Mencetak ”Kiai Global”
Zacky Khairul Umam ;
Koordinator NU Jerman
|
KOMPAS, 17 Mei 2016
Ada
apa dengan International Summit of the
Moderate Islamic Leaders yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama di Jakarta,
9-11 Mei lalu?
Dua
hal penting perlu digarisbawahi. Tujuan konferensi ini selain mengundang
pemimpin ’Muslim moderat’ dunia untuk semakin memperkenalkan Islam Indonesia,
sekaligus ingin ’menyuarakan Islam damai dan toleran ke tingkat global’
(Kompas, 9/5). Akan tetapi, dua apostrof ini perlu ditunda pemaknaannya.
Dalam tradisi fenomenologi, perlu sekali memberikan epochÉ atau Einklammerung.
Islam
dipandang sebagai anti kekerasan dan terorisme. Islam seperti mendarah daging
dalam tubuh kebudayaan warga Muslim di Indonesia, memiliki dimensi yang
lembut. Anggapan semacam ini adalah benar adanya. Tidak dinafikan pula bahwa
hal ini menjadi dasar yang kuat bagi politik peristilahan dari ”Islam
Nusantara”. Dalam pandangan Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), istilah ini adalah bentuk pengkhususan yang dalam
semantika Arab disebut sebagai mumayyizat.
Hingga
di sini kita bisa mengaitkan antara hubungan nuansa Islam Nusantara dan Islam
yang moderat: damai dan toleran. Akan tetapi, siapakah ’Muslim moderat’ itu?
Setelah
Peristiwa 11 September, wacana tentang jenis pengkhususan ini menjadi semakin
sempit. Beberapa sarjana memberikan oposisi biner: Islam moderat versus
puritan, misalnya Khaled Abou el-Fadl, yang pernah menjadi penasihat George W
Bush. Gagasan ini masih banyak dianut, termasuk di negeri kita, dan
memberikan senjata intelektual yang siap pakai untuk menyerang segala sesuatu
yang terkait dengan gejala kekerasan.
Nalar keadilan
Jika
tidak ada politik imperial Amerika pasca-11 September, kita tidak keberatan
dengan penitikberatan pada sifat moderat pada jenis keislaman kita. Hal ini
memang bagus sesuai dengan ajaran keislaman itu sendiri yang menjadi pendulum
penting bagi gerak sejarah NU, yakni wasatiyyah
alias kemoderatan. Yang perlu ditegaskan ialah mendudukkan kemoderatan dalam
situasi yang sepantasnya.
Patokan
besarnya ialah tetap pada kemaslahatan umum dan perjuangan pada keadilan. Ini
yang kerap hilang dari pemaknaan Islam moderat. Konsekuensinya, apabila ada kritik
internal dalam diri umat Islam, atau lebih spesifik dalam tradisi
Sunni, adalah
sesuatu yang wajar. Politik Sunni masa lalu yang sering mendukung
pemerintahan imperial perlu dimuseumkan sebagai taktik politik yang brilian
pada masanya. Situasi saat ini membutuhkan pemikiran lain yang segar dan
cemerlang.
Tidak berlebihan,
karena itu, jika umat Islam minimal harus bersimpati pada krisis di Suriah
dan Mesir, misalnya, dengan tetap kritis pada pemerintahan Asad dan Sisi.
Kecenderungan untuk membela Asad dan Sisi yang beberapa kali melancarkan
kezaliman kepada ”Muslim puritan” dan/atau ”Muslim teroris” merupakan
kegagalan dalam mendudukkan nalar keadilan. Kesediaan untuk membela Asad dan
Sisi, disertai dukungan internasional atasnya, minimal dari pendapat atau
fatwa kolektif, cenderung memperkeruh keterbelahan umat Islam yang memiliki
beban sosial abad ke-21 yang sudah menggunung.
Inilah
mengapa NU secara pelan tapi pasti sebaiknya berfokus untuk memperdalam lagi
mengenai prinsip tasamuh, tawasut,
dan iktidal yang menjadi landasan
penting bagi pembentukan Islam moderat di Indonesia. Baik itu melalui forum bahsul masail yang sudah menjadi
tradisi berkala maupun melalui konferensi internasional di atas. Tidak hanya
selalu berkutat pada teks kanonik yang disebut sebagai ”kitab kuning”, tetapi
juga diperkaya dengan keilmuan mutakhir yang banyak dimiliki para sarjana
NU—yang kerap tidak menyalurkan aspirasi yang cukup.
Tujuan
dari Einklammerung itu memiliki
aspek emansipasi dan progresivitas, yakni upaya yang strategis untuk
membentuk generasi ”kiai global”. Ini sebetulnya bukan evolusi atau bahkan
pertentangan lebih lanjut dari politik peristilahan Gus Dur untuk ”kiai khos”
dan ”kiai kampung”, yakni para pemimpin muda NU yang berusaha untuk
memberikan jawaban-jawaban mutakhir dewasa ini dalam berbagai bidang, yang
tidak saja tetap berlandaskan pada persoalan lokal, tetapi juga mampu membaca
persoalan-persoalan global dan menjadikannya haluan penting bagi gerakan
ke-NU-an.
Tugas berat
Dengan begitu, upaya
semacam konferensi internasional itu tidak hanya berakhir pada berbagai macam
deklarasi yang repetitif. Hanya dengan mendudukkan
keadilan di atas berbagai tindak kezaliman, dalam ruang lokal dan global, yang mampu
menjadikan ”Islam moderat” menjadi timbangan yang penuh berarti.
Inilah
tugas yang cukup berat bagi generasi muda Muslim, khususnya dalam ruang gerak
NU, untuk meminjam istilah intelektual Usmani abad ke-17, Katip Çelebi, untuk
menimbang kebenaran dalam memilih mana yang paling benar (mizan al-haqq fikhtiyar al-ahaqq).
Dengan
bertunasnya generasi ”kiai global ini”, misi NU untuk membumikan tridimensi
ukhuwah keagamaan (Islamiyah),
kebangsaan (wataniyah), dan
kemanusiaan (basyariyah)
benar-benar mengglobal, dengan tetap bertumpu pada poros keislaman yang
madani dari garis khatulistiwa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar