Seputar
Karakter Pendidikan
Iwan Pranoto ; Guru Besar Matematika
ITB;
Atase Pendidikan dan
Kebudayaan di KBRI New Delhi, India
|
KOMPAS,
18 Oktober
2017
Sebutan ”binaragawan berotot”
pastinya tak perlu. Tentu saja seorang binaragawan harus berotot. Jika tidak
berotot menonjol, yang bersangkutan mungkin orang yang gagal menjadi
binaragawan.
Demikian pula istilah
”pendidikan karakter” juga tak perlu. Ini istilah yang redundant atau
berlebihan. Pendidikan di mana saja sejatinya memperhatikan pertumbuhan
karakter muridnya. Ini tentu saja. Seperti tak pernah ada istilah
”binaragawan tak berotot”, demikian pula tak pernah ada istilah ”pendidikan
bukan karakter”. Pendidikan yang baik sudah pasti menekankan pertumbuhan
karakter anak didik.
Sifat baik
Seperti diketahui, pakar
pendidikan belum satu kata dengan apa yang disebut ”pendidikan karakter”,
tetapi mereka umumnya sepakat bahwa ini upaya sengaja dari keluarga,
masyarakat, dan sekolah untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan
bertindak berdasar nilai-nilai universal. Karena itu, sekarang lebih perlu
merancang program pendidikan yang secara sistematis menyokong pertumbuhan
karakter pelajar. Karakter yang mana dan karakter versi siapa? Penetapan
karakter ini yang akan membedakan program pendidikan tiap negara dan
membedakannya dengan era terdahulu.
Karakter atau sifat baik warga
seperti apa yang dibutuhkan negara perlu dikaji dengan saksama, dirembukkan,
dan didaftar. Lalu karakter-karakter tersebut dipilih yang sesuai jenjang
pendidikan. Kemudian dirancang program pendidikan dengan strategi pemupukan
pertumbuhannya. Ringkasnya, seharusnya fokus pembahasan lebih perlu pada
karakter pendidikan ketimbang pendidikan karakter.
Daftar karakter tadi perlu
dirumuskan dengan bahasa lugas dan gamblang, bermakna tunggal, sekaligus
dengan frasa yang operasional. Rumusan karakter yang tidak operasional hanya
akan membuat guru kesulitan mendesain pembelajaran, dan akibatnya
pembelajaran tidak akan berfungsi secara sistematis dan terstruktur.
Rumusan karakter juga perlu
yang wajar sehingga memang masuk akal dapat dicapai para murid. Yang tak
kalah penting, rumusan karakter harus universal, tak condong pada keyakinan
atau kesukuan tertentu. Ini faktor penting yang akan memastikan penerimaannya
di masyarakat. Karakter terdiri dari banyak virtue atau sifat baik. Guna
pengkajian, sifat-sifat baik itu dapat dikelompokkan sedikitnya ke dalam
empat kategori yang sesungguhnya tak saling lepas, yakni: moral, prestasi,
kewarganegaraan, dan intelektualitas.
Dalam kategori moral:
kejujuran, integritas, toleran, dan sebagainya. Dalam kategori prestasi
contohnya: kegigihan, percaya diri, motivasi, dan sebagainya. Dalam kategori
kewarganegaraan: kebernegaraan, keberbangsaan, kebertetanggaan, kebersamaan,
dan sebagainya. Dalam kategori intelektualitas contohnya: keingintahuan,
kesadaran diri, fokus, dan sebagainya.
Dari sifat-sifat baik yang
dipilih dan ditetapkan itu lalu penentu kebijakan pendidikan membuat rumusan
yang operasional dan dapat ditindaki. Rumusan operasional berupa frasa dengan
kata kerja akan membantu guru dan perancang pembelajaran mendesain pengalaman
belajar bermakna dan sistematis bagi murid. Tak kalah penting, rumusan yang
operasional akan memudahkan guru menyusun perangkat pengukuran pencapaian
murid dan memungkinkan pihak pengawas mengaudit proses pembelajaran agar
tepat sasaran.
Sebagai ilustrasi, sifat baik
kebernegaraan diterjemahkan ke ragam rumusan nyata dan membumi, seperti
menafsirkan makna dasar negara, melindungi fasilitas publik, menjaga bangunan
warisan bangsa seperti candi, melestarikan hutan dan sungai, menghargai dan
membela keberagaman budaya bangsa, dan sebagainya. Dari frasa operasional
seperti itu, sekolah atau penentu kebijakan menurunkannya menjadi rumusan
keterampilan atau kecakapan. Rangkaian kecakapan ini yang dapat diberlatihkan
dan nantinya dapat dievaluasi.
Bertumbuh
Dari rumusan operasional tadi,
pembelajaran kemudian dirancang melalui mata pelajaran yang sudah ada,
seperti Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Pengenalan Ilmu Komputer,
dan lainnya. Tak perlu menciptakan mata pelajaran khusus baru atau jam
pelajaran tambahan.
Sejarah mencatat, upaya
menyuburkan pertumbuhan sifat baik seperti patriotisme atau cinta tanah air
kurang efektif melalui slogan, spanduk, lokakarya, atau ceramah. Pelajar
perlu bernalar sendiri, merasakan sendiri, dan merenungkan sendiri. Hal ini
dengan tepat diungkapkan Soe Hok Gie, ”Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari
hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara
sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat
ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.”
Karakter atau sifat baik bukan
seperti pil ajaib yang dapat ditelan
langsung, lalu murid seketika berkarakter baik. Karakter juga bukan peranti
lunak yang dapat dibeli dan diunduh dari toko daring lalu di-install ke benak
murid. Karakter justru berupa benih yang sudah hidup di diri masing-masing
orang. Karena itu, karakter tak diajarkan, tak pula diserap. Pendidikan
berfungsi membuka semua pintu peluang dan menciptakan iklim mendukung agar
benih baik tumbuh subur. Karena itu, guru bersama sekolah perlu mengenali
setiap peluang dan mengupayakan semua dukungan agar tiap murid dapat
menumbuhkan karakter baik yang diangankan bersama.
Agar berhasil, strategi
pembelajaran harus sesederhana, sealamiah, dan semasuk akal mungkin.
Misalnya, guna membuka peluang perkembangan sifat toleran dan sifat baik lain
dalam pelajaran Bahasa Inggris dapat dimulai dengan role playing atau
menayangkan film pendek menggambarkan situasi seorang anak Indonesia yang
baru masuk sekolah di negara berbahasa Inggris. Kemudian setelahnya, para
pelajar berdiskusi guna menyelami situasi sang anak tersebut, juga perasaan
murid lainnya. Bagaimana perasaan anak di lingkungan baru dengan bahasa
Inggris itu? Bagaimana cara anak itu memiliki teman baru? Bagaimana anak itu
dapat mengikuti pelajaran di sekolah baru? Bagaimana teman-teman di kelas
dapat membantu anak tak berbahasa Inggris itu dapat beradaptasi lebih mudah?
Dengan pendekatan semacam ini,
sifat toleran, menghargai lian, kebersamaan, setia kawan, dan lainnya akan
secara alami terangkat, tanpa perlu dikhotbahkan atau diposterkan. Pendekatan
seperti ini juga menekankan prinsip utama bahwa karakter atau sifat baik
merupakan benih yang sudah ada di diri masing-masing pelajar, bukan diimpor.
Karakter dapat bertumbuh
melalui kegiatan di mana saja, tak terbatas hanya di institusi pendidikan
formal. Sebagai ilustrasi, kegiatan di alam bebas membuka peluang seseorang
menumbuhkan karakternya. Sifat baik seperti melestarikan sungai, gunung,
hutan, dan membela negara akan secara alami bertumbuh. Kegiatan bersama di
alam bebas seperti mengarungi jeram atau mendaki gunung akan membuka peluang
remaja merawat sifat menghargai lian, gigih, percaya diri, kebersaudaraan,
dan sekaligus berlatih menyelesaikan masalah secara kolaboratif.
Dari sistematika runutan
pemikiran di atas serta dengan memahami situasi keindonesiaan hari ini,
ketersediaan pendidikan yang baik sudah sangat mendesak, tetapi sekaligus
juga tak mustahil dan tak begitu pelik mewujudkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar