasi muda berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar