Pengakuan
Hak Masyarakat Adat
R Yando Zakaria ; Antropolog;
Penggagas dan Peneliti
pada Pusat Kajian Etnografi Hak-hak Komunitas Adat (Pustaka)
|
KOMPAS,
18 Oktober
2017
Pada 25-27 Oktober 2017 akan
diselenggarakan konferensi internasional tentang reformasi penguasaan lahan
dan hutan, di Jakarta.
Konferensi ini lanjutan dari
inisiatif serupa pada 2011 (Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia, 2011).
Hajatan ini perlu disambut dengan pertanyaan pokok: apa yang telah berubah
dalam rentang enam tahun terakhir? Pertanyaan ini valid mengingat, tak lama
setelah konferensi pertama, telah hadir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35
Tahun 2012 yang pada intinya berisikan putusan terkait judicial review yang
diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua komunitas adat
pendukungnya atas beberapa pasal UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
dinilai merugikan masyarakat adat.
Pada intinya putusan ini
berkesimpulan bahwa “hutan adat bukan hutan negara; hutan adat adalah bagian
dari wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; hak masyarakat adat diakui
jika masyarakat hukum adat itu telah ditetapkan dengan peraturan daerah”.
Pasca-putusan ini telah muncul beberapa instrumen hukum yang dimaksudkan
untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Terakhir Peraturan Presiden No
88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan.
Dinamika pembaruan kebijakan
itu seperti mengindikasikan suatu yang positif. Arizona (2015b) melaporkan
ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan advokasi hukum daerah
dalam jumlah hampir sama. Produk hukum daerah dimaksud berkaitan dengan upaya
(1) pengembangan/penguatan lembaga adat; (2) pengakuan terhadap wilayah
masyarakat hukum adat; (3) pengakuan terhadap keberadaan suatu masyarakat
hukum adat; (4) pengakuan sebagai unit pemerintahan.
Namun, pada kesempatan yang
lain Arizona (2015a) melaporkan pula bahwa meski 40 persen produk hukum
daerah itu berisi pengaturan tentang wilayah, tanah dan hutan adat, di
tingkat lapangan, total luas yang telah benar-benar efektif dikuasai
masyarakat adat baru sekitar 13.500 hektar saja.
Bahkan, melalui upacara
penyerahan surat keputusan menteri tentang penetapan hutan adat yang
dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada akhir tahun lalu, pertambahan luasan
kawasan hutan adat masih sekitar 13.000 hektar. Sepertiga dari luasan baru
itu malah berupa pencadangan saja. Sekadar perbandingan, menurut kalkulasi
AMAN, hutan adat yang berada di kawasan hutan negara itu diperkirakan
mencapai angka 40 juta hektar. Sekitar 25 persen dari total kawasan hutan di
Indonesia.
Logika hukum keliru?
Apakah logika hukum yang dianut
dalam putusan Mahkamah Konstitusi di atas telah sesuai dengan realitas sosial
di tingkat lapangan?
Dalam konteks Orang
Minangkabau, subyek hak (personal ataupun kelompok) atas obyek hak (berupa
tanah ulayat) sangatlah beragam. Subyek hak dalam konteks Orang Minangabau
bisa saja berupa kaum/buang gadang (keluarga luas yang berpangkal pada satu
nenek perempuan tertentu), suku/buek (gabungan kaum yang berasal dari garis
keturunan suku tertentu), atau nagari (kesatuan teritorial yang bersifat
genealogis).
Jenis tanah ulayat (disebut
sako atau pusako) juga beragam. Ada tanah ulayat kaum/buang gadang,
suku/buek, atau nagari. Masing-masing tanah ulayat itu memiliki organisasi
pengurusannya sendiri-sendiri. Perlu dicatat, sebuah nagari bisa terbentuk
jika sudah ada urang ampek jinih (sejumlah orang yang terbagi-bagi ke dalam
empat suku). Agar bisa dikategorikan sebagai suatu “faksi” dari suku tertentu
dalam pembentukan nagari, pada suku
tertentu itu sudah terdapat beberapa kaum (rata-rata saat ini setiap suku di
suatu nagari terdapat sekitar 10 kaum). Kini ada sekitar 650 nagari. Maka
akan terdapat pula sekitar 2.600 suku dan 26.000 kaum!
Sesuai amanat Putusan MK No
35/2012, apakah dibutuhkan satu peraturan daerah-dan/atau keputusan gubernur
atau bupati/wali kota-untuk setiap kaum/buah gadang, suku, buek, ataupun
nagari agar masing-masing pusako dapat diakui? Jika jawabannya “ya”, maka
bisa dibayangkan betapa sibuknya masyarakat adat dan pemerintah di negeri ini
untuk memenuhi amanat konstitusi itu.
Langkah-langkah ke depan
Ada beberapa hal yang dapat
ditempuh di masa depan. Masing-masing melakukan judicial review atas keberadaan Pasal 67 UU No 41/1999
perlu dipikirkan kembali. Tentu dengan argumen yang lain sama sekali dari
yang pernah digunakan dulu. Ruang legislasi (Rencana) Undang-Undang
Pertanahan yang tengah berproses juga perlu disiasati. Amanat UU No 41/1999 agar
segera disusun Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat juga bisa disiasati
sebagai “sasaran antara” yang lebih bersahabat pada kepentingan masyarakat
adat.
Tentu saja, dalam tindakan
strategis di tingkat nasional ini, sebuah peraturan perundang-undangan yang
mengatur soal pengakuan dan penghormatan atas berbagai hak masyarakat adat
sebagai suatu payung hukum, sebagaimana yang tengah diperjuangkan oleh AMAN
dalam beberapa tahun belakang ini, perlu dilanjutkan. Hal ini diperlukan juga
untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas hak-hak sosial dan budaya
masyarakat adat lainnya. Dengan catatan, UU tentang Pengakuan Hak-hak
Masyarakat Adat yang baru ini betul-betul didesain sedemikian rupa agar dapat
menjadi sumber hukum pengganti Putusan MK No 35/2012 yang terjebak “sesat
pikir” itu.
Terkait dengan pengakuan atas
hak-hak masyarakat hukum adat yang lebih spesifik, utamanya tanah dan hutan,
belajar dari kasus-kasus yang pernah ada, sepertinya kebijakan di tingkat
daerah perlu dirancang secara lebih teknis. Kebijakan yang ditujukan untuk
memberikan pengakuan dan penghormatan kepada keberadaan masyarakat hukum adat
dalam berbagai bentuk susunan dan hak-hak yang melekat kepadanya tak lagi
bisa hanya berupa kebijakan bersifat deklaratif, yang sekadar berisikan
rumusan hukum yang merupakan pengulangan dari apa yang telah disebutkan dalam
peraturan perundang-undangan yang dirujuk.
Dengan kata lain, kebijakan
daerah dimaksud sudah harus mampu memuat rincian siapa dan apa saja yang
dapat disebut sebagai subyek dan obyek hak
masyarakat hukum adat dalam tatanan sosial dan budaya yang
bersangkutan yang akan diakui di kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini
juga diperlukan untuk mendamaikan logika-logika hukum pada berbagai kebijakan
di tingkat nasional yang tidak selamanya sama itu.
Artinya, kebijakan di tingkat
daerah itu tidak lagi merupakan peraturan yang sekadar berisikan
definisi-definisi yang bersifat generik, tetapi telah memuat
kategori-kategori dan/atau bentuk-bentuk pengelompokan sosial yang dapat
disebut sebagai wujud “masyarakat hukum adat” di daerah itu; bentuk-bentuk
penggunaan sumber daya alam yang dapat dikategorikan sebagai obyek hak
masing-masing subyek hak; dan juga berbagai jenis hak yang dikenal dalam
kehidupan komunitas yang bersangkutan sehari-hari.
Rincian bentuk-bentuk konkret
dari obyek dan subyek hak serta hubungan yang konkret antara jenis hak dan
subyek hak yang beragam inilah yang seharusnya sudah tercantum dalam
peraturan daerah atau perangkat peraturan tingkat daerah lainnya. Dan, peraturan
daerah dimaksud mengatur mekanisme pengadministrasiannya saja. Bukan lagi
sibuk melakukan penetapan subyek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar