Ekspor
Mineral dan Kebijakan Industrial
A Prasetyantoko ; Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya
|
KOMPAS, 16 Januari
2017
Harian
Kompas (Jumat, 13/1) menurunkan dua tulisan menarik di halaman yang sama.
Pertama, tajuk rencana berjudul ”Ekspor mineral masih diperbolehkan”. Kedua,
opini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjudul ”Efektivitas APBN”.
Tulisan
pertama menunjukkan dilema larangan ekspor mineral seperti diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Lalu, baru saja terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 sebagai revisi
dari PP No 1/2014. Intinya adalah merelaksasi larangan ekspor mineral
tertentu dari semula dua tahun menjadi lima tahun. Alasannya, larangan ekspor
belum siap dilaksanakan saat ini.
Jika
dipaksakan, larangan itu dikhawatirkan berimplikasi buruk terhadap
perekonomian. Pertama, ekspor akan menurun sehingga memukul penerimaan
fiskal. Kedua, dampaknya pada perekonomian daerah bisa sangat buruk karena
berisiko menciptakan pengangguran akibat tutupnya perusahaan pertambangan.
Harus diakui, dalam hal ini posisi PT Freeport Indonesia seakan
diistimewakan. Menurut data korporasi, pada akhir 2015 Freeport Indonesia
memiliki sekitar 12.000 pekerja langsung. Jika dihitung dengan semua
kontraktor, ada sekitar 32.000 karyawan. Sepanjang 2015, Freeport Indonesia
menyumbang dividen kepada pemerintah daerah sekitar 368 juta dollar AS.
Sementara manfaat tak langsung yang meliputi gaji karyawan, pembelian dalam
negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah, dan investasi dalam
negeri mencapai 3 miliar dollar AS.
Bisa
dibayangkan jika perusahaan ini mengalami guncangan. Dampaknya pada
penerimaan pemerintah daerah dan implikasinya pada perekonomian daerah begitu
signifikan. Situasi ini tentu tak bisa diterima di tengah pelambatan
perekonomian domestik akibat dinamika global yang semakin tak menentu.
Kesimpulannya, pemerintah tak punya kemewahan melarang ekspor mineral
sekarang ini. Argumen itu dengan elegan diulas dalam opini Menteri Keuangan
dengan bertumpu pada narasi tentang sulitnya situasi fiskal kita. Paling
tidak, ada dua esensi pokok dari opini Menkeu yang relevan dengan tulisan
tajuk. Pertama, melesetnya target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) khususnya penerimaan membuat fiskal kita berada dalam tekanan berat.
Kedua, APBN bukan satu-satunya instrumen, melainkan juga diperlukan reformasi
(struktural) kelembagaan agar bisa mendongkrak investasi.
Walaupun
tidak dikatakan secara eksplisit, korelasinya jelas. Reformasi kelembagaan
butuh dukungan fiskal yang kuat. Keduanya bisa bersifat kausalitas sehingga
nyaris tak mungkin dimitigasi bersamaan. Implikasi kebijakannya lebih sering
bertolak belakang. Melesetnya target APBN harus diikuti dengan langkah konkret
menggenjot penerimaan. Salah satunya adalah meningkatkan ekspor dan menjaga
agar kinerja sektor swasta tidak menurun. Dalam rangka reformasi struktural
diperlukan kebijakan industrial menyeluruh. Salah satu urgensinya adalah
membangun basis industri domestik yang kuat dengan implikasi melarang ekspor
mineral dan memaksa industri menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
Dilema pemerintah
Begitulah
dilema yang dihadapi pemerintah sehingga pengambilan keputusan tampak begitu
alot. Dalam konstruksi perundangan terjadi kontradiksi antara UU dan aturan
turunannya. Di sinilah pemerintah tampak tidak konsisten sehingga membuka
ruang kritik begitu lebar. Penerbitan PP No 1/2017 mengenai relaksasi ekspor
mineral mesti ditempatkan dalam kerumitan dinamika kontradiktif antara
kepentingan jangka pendek dan jangka panjang.
Ketika
meminta agar keputusannya dimaklumi, pemerintah tetap wajib menunjukkan
langkah mitigasi jangka panjang. Perdebatan tentang ketergantungan terhadap
sumber daya alam sudah lama terjadi. Langkah maju sebenarnya sudah tertuang
dalam UU No 4/2009. Namun, hingga kini kita masih terkatung-katung dalam
ketidakmenentuan arah implementasinya.
Mengurangi
ketergantungan sumber daya alam dan mengembangkan nilai tambah industri di
dalam negeri adalah sebuah kebijakan industrial yang terasa semakin berat
langkahnya belakangan ini. Setelah krisis 1998, kebijakan industrial terasa
absen dalam perekonomian kita. Pasalnya, esensi kebijakan industrial sering
terjerembab dalam praktik kolusi, mengingat kebijakan ini pada dasarnya
adalah soal memilih pemenang. Dalam setiap proses memilih pemenang selalu
terjadi transaksi yang berisiko menjadi praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Selama
puluhan tahun, kita gagal secara konsisten menjalankan kebijakan industrial
secara baik. Di era Presiden Joko Widodo arahnya lebih jelas. Namun, ketika
menyangkut ekspor mineral, terjadi kompromi yang menunjukkan inkonsistensi.
Setelah relaksasi ekspor mineral diputuskan, sekarang perlu dipastikan agar
ke depan tak perlu lagi ada berbagai kompromi untuk kepentingan jangka
pendek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar