Sekolah
yang Sulit Ditiru
AS Laksana ; Cerpenis dan Kolumnis
|
JAWA
POS, 06 November 2017
Kami berpapasan di tangga saat
dia naik dan saya hendak turun karena tidak menjumpai satu orang pun di
ruangan guru di lantai atas. Anne-Carine Kajan, kepala Sekolah Vallgrund
Daghem, kemudian mengajak saya masuk kelas demi kelas dan memperkenalkan saya
kepada murid-murid di sekolah dasar itu.
Murid kelas enam sedang membuat
gambar ilustrasi untuk buku sejarah yang baru mereka pelajari ketika saya
masuk. Dinding dan pintu kelas dipenuhi gambar-gambar para siswa. Di pojok
ruangan dekat peralatan musik, ada gambar-gambar ilustrasi yang dibuat di
atas halaman buku-buku cerita.
”Untuk pelajaran seni rupa,
kami antara lain meminta anak-anak membuat ilustrasi dari buku-buku yang
sudah mereka baca,” kata Anne, ”Mereka boleh menggambar apa saja, terserah
imajinasi mereka setelah membaca.”
Saya meminta izin untuk
memotret kegiatan mereka di kelas. ”Hanya untuk diri sendiri,” kata Anne. Ya,
kata saya, sekarang saya sudah tahu peraturannya. Hari sebelumnya, Maria,
salah seorang guru, mengingatkan dengan tutur halus ketika saya memotret
anak-anak yang sedang berdiri di pagar sekolah. Katanya, ”Anda harus meminta
izin orang tua mereka untuk memotret anak-anak itu.”
Pada hari itu sebetulnya saya
hanya berjalan-jalan di depan sekolah seperti yang saya lakukan beberapa hari
sebelumnya untuk melihat anak-anak berlarian di pelataran saat istirahat.
Matahari sedang cerah, anak-anak bermain di halaman, dan saya menyapa satu
anak yang berdiri dekat pagar. Dia mengulurkan tangan, mengajak bersalaman,
dan saya menanyakan namanya. ”Do you speak Swedish?” tanyanya, agak terbata.
Dia baru sepuluh tahun. ”Tidak,” jawab saya, ”Kau lebih pintar berbahasa
Swedia ketimbang saya.”
Kepulauan Kvarken adalah salah
satu wilayah di Finlandia yang orang-orangnya berbahasa Swedia dan pelajaran
sekolah disampaikan dalam bahasa Swedia. Beberapa anak kecil lain mendekat ke
pagar dan mengajak bersalaman. Lalu, saya memotret mereka dan pada saat
itulah Maria datang untuk mengingatkan. Saya memperkenalkan diri kepadanya,
menanyakan apakah saya boleh masuk untuk melihat-lihat kegiatan di dalam
kelas. ”Silakan, Anda bisa datang ke ruang guru,” katanya. ”Terima kasih,
saya akan datang lagi besok,” kata saya.
Hanya ada empat puluhan murid
di sana dari kelas satu sampai kelas enam, tujuh guru, serta beberapa asisten
yang bertugas membantu murid-murid tahun pertama dan kedua. Saya pernah
menanyakan kepada Patrik, tetangga sebelah, mana yang lebih bagus mutunya:
sekolah di Helsinki atau di Kvarken. Dia bilang sama, tetapi di tempat ini
muridnya lebih sedikit sehingga mereka bisa belajar dengan lebih intens.
Saya pikir tidak mungkin
menjawab dengan kalimat seperti itu jika ada orang yang menanyakan lebih
bagus mana mutu pendidikan antara di Jakarta dan Karimunjawa atau antara
Jogjakarta dan Biak.
Beberapa teman mengingatkan
sebelum saya berangkat, ”Coba dilihat bagaimana sekolah mereka dijalankan.”
Saya sudah melihat-lihat selama beberapa hari dan rasa-rasanya cara mereka
sulit diikuti karena terlalu bagus. Pemerintah menyangga semua biaya
pendidikan dari SD sampai nanti mereka lulus kuliah. Selama masa wajib
belajar sembilan tahun, seluruh keperluan sekolah bahkan disediakan oleh
pemerintah, termasuk antar-jemput dengan taksi jika di daerah itu tidak ada
bus.
Mereka membangun sekolah dengan
pemikiran bahwa pendidikan adalah jalan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pendidikan adalah prasyarat utama bagi sebuah negara untuk mendapatkan sumber
daya manusia yang makin baik dari waktu ke waktu. Karena itu, mutu
persekolahan harus bagus dan setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan sekolah bagus –di mana pun mereka tinggal.
Urusan saya keluar masuk kelas
hari itu berakhir di dapur sekolah. Anne mempertemukan saya dengan koki. Kami
bercakap-cakap sebentar dan si koki mengatakan bahwa lima belas menit lagi
makan siang siap. ”Berminat mencicipi makan siang kami?” tanyanya. ”Tentu
saja,” jawab saya.
”Setiap hari sekolah
menyediakan makan siang?” tanya saya.
”Ya,” jawab Anne.
”Gratis juga?”
”Ya.”
Berarti memang tidak bisa
diterapkan di Indonesia. Menyelenggarakan sistem pendidikan seperti itu
memerlukan kesadaran para penyelenggara negara bahwa sekolah yang bagus
adalah hak setiap warga negara, sekaya atau semelarat apa pun dia. Yang
sekarang bisa dilakukan di Indonesia paling adalah eksperimen-eksperimen
kecil, mungkin di tingkat kabupaten, oleh seorang bupati gila yang memiliki
kesadaran bahwa pendidikan yang bagus adalah hal yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
Sekolah-sekolah swasta mungkin
bisa menyelenggarakan pembelajaran yang jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan sekolah negeri. Tetapi, biaya untuk sekolah swasta yang baik biasanya
sangat mahal dan itu hanya bisa dijangkau keluarga kaya. Keluarga miskin,
yang hanya sanggup mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah negeri atau
sekolah swasta asal-asalan, akan selamanya bergelut dengan pendidikan yang
bermutu rendah dan tidak memberikan cukup bekal kepada mereka untuk bisa
hidup layak nanti.
Mereka paling banter akan
menjadi buruh dengan upah rendah seperti para buruh pabrik kembang api yang
baru saja terbakar di Tangerang, yang harus mengerjakan seribu bungkus
kembang api untuk mendapatkan upah hanya empat puluh ribu rupiah sehari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar