Menangkal
Dinasti Politik
Romanus Ndau Lendong ; Pemimpin Pusat Kolektif Kosgoro 1957,
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
18 Januari 2017
GEJALA
ganjil era reformasi ialah munculnya dinasti politik. Dikatakan ganjil karena
dinasti politik tumbuh justru di saat bangsa ini telah menetapkan demokrasi
dan HAM sebagai konsensus nasional. Itu berarti kekuasaan politik diraih
melalui surat suara (ballot), bukan blood (keturunan).
Di
Amerika, dinasti politik dianggap sebagai dirty word yang harus dihindari.
Para pendiri 'Negeri Paman Sam' berpandangan demokrasi merupakan sistem
politik terbaik karena menjamin kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dinasti
politik berpotensi menggerus demokrasi dan menabrak asas kerakyatan. Meski
begitu, dinasti politik masih kerap ditemui di banyak negara. Beberapa di
antaranya justru menjadi kuat dan melegenda. Contohnya ialah dinasti Kennedy
dan Bush di AS, Bhutto di Pakistan, Nehru dan Gandhi di India, serta Kim di
Korea Utara. Secara riil, kehadiran dinasti politik terbukti kurang mampu
memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan demokrasi, perlindungan HAM,
dan penciptaan kesejahteraan rakyat. Dinasti Kim di Korea Utara, misalnya,
menerapkan hukum besi demi menanamkan kepatuhan kepada rakyat. Bukannya
menyejahterakan rakyat, dinasti Kim justru mengembangkan teknologi militer
termasuk senjata nuklir yang memicu konflik tiada henti dengan Korea Selatan.
Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara saat ini, secara membabi buta melenyapkan
lawan-lawan politiknya dan menenggelamkan rakyat dalam kelaparan kronis.
Perilaku
serupa dilakukan dinasti Bush di AS. Dengan berdalih pada demokrasi dan HAM,
George H Bush dan George W Bush melancarkan perang terhadap negara-negara
Timur Tengah. Libia dan Irak porak-poranda oleh gempuran militer Amerika.
Pemimpin Libia Moamar Khadafi dan Presiden Irak Saddam Husein jatuh
mengenaskan akibat ganasnya intervensi AS di bawah komando dinasti Bush.
Di
samping mendominasi panggung politik, dinasti politik juga aktif
mengembangkan bisnis berbasis keluarga. Hal itu memicu konflik dan
ketidakstabilan politik berkepanjangan. Hal tersebut memicu kebencian dan
kemarahan rakyat sehingga anggota dinasti politik sering menjadi sasaran
kebencian dan kemarahan rakyat. John dan Robert Keneddy di AS, Benazir Bhutto
di Pakistan, dan Indira serta Rajiv Gandhi di India merupakan korban
pembunuhan politik yang berpangkal pada kebencian terhadap dinasti politik.
Kasus
yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini menguatkan kesan betapa
berbahayanya dinasti politik. Dinasti Atut di Banten dan Syaukani di Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur, mendominasi politik dan bisnis yang sarat
distorsi. Terkini kasus Bupati Klaten Sri Hartini yang tertangkap tangan
melakukan korupsi berupa jual-beli jabatan. Kasus-kasus tersebut kiranya membuka
mata kita betapa berbahayanya dinasti politik sehingga harus ditangkal secara
sungguh-sungguh.
Kapitalisasi politik
Filsuf
besar Plato mengingatkan politik adalah sesuatu yang luhur karena diarahkan
untuk mewujudkan bonnum commune (kebaikan bersama). Untuk mencapai tujuan
tersebut, kekuasaan politik harus dipimpin sosok-sosok yang memiliki
kapasitas filsuf. Kapasitas tersebut menjamin seorang pemimpin untuk
mengendalikan kekuasaan berbasis ilmu dan moral sehingga efektif bagi
terwujudnya kebaikan bersama.
Apa
yang didambakan Plato kini menjelma sebagai utopia. Kekuasaan politik
hari-hari ini tidak lagi dimaknai sebagai amanah, tetapi kapital yang harus
dilipatgandakan demi memaksimalisasi keuntungan. Sebagai kapital, kekuasaan
politik tak lagi berurusan dengan nilai dan moral, tetapi lebih diberdayakan
untuk menciptakan berbagai kreasi demi meraih keuntungan sesaat. Karena itu,
berbagai cara dilakukan, termasuk membanjiri pemilih dengan uang, demi meraih
kekuasaan politik yang ujungnya adalah kenikmatan pribadi dan keluarga.
Terkait
dengan ini, mudah dipahami mengapa referensi penentuan politik saat ini bukan
lagi kapasitas intelektual dan integritas diri, melainkan kepemilikan modal
dalam arti materi. Saat menjadi panelis fit and proper test calon kepala
daerah dalam pilkada serentak 2015, penulis mendapati begitu banyak
intelektual yang gagal diusung semata-mata karena tidak memiliki uang untuk
dibayarkan kepada parpol.
Sebaliknya,
sosok yang memiliki uang, kebanyakan di antaranya keluarga pejabat, meski
dengan kadar intelektual dan pengalaman minim, justru diloloskan dan banyak
di antara mereka kini menjadi kepala daerah. Realitas ini membantu kita
memahami mengapa otonomi daerah belum secara signifikan mampu mendongkrak
kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Gurita korupsi akan terus membelenggu
rakyat dan pelayanan sosial yang transparan, mudah, dan murah tampaknya akan
terus dikorbankan.
Perketat syarat
Dinasti
politik tumbuh akibat longgarnya syarat pencalonan. Padahal, kepala daerah
merupakan posisi strategis yang pencapaian atasnya memerlukan persyaratan
yang ketat. Pertama, sudah waktunya dibuat aturan yang melarang keluarga dan
kerabat kepala daerah untuk dicalonkan pada periode berikutnya. Benar hal ini
berpotensi melanggar hak politik seseorang, tetapi hal itu tentu lebih pantas
dikorbankan demi mencegah tumbuhnya dinasti politik.
Kedua,
secara kualitatif, calon kepala daerah hendaknya memiliki kualifikasi yang
ketat seperti syarat pendidikan dan pengalaman yang tinggi. Syarat ini mutlak
sifatnya karena peran penting kepala daerah ialah memastikan bahwa semua
programnya dilandasi penguasaan teoretis dan teknik yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Ketiga,
sanksi tegas kepada kepala daerah yang terbukti melakukan tindak pidana
korupsi. Hukuman kepada koruptor harus diperberat, termasuk dengan menyita
semua asetnya. Hak mendapatkan remisi juga harus dikecuaikan bagi koruptor.
Keempat, sanksi tegas bagi parpol pengusung jika kepala daerah terpilih
melakukan korupsi. Misalnya, parpol tersebut kehilangan hak untuk mengajukan
calon kepala daerah dalam pilkada periode berikutnya. Langkah ini penting
untuk mendorong parpol agar lebih selektif dalam mengajukan calon kepala
daerah.
Kelima,
perlu dibuat aturan yang tidak membolehkan kepala daerah menjabat dua periode
berturut-turut seperti yang diberlakukan di Cile. Di 'Negeri Augusto
Pinochet' tersebut, petahana tidak bisa maju dalam bursa pencalonan
berikutnya. Syarat ini diperlukan untuk mencegah terjadinya penimbunan
kekuasaan sehingga berbagai potensi kecurangan bisa dicegah secara dini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar